Oleh: Zulkarnain Pina
Ketua IMM Kota Ternate
Dalam konsepsi Islam, hari Jum’at adalah sayyidul ayyam (penghulu hari) atau raja dari segala hari. Oleh Ustadz Adi Hidayat, Lc, predikat tersebut disebabkan oleh terjadinya beberapa peristiwa besar dan bersejarah, diantaranya adalah diturunkannya kitab suci umat Islam, Al-Qur’an al karem kepada nabi Agung akhirul zaman, Rasulullah Saw. Bahkan, Syekh Aidh Al-Qarni dalam kitab Sentuhan Spiritual (2006) menjelaskan bahwa hari jum’at menyimpan cerita yang sangat mulia. Hari dimana terjadinya pertempuran antara Nabi Musa dengan Fir’aun, yakni pertarungan antara kebaikan dengan kebatilan, pertarungan iman dan kekufuran, antara hidayah dan kesesatan
Dalam sejarah dakwah kenabian (sirah Nabawiyah) kita kenal dengan khutbah penutup (khutbah Haji Wada) Rasulullah Saw. Sebagai akhir dari sejarah dakwah kerasulan, Muhammad Saw menegaskan kesempurnaan akidah (iman) dan akhlak (muamalah) umat Islam. Hari Jum’at adalah awal dan akhir diturunkannya kitab suci nan mulia. Bahkan, sejarah permulaan umat manusia, juga dimulai pada hari Jum’at yakni diturunkannya ke bumi; berpisah dan bertemu kembali nabi Adam as dan Hawa.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam telah meletakkan dasar semua persoalan dan dijadikan hujjah (sandaran) untuk jalan kehidupan yang lurus. Sebagaimana ayat Al Qur’an, surat al Baqarah ayat 2: “kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Menurut Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah [1] 86, ayat ini secara tegas menunjukkan Al-Quran adalah kitab yang sempurna (dengan alif lam), tidak ada keraguan di dalamnya yakni pada kandungannya dan kesempurnaannya serta berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Namun kendati demikian, beliau menegaskan bahwa yang mendapatkan manfaat darinya (Al-Quran) hanyalah orang-orang bertakwa.
Adi Hidayat menjelaskan, ada dua tahap diturunkannya Al-Qur’an; pertama dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia, dan kedua, dari langit dunia oleh malaikat Jibril as kepada nabi Muhammad Saw, secara berangsur-angsur. Metode berangsur-angsur tersebut dapat dipahami agar tidak saja diketahui, tapi juga dihafalkan dan dipahami lalu diamalkan.
Diturunkannya nabi Adam as dan Siti Hawa ke bumi dengan terpisah jarak dan waktu yang begitu jauh (-+500 tahun) kemudian dipertemukan kembali, adalah awal mula dari kehidupan manusia. Kebersamaan yang begitu apik-romantis yang terpisah sekian lama tentu akan menjadi alasan bagi kedua insan untuk saling merindu. Sehingga walau terpisah jarak antara India dan Makkah, nabi Adam tetap menjalankan perintah Ilahiah untuk menemui Hawa sang kekasih tepat pada hari Jum’at. Hawa, bagi Adam adalah spirit kehidupan masa depan begitu sebaliknya. Kehidupan manusia dimulai dari prosesi pernikahan antar keduanya.
Periodesasi sejarah umat manusia dimulai. Dari nabi ke nabi, rasul ke rasu, perintah dakwah ketauhidan menjadi misi utama pergerakan. Hingga sampailah pada nabi agung akhir zaman, Rasulullah Muhammad Saw, ajaran-ajaran disempurnakan. Inna Diina ‘Indallah Hil Islam. Rasulullah tampil sebagai pemimpin bagi umat manusia.
Periodesasi kenabian dari Makkah ke Madinah untuk membangun kekuatan peradaban lalu kembali ke Makkah untuk penyempurnaan. “Sesungguhnya aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak” [al-Hadits]. Kurang lebih 23 tahun, Rasulullah Saw, mengakhiri periodesasi dakwahnya dengan khutbah penutup pada Haji Wada (khutbah Wada), tepat hari Jum’at 09 Zulhijjah tahun ke 10 Hijriyah.
Dalam proses penyempurnaan dakwah kerasulan, Rasulullah Saw, menegaskan tentang penguatan akidah dan akhlak Islam. Artinya, Islam pada hari itu telah sempurna. Tidak adalagi firman atau ayat Al-Qur’an yang turun setelahnya sebagaimana firman Allah SWT, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [al-Maidah ayat 3].
Dari catatan peristiwa maha dahsyat di atas, sudah jelas bahwa hari Jum’at amat sangat penting. Secara matematik, Jum’at berada pada posisi hari ke lima. Kita tahu, bahwa pada hari Jum’at Allah SWT, mewajibkan kaum muslimin mengerjakan perintah shalat pada yang bersamaan dengan shalat dzuhur. Perintah tersebut secara khusus difirmankan dalam surat yang diberi nama Al-Jum’ah. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Tidak bermaksud menjustifikasi, tetapi harus secara jujur saya boleh bilang dengan penilaian subjektif bahwa intensitas beribadah kita hari-hari ini semakin rendah terutama shalat. Maka, motivasi yang harus dihadirkan pada kewajiban shalat Jum’at adalah ia sebagai pengingat atau nasehat dari perilaku menyimpang atau keliru oleh hamba. Pada rangkaian pelaksanaan shalat itulah, nasehat dari seorang khatib dengan tema khutbah yang kontekstual (kekinian) dapat menjadi spirit baru pergerakan umat manusia menuju masa depan yang paripurna.
Hari Jum’at, dalam pandangan sekilas, menempati peringkat pertama secara jumlah jamaah. Sebagaimana keistimewaannya, hari Jum’at adalah hari raya atau lebaran mingguan. Oleh karena lebaran mingguan inilah, secara psikologis memancing “hasrat” tersendiri terhadap umat muslim untuk bergegas melaksanakannya. Maka dari itu, panggung Jum’at sangat efektif sebagai ruang pembentukan karakter umat yang cerdas dan merdeka. Spirit Jum’at harus dijaga dan dimanfaatkan sebagai mimbar terbaik dalam membangun generasi umat untuk peradaban Islam dan kemanusiaan yang tamaddun (ummatan wasatan). “Jum’at adalah sebaik-baiknya hari kala mentari terbit”. [penggalan hadist nabi]
Kali ini, kita mengakhiri Ramadhan yang suci dengan Jum’at terakhir. Artinya tersisah tiga hari menuju kemenangan (Idul Fitri), yang kita peroleh sesuai janji Allah SWT dalam Al-Qur’an adalah kemenangan sebagai “La ‘Allakum Tattakun”. Dalam pada itu, menjadi “Muhsinin” adalah predikat yang harus kita kejar sebagai spirit membangun kekuatan diri dan umat yang revolusioner dan merdeka.
Seperti peringatan ketika khatib hendak memulai khutbahnya, “dengarlah dengan baik dan jangan berkata-kata”. Lalu, merenungi seraya panjatkan doa-doa dalam sujud yang khusyuk, dan bertebaran (berpencar mencari kehidupan) dimuka bumi.