Opini  

Epos dan Etos Tubuh

Asterlita Tirsa Raha

(Trilogi Ketubuhan)

Oleh : Asterlita Tirsa Raha

 

Selamat datang dalam bagian pertama Trilogi Ketubuhan,  serangkaian mantra-mantra yang akan membawa kita menyelam sejengkal atau sedangkal-dangkalnya meminang kesadaran. Kita berangkat dari Epos dan Etos Tubuh, lalu akan singgah menelusur Daulat (Power) Tubuh dan mengakhiri dengan mepercakapkan perihal melampaui tubuh. Sungguh akan melelahkan, selain berkelindang teori-teori di sana-sini juga syarat kisah-kisah yang berserakan dari gubuk sunyi yang luput dari panca indra keramaian.

Pertama mari masuk dalam mesin waktu, menjelajah mitologi Medusa. Medusa mestinya tak asing, sebab ia kerap kali menjadi karakter antagonis film tentang mitologi. Monster berwujud perempuan berkepala ular, anak dari Keto dan Phorkys dan merupakan tiga bersaudara Gorgon. Dalam Theogony karangan Hesiod, Medusa memiliki dua saudari lainnya, Stheno dan Euryale mereka adalah anak-anak dewa laut purba.

Cerita berbeda datang dari Metamorphoses karangan Ovid yang asal muasal Medusa digambarkan sebagai perempuan cantik. Ini menjadi alasan malapetaka mengunjunginya, paras cantiknya dituduh sebagai pemicu Poseidon, sang dewa laut, saudara Hades dan Zeus menginginkannya. Ia diajak oleh Poseidon datang ke kuil Athena dan memperkosannya di sana. Kemalangan Medusa Tak berhenti disana, perbuatan Poseidon memercik murka dari Athena karena menggangap perbuatan itu menodai kuilnya. Atas dasar balas dendam, Athena pun mengutuk Medusa dengan mengubah rambutnya menjadi ular agar tak satupun laki-laki mendekatinya, bahkan barang siapa menatapnya akan berubah menjadi batu.

Dalam titik kulminasi penderitaan Medusa, Perseus malah mendapatkan misi untuk memenggal kepalanya. Menggunakan cermin untuk merefleksikan pandangan Medusa dan membawa pulang di kysbis mengendarai Pegasus, kuda bersayap yang keluar dari leher medusa. Penggalan kepala medusa menyimpan kekuataan, menjadi senjata. Perseus membatukan cetus, dan menyelamatkan Andromeda. Cerita tragis Medusa, menjadi symbol perlindungan. Dan mengisi kata kerja Bahasa Yunani Kuno yang berarti “untuk menjaga atau melindungi”.

Epos tua tentang Medusa sanggah rijit mengurai tentang ketubuhan Perempuan. Di sini kita menemukan objectifikasi, keliyanan (the other), pengotrolan, relasi kuasa (power) dan kekerasan. Sebagai tubuh Medusan menanggung penderitaan yang berlapis, tubuhnya menjadi lumbung bersarang segala akumulasi ketidakadilan, meski penderitaanya berlapis tetapi masyarakat kita masih banyak menjadi Poseidon, Athena dan perseus.

Etos Tubuh Biologi

Dalam pandangan masyarakat Galela, Perempuan dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri) sedangkan laki-laki dianggap sebagai pemegang unsur nama atau harga diri (o gurumini). Kedua unsur tersebut, o gurumi dan o gikiri , Bersama-sama unsur tubuh (o rohe) merupakan kesatuan yang menandai keberadaan manusia. Alasan yang dipakai orang Galela melihat dua unsur ini adalah bahwa perempuan memiliki Rahim sebagai wadah, atau tempat persemaian bibit kehidupan dari laki-laki, serta air susu yang dapat menghidupi, dianggap sebagai pemberi sekaligus menyebar kehidupan. Perempuan dianggap sebagai lambing kesuburan. Sedangkan laki-laki yang memproduksi sperma, atau zat hidup, dianggap sebagai pemilik dan penguasa kehidupan (Visser 1994:117-118).

Adapun tradisi tua tentang kelahiran anak. Saat bayi lahir mereka akan berteriak “salawako atau ta’ito” jika anaknya diidentifikasi perempuan mereka akan berteriak ‘salawako’ sedangkan jika laki-laki mereka akan menjawab ta’ito. Ada juga yang mengidentifikasi dengan saloi untuk perempuan dan palaudi untuk laki-laki.

Konsep awal tentang eksistensi manusia bagi orang Galela ini menyumbang bagaimana pelebelan/stereotipe terhadap tubuh perempuan dan sekaligus laki-laki. Sebab dengan sendirinya melegitimasi posisi perempuan pada tatanan reproduksi belaka, sedangkan laki-laki menguasai kehidupan (termasuk perempuan).

Dapur, Sumur dan Kasur atau kerja-kerja domestik dianggap inheren dengan kodrat perempuan. Padahal ini adalah basic skills (Keterampilan Dasar) yang harus di kuasai seluruh manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga sangat memuakan jika mengkoptasi seks (jenis kelamin) dan gender sebagai sebuah paket ajek yang mewariskan apa yang di sebut kodrat.

Secara Biologis, perbedaan seks merujuk pada anatomi sistem reproduksi serta karateristik sekunder seseorang. Bahkan sedikit radikal perbedaan seks hanya tergantung pada ukuran Gamet (karakteristik penentu seks), adapapun diferensiasi seksual pada umumnya antara laki-laki dan perempuan mencangkup ada atau tidaknya kromosom Y, jenis gonad, hormon seksual, anatomi reproduksi serta organ genitalia eksternal.

Di masyarakat paternalistic (termasuk Maluku Utara) banyak pandangan yang mendefenisikan gender sebagai kodrat dan tak dapat di pertukarkan karena dianggap sebagai sebuah ketetapan mutlak, tak mengherankan sebab tesis seperti ini usianya setua peradaban. Sekarang mari mengundang Giorgia Agamben (filsuf Italia) untuk mengurai konsep Yunani Zoe dan Bios. Zoe adalah tubuh biologis (makhluk hidup) sedangkan Bios adalah tubuh politik (Agamben, 1995/1998), di filsafat klasik keduanya berkaitan dengan phone dan logos sehingga agamben menghasilkan antitesis bahwa antara Zoe dan Bios merupakan hal yang terpisah dan fenomenanya dapat dipisahkan. Permasalahan sekarang adalah kita begitu percaya diri mencampur aduknya, antara kehidupan Zoe dan Bios tak memiliki spasi bahkan menjadi citra yang akan menanggung kecaman bila melewati batas-batas tersebut.

Tubuh Sosial

Sampai hari perempuan menghadapi stigma terhadap konsep tubuhnya yang sesungguhnya merupakan hasil dari proses simbolik diluar dirinya. Pengontrolan tubuh perempuan yang terkekang dalam jeruji tubuh maternal (fungsi ibu).

Dalam tatanan sosial patriarkhar “birthrigth” laki-laki menguasai perempuan, tanpa diketahui tapi terlembaga sebagai kontrol dan pendisiplinan tubuhnya. Bahkan dalam ruang paling privat perempuan dikekang olah standarisasi sosial, semisalnya dalam kamar berukuran 3×3 meter, mata tubuh sosial menginterfensinya, bagaimana tidak apa yang akan perempuan pakai akan mempertimbangkan bagaimana penilaian public.  Dominasi sosial ini menembus semua budaya dan menjurus pada seluruh konsep kekuasaan. Dominasi ini melahirkan ketidakadilan yang berserakan di mana-mana; sebut saja subordinasi, marginalisasi, stereotipe, beban ganda, kekerasan dan berbagai jenis diskriminasi lainnya.

Padahal menurut June Singer (1997) dalam bukunya Androgyni : Toward a New Theory of Sexuality menulis pada dasarnya manusia terkekang dalam dua polaritas, yakni laki-laki tidak mengembangkan “kemungkinan keperempuaannya” dan perempuan tidak menggembangkan “kemungkinan kelaki-lakiannya”. Konsep ini di sokong oleh teori psikologis Carl Jung yang menjelaskan pada dasarnya manusia memiliki dua aspek sekaligus dalam dirinya, yaitu aspek feminim dan aspek maskulin , di mana dalam psikologis di kenal dengan istilah “androgenitas”, yang berasal dari Bahasa Yunani “andro” adalah laki-laki dan “gyne” adalah perempuan, konsep ini mengitegrasi feminis dan maskulin yang saling komplementer, bukannya bertentangan.

Hegemoni sosial begitu pekat berdiri diatas istiadat, dogma agama dan cerita-cerita tua yang terus berkembang biar, bernegasi dari bentuk satu ke yang lain. Di dunia yang kontemporer, perempuan masih memenuhi ruang jeruji, dikontrol untuk patuh pada pranata falosentris yang menjadikan laki-laki sebagai tuannya. Perempuan menerima kekerasan simbolik pada structural dan fungsional sosial manusia.

Gerak sejarah juga seolah-olah memberikan panggung hanya bagi laki-laki, dengan menekan perempuan pada titik nadir peradaban. Bahkan geraka feminis telah tiga kali berganti gelombang, dari Gerakan dan pisau analisis sosial hingga ruang akademis, seluruh upaya dikerakan untuk mengembalikan tubuh perempuan sebagai tubuh privatnya, diatas Daulat dan otoritas perempuan, tanpa menyembah standar tubuh sosial yang begitu bias dan gagap, memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan bereksistensi tanpa dibanyang-bayangi esensi tubuh sosial.

Selanjutnya bagaimana menjadi penentu otoritas tubuh, bagaimana mengembalikan kuasa pada diri, bagaimana bereksistensi sebagai manusia bebas? Kita akan menenunya dalam seri ke-2 Trilogi Ketubuhan tentang Daulat Tubuh. (*)

Exit mobile version