Oleh: La Ode Zulmin
Beberapa waktu lalu, soal kekerasan di Kampus ramai diperbincangkan oleh publik. Ada suara yang mengatakan bahwa hal ini sudah merupakan fakta, sementara ada pula suara yang membantahnya. Akan tetapi, jika kita meneliti fakta kekerasan di kampus orang akan cenderung membenarkan pendapat, bahwa kini kekerasan di kampus sudah menjadi kebudayaan. Meskipun ada sebagian masyarakat kampus tidak melakukan kekerasan.
Alih-alih senioritas yang menjadi biang kerok dari upaya kekerasan di kampus dengan pembenaran-pembenaran: untuk memperkukuh solidaritas, keakraban, dan lainnya. Seolah sedang memelihara ‘kekerasan’ di kampus.
Anehnya, mereka menolak kekerasan terhadap dirinya sendiri–penganiyayaan dari pihak manapun, tapi mereka sendiri yang menjadi pemeran dalam kasus kekerasan di kampus. Adik-adik mahasiswa dibungkam—dengan memukul mental mereka dan diintimidasi dengan segala hal.
Sayang sekali, di ruang intelektual seperti di kampus, bukannya mendidik mahasiswa baru (junior), tapi menindas dengan melakukan kekerasan fisik, psikis dan lainnya. Biasanya, kekerasaan ini di praktikan senioritas setiap tahunnya kepada adik-adik yang baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), ketika mahasiswa baru (maba) hendak mengikuti orientasi perkenalan kampus (OSPEK) dan pengkaderan di satu Program Studi (Prodi) yang dipilihnya.
Kejadian semacam ini, tidak sedikit memakan korban. Ketika awal saya masuk kampus tahun 2018, kami seangkatan dipukuli, ditendang, dicaci, dan lainnya. Berlangsung hingga teman-teman angkatan 2019, 2020, 2021, masih mempraktikkan kekerasan semacam itu. Tampak turun-temurun dipelihara praktik kekerasan di kampus dengan kucing-kucingan. Katanya, itu kewajiban—sebab adik-adik mahasiswa baru harus digembleng. Gemblengan atau apapun alasannya, tidak dibenarkan kekerasan dalam bentuk apapun.
Karena alasan semacam itu, di kampus Muhammadiyah Maluku Utara, terungkap kekerasan yang dilakukan senioritas terhadap maba, dari videonya yang beredar belakangan ini, meramaikan jagat media sosial. Kekerasan tersebut mendapat banyak kecaman dari warga net. Karena dari pengakuan Si Pelaku, katanya, kekerasan semacam itu sudah menjadi budaya.
Beberapa kampus di luar Maluku Utara pun mengalami hal yang sama. Dilansir dari Liputan6.com (2/9/2019), Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, menewaskan Dimas Dikita Handoko, karena dinilai tidak kompak, dan tidak respek jika berhadapan dengan para senior. Juga tewasnya mahasiswa Universitas Hasanudin jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, ketika usai mengikuti ospek dari senior. Ada juga yang hingga masuk rumah sakit.
Senioritas selalu menganggap diri mereka dewa dihadapan adik-adik mahasiswa baru, lantas melakukan sesuka hati mereka atas dasar senior lebih jago, lebih cerdas, senior tahan banting, lebih tua di kampus dan lain-lain. Sialnya, maba harus dipaksa tunduk—karena perintah dari senior tidak boleh dibantah. Pasalnya, senior selalu benar, jika senior salah kembali pasal pertama. Pembodohan semacam apa yang telah dipelihara senioritas di kampus?
Padahal, kan, perbedaan antara junior dan senior terletak pada siapa yang lebih dulu menginjakan kaki di kampus, hanya itu tidak lebih. Kesamaannya, adalah sama-sama membayar SPP. Lantas untuk apa mempraktikkan kekerasan di kampus? Kalau mempraktikkan dinamika intelektual, tidak menjadi soal. Karena itulah tujuan utamanya kampus mencetak intelektual, bukan perilaku diktator.
Hal ini dapat kita temukan di sebagian Prodi yang membenarkan kekerasan dengan memakai topeng. Meski sebagian Prodi juga tidak ada praktik kekerasan seperti itu. Lantas, benarkah kekerasan di kampus sudah menjadi budaya?
Menurut Soerjanto Poespowardojo budaya adalah keselurahan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Sedangkan kebudayaan menurut Herskovits sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lainnya yang disebut sebagai superorganic (Syukri Albani Nasution, Muhammad, ddk, 2015).
Jika kebudayaan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lainnya, maka kekerasan di kampus juga termasuk di dalamnya. Karena kekerasan yang terjadi kerap dilakukan setiap tahunya oleh senioritas di kampus.
“Sebenarnya pula kekerasan dalam kebudayaan bukanlah suatu yang baru. Kekerasan selalu ada, yang tidak digoyahkan oleh tuntutan-tuntutan perubahan. Malahan pula masyarakat lahir dari kekerasan” (Mochtar Lubis, 1992: 22). Meskipun masyarakat kita lahir dari kekerasan, tetapi bukan berarti kita memelihara budaya kekerasan di dalam kampus yang terbilang sarangnya intelektual. Harusnya kita membina tanpa adanya kekerasan.
Budaya kekerasan, di mana dan kapan pun, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, sebab pendidikan tujuan untuk mendidik agar terdidik, bukan dengan kekerasan menjadi penindas. Bagaimana bisa jika pendidikan dibarengi dengan kekerasan yang dilakukan sendiri oleh oknum-oknum senioritas di kampus? Padahal, pemuda-pemuda yang disiapkan akan menjadi sebagai pemimpin di negara ini.
Dalam pembangunan suatu bangsa, maka pembangunan pendidikan memegang peran penting untuk mengembangkan SDM yang handal. Peran pendidikan dalam mengembangkan SDM sangat menentukan dalam keberlangsungan hidup suatu pemerintahan. Baik buruknya pemerintah sangat tergantung pada kualitas SDM yang tersedia pada pemerintahan tersebut (Alfabeta, cv, 2011).
Bayangkan saja, betapa kacaunya suatu negera jika diamanahkan ke seorang pemuda yang mental sok kuasa dan menindas yang mempraktikkan kekerasan di kampus. Jadinya pemerintahan diktator. Olehnya itu, budaya kekerasan dalam dunia pendidikan harus dihapuskan. Tentunya, pihak kampus harus lebih jeli melihat peristiwa semacam ini, dan memantau kekerasan senioritas di kampus.
Karena, biasanya praktik kekerasan dilakukan secara diam-diam oleh senioritas, lantas bersembunyi dan muncul di hadapan masyarakat kampus sebagai sosok pejuang orang-orang tertindas, tapi dia sendiri pelakunya. Ketika korban akan melaporkan kepada pihak berwajib, korban akan diintimidasi oleh senior-senior semacam itu. Mental penjajah, mental penindas. Kalau ketahuan, pasti ujung-ujungnya klarifikasi dan akan minta maaf. Alah basi!