Opini  

Homakiriwo atau Pomakiriwo Sebagai Wujud Hidup Orang Togale

Sefnat Tagaku

Oleh: Sefnat Tagaku

Pegiat Budaya

 

Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti; “budi dan akal manusia”.   Budaya terbentuk dari berbagai unsur yang rumit, termaksud system agama, politik, adat istiadat, bahasa, serta berbagai karya seni. Artinya, bahwa budaya tidak terbentuk secara alamiah, melainkan dari berbagai proses yang dilakukan secara berulang-ulang dan telah melekat pada kehidupan masyarakat.

Maksudnya adalah, budaya lahir dari tradisi-tradisi yang dilakukan terus menerus hingga telah menjadi sebuah kebiasaan, lalu di turunkan kepada setiap generasi. Budaya pada dasarnya adalah sebuah kebiasaan yang lahir dari sejak dulu dan di turunkan kepada setiap generasinya. Budaya sendiri menjadi sebuah identitas dari golongan suku tertentu, juga menunjukan sebuah ciri khas.

Perilaku-perilaku budaya akan menjadi sebuah nilai kearifan local dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak membatasi pada ruang dan waktu. Artinya, tradisi-tradisi itu akan hilang, jika makna budayanya tidak lagi melekat pada kehidupan masyarakatnya. Begitu pun terjadi pada kehidupan orang Tobelo dan Galela di Halmahera, dengan berbagai nilai kearifan localnya, yang di ambil dari tradisi-tradisi kehidupan mereka. Salah satu dari tradisi-tradisi yang berkesan hingga hari ini, adalah homakiriwo dan atau, pomakiriwo.

Pengertian Istilah Homakiriwo atau Pomakiriwo

Kata Homakiriwo berasal dari bahasa Tobelo, yang berarti; “saling membantu, saling menolong, saling menopang dan saling mendukung’. Dalam bahasa Galela, di sebut pomakiriwo yang mengandung arti sama dengan penyebutan dalam bahsa Tobelo. Istilah homakiriwo (bahasa Tobelo) atau pomakiriwo (bahasa Galela), lahir atas dasar sebuah tradisi yang dilakukan oleh orang-orang di Halmahera, khususnya yang bersuku Tobelo-Galela. Sebenarnya tradisi yang seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Tobelo dan Galela, tetapi juga yang bersuku lain. Misalnya; Makeang, Wayoli, Sawai, Tidore, Loloda, Ternate dan suku-suku lainnya yang ada di Halmahera. Namun pada tulisan ini, penulis lebih melekatkan homakiriwo atau pomakiriwo, kepada tradisi yang dilakukan oleh orang-orang Halmahera yang bersuku Tobelo-Galela.

Istilah homakiriwo atau pomakiriwo merupakan sebuah tradisi orang-orang Tobelo-Galela, dalam melakukan sebuah pekerjaan. Apapun pekerjaan seseorang akan di bantu oleh orang lain. Semisalnya, pekerjaan kelapa (pembuatan kopra), mengangkat rumah untuk di pindahkan ke tempat lain, mengeluarkan kayu yang akan di buat perahu, pembuatan rumah dan jenis pekerjaan-pekerjaan lainnya. Aktifitas-aktifitas seperti ini, biasanya dilakukan secara bergiliran. Maksudnya, kalau hari ini pekerjaan yang dilakukan kepada si A, maka hari-hari berikutnya kepada si B. Begitu aktifitas orang-orang Tobelo-Galela, yang terus menerus dilakukan secara bergiliran. Hal ini di sepakati tanpa di ikat oleh aturan yang baku. Meski demikian, kesepakatan itu jarang di langgar oleh mereka. Semacam ada rasa takut dan sanksi, jikalau lalai dari tradisi tersebut.

Kata homakiriwo atau pomakiriwo, tidak sekedar menjadi istilah biasa yang di ucapkan oleh orang-orang Tobelo-Galela, namun mengandung arti kemanusian dari sebuah filosofi kehidupan manusia. Kehidupan orang Tobelo-Galela sebelumnya, selalu di warnai dengan hidup yang berdampingan (saling baku sayang). Hal-hal tersebut dapat di lihat pada cara hidup orang Tobelo-Galela. Contohnya : kalau sekarang masyarakat Tobelo-Galela dalam melakukan pekerjaan pembuatan kopra harus membayar kepada orang lain untuk melancarkan pekerjaannya, dulu tidak demikian. Dulu sebuah pekerjaan yang di miliki seseorang akan di kerjakan secara bersama atau bergotong royong, sebagai bentuk saling menolong. Tradisi tersebut yang kemudian di namakan sebagai homakiriwo atau pomakiriwo.

Dalam makna teologisnya, homakiriwo dan pomakiriwo dapat di artikan sebagai suatu kehidupan yang saling mengasihi. Tentang saling mengasihi, dalam iman Kristen di sebut sebagai hukum kasih (Matius 22:37-40). Artinya, bahwa tradisi homakiriwo atau pomakiriwo sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, maka homakiriwo atau pomakiriwo, tidak sekedar menjadi sebuah tradisi biasa saja, melainkan menjadi sebuah gambaran kehidupan orang Tobelo dan Galela. Artinya untuk mengenal lingkungan orang Tobelo-Galela, hanya dengan melihat kehidupan masyarakatnya yang saling membantu atau menolong.

Budaya ‘Homakiriwo atau Pomakiriwo’dan Pengaruhnya dari Budaya Luar

Perkembangan zaman yang semakin berkembang pesat, sangat mempengaruhi kehidupan local masyarakat dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Perkembangan zaman modern perlahan menggeser nilai-nilai budaya local dari kehidupan sebuah masyarakat. Hal ini di sebabkan, adanya kekuatan besar dari budaya luar yang masuk dan ikut beradabtasi dengan lingkungan masyarakat local. Masuknya budaya luar, tentu akan mengganggu secara menyeluruh kehidupan budaya local. Salah satunya adalah budaya homakiriwo (bahasa Tobelo) atau pomakiriwo (bahasa Galela).

Hal ini tidak bisa di pungkiri, bahwa arus perkembangan zaman terus menghantui dan mengganggu eksistensi dari kehidupan budaya local. Seseorang akan di katakan konyol, kuno, ketinggalan, dan penyebutan-penyebutan yang serupa itu, ketika orang tersebut masih mempertahankan budaya lokalnya. Artinya, rasa gengsi terhadap budaya sendiri menjadi suatu factor pendorong yang kuat, dari tenggelamnya budaya local. Tentunya, hal ini akibat dari kuatnya perkembangan zaman yang semakin modern.

Semisalnya; sebelum jauh perkembangan zaman modern ini, kehidupan orang Tobelo dan Galela di kenal sangat kuat dengan budaya saling membantu, menolong dan mendukung (homakiriwo atau pomakiriwo), kini perlahan tidak lagi nampak di praktekan oleh generasi hari ini. Kalau sebelumnya orang Tobelo-Galela mengerjakan suatu pekerjaan dengan cara bergotong royong (homakiriwo atau pomakiriwo), sekarang lebih pada masing-masing individu. Artinya, jika si A memiliki suatu pekerjaan, maka dia sendiri yang harus menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Hal ini menggambarkan, bahwa budaya homakiriwo atau pomakiriwo juga perlahan tenggelam akibat kuatnya arus zaman modern. Padahal, budaya homakiriwo atau pomakiriwo merupakan satu-satunya tradisi yang dapat membangun suatu peradaban masyarakat. Selain itu, budaya homakiriwo atau pomakiriwo dapat membantu dalam mendorong suatu kemajuan daerah, bahkan desa. Maka budaya-budaya ini harus terus di lestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika tidak dilakukan, maka satu-persatu budaya local orang-orang Halmahera akan punah dan hilang dari peradaban dunia yang semakin modern.

Dampak Bergesernya Budaya ‘Homakiriwo atau Pomakiriwo’, Bagi Orang Tobelo-Galela di Halmahera

Memang benar bahwa pergeseran nilai budaya homakiriwo atau pomakiriwo, tidak memberi dampak keseluruhan bagi kehidupan masyarakat orang Tobelo-Galela di Halmahera, namun memberi dampak buruk dalam relasi antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Artinya, ketika hilangnya budaya homakiriwo atau pomakiriwo, melahirkan pemikiran masyarakat yang cenderung memikirkan pada individualnya, ketimbang mereka memikirkan orang banyak. Hal tersebut akan berpengaruh hingga pada sendi kehidupan yang lain.

Selain itu, dampak besar yang di hadapi oleh orang-orang Tobelo dan Galela di Halmahera, adalah kehilangan identitas diri sebagai orang orang Tobelo-Galela. Hal ini tergambar dengan jelas, bahwa budaya merupakan identitas diri dari suatu golongan tertentu, termaksud suku. Bagaimana mungkin kita akan mampu bertahan hidup, jika kita telah kehilangan identitas diri. Ibaratnya, seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, tetapi kehilangan kompas dalam perjalanannya. Orang tersebut bisa kehilangan arah tujuannya dan tersesat dalam perjalanannya.

Refleksi Homakiriwo atau Pomakiriwo di Era Kekinian

Pergeseran nilai-nilai budaya memang menjadi sebuah pergumulan besar berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah suku Tobelo-Galela. Seperti yang penulis muat pada bagian sebelumnya, bahwa hilangnya budaya ketika ada terjadi pergeseran pemikiran, dari yang dianggap kuno ke lebih modern. Pergeseran pemikiran inilah, yang kemudian ikut menggeserkan nilai-nilai budaya yang sudah sejak lama tertanam dalam kehidupan masyarakat local. Apalagi hari ini kita telah berada pada fase globalisasi. Pada fase ini, orang-orang akan lebih cenderung melakukan sesuatu yang bersifat budaya modern, ketimbang dengan yang local atau kuno.

Padahal di satu segi, bahwa nilai-nilai kebudayaan merupakan bagian pedoman hidup sebuah masyarakat. Sayangnya, generasi hari ini lebih memilih untuk hidup modern, ketimbang melakukan tradisi-tradisi budaya dari leluhurnya. Meski demikian, sebagai orang yang masih sadar akan pentingnya budaya dalam kehidupan hari ini, termaksud budaya homakiriwo atau pomakiriwo, kita di tuntut untuk tidak pesimis dalam upaya mengembalikan nilai-nilai budaya tersebut.

Oleh karnanya, pola pendidikan kebudayaan perlu di dorong untuk di pelajari dari generasi yang satu ke generasi lainnya, sebagai pengetahuan yang akan mempengaruhi perkembangan social dan perilaku individu.   Pengembangan pola pendidikan kebudayaan Tobelo dan Galela, khususnya budaya homakiriwo atau pomakiriwo, harus terus di sosialisasikan kepada setiap generasi. Sehingga melahirkan generasi yang sadar akan budaya sebagai identitas diri dalam wujud kehidupan orang Tobelo dan Galela. (*)