Opini  

Kekerasan Merajalela, Kampus Bisa Apa ?

Naufandi Hadyan Saleh.

Oleh: Naufandi Hadyan Saleh

Mahasiswa Prodi PBA IAIN Ternate

 

Perguruan Tinggi merupakan sebuah lembaga yang menyiapkan ruang untuk terlaksananya proses pendidikan pada taraf yang lebih tinggi. Hal ini membuat perguruan tinggi jauh lebih berbeda dibanding sekolah pada tingkatan dasar, menengah, dan atas. Perbedaan yang cukup signifikan akan dirasakan oleh seorang yang akan menjadi mahasiswa ketika pertama kali melangkahkan kakinya menuju sebuah Perguruan Tinggi.

Transisi kata siswa menjadi mahasiswa merupakan sebuah gerak menuju fase pendidikan yang lebih bersifat universal. Jika semasa mengenyam pendidikan di sekolah dasar, menengah, dan atas, para siswa akan dibentuk wawasan keilmuan pada sistem kecil yang mengerucut pada produktifitas sebayanya maka itu berbeda dengan Perguruan Tinggi. Pada Perguruan Tinggi, para siswa akan merasakan suatu sistem dan ruang lingkup pendidikan yang lebih besar. Banyak kalangan dari berbagai usia, latar belakang, dan pemikiran akan menyatu pada sistem tersebut. Tak ayal penambahan kata maha sebelum kata siswa adalah penguat dan penyematan bagi seorang yang akan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Perguruan Tinggi juga acap kali disebut sebagai pusat peradaban manusia. Barisan para akademisi dan intelektual dari berbagai strata, mulai dari strata terendah yakni, mahasiswa sebagai para kaum sarjana dan calon sarjana hingga pada tingkatan tertinggi Professor berbaris rapi pada setiap sisi Perguruan Tinggi. Proses mencari, meneliti, dan mengimplementasikan ilmu menjadi beberapa suguhan yang ada pada Perguruan Tinggi. Itu kenapa dalam Perguruan Tinggi tumbuh subur dan harum ruang-ruang intelektual sebagai bagian dari ciri khas serta orientasinya.

Pemandangan indah yang telah dijelaskan tadi menjadi sisi tersendiri yang ada pada kehidupan Perguruan Tinggi. Itu kenapa mahasiswa sebagai salah satu penduduk yang ada di dalamnya juga sering disebut sebagai kaum utopia (kaum masyarakat yang sangat berkualitas). Sehingga dalam klasifikasinya, mahasiswa berdiri sebagai kaum elit masyarakat Indonesia. Hal ini dirasa tak berlebihan jika melihat kehidupan mahasiswa pada sebuah Perguruan Tinggi. Menjadi suatu kesempatan yang berharga jika seorang individu dapat mengenyam pendidikan pada Perguruan Tinggi yang tak semua orang mampu untuk merasakannya.

Namun realitas sosial kini mampu untuk berkata lain, dambaan sebuah pusat peradaban manusia yang semestinya mulai terkikis dengan maraknya kasus kekerasan yang terjadi pada lingkungan Perguruan Tinggi. Menyinggung soal kekerasan perlu kita awali dengan mengklasifikasikan kekerasan berdasarkan jenis-jenisnya. pertama kekerasan verbal, kedua Kekerasan non fisik, ketiga kekerasan fisik, dan keempat kekerasan Daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Dengan melihat data dan pemberitaan media tentang kasus kekerasan yang ada di Perguruan Tinggi, rasa-rasanya hampir secara keseluruhan jenis-jenis kekerasan yang disebutkan pernah terjadi di Perguruan Tinggi.

Disebutkan dari berbagai sumber data yang ada, tindak kekerasan yang menimpa kaum perempuan menempati posisi teratas dalam kasus kekerasan. Tingginya angka kekerasan yang menimpa para kaum perempuan membuat kasus kekerasan pada perempuan menjadi topik yang paling hangat untuk diperbincangkan saat ini. Kekerasan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan yang marak terjadi di Indonesia saat ini. Hal ini bukan tanpa alasan, terhitung mulai tahun 2015 hingga pada tahun 2021 melalui data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tercatat kurang lebih kasus kekerasan seksual yang dialami oleh para kaum perempuan menyentuh angka 67 kasus. Belum cukup sampai disitu, publik seakan-akan kembali dibuat tercengang dengan data yang menyebutkan bahwa kekerasan seksual yang menimpa para kaum perempuan, 35 kasus diantaranya justru terjadi di Perguruan Tinggi. Para mahasiswi yang dalam hal ini menjadi sosok ataupun korban yang paling banyak  terdata pada kasus kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan.

Saat belum sempat usai dengan kasus kekerasan seksual yang menjadi perhatian khusus dari berbagai lapisan masyarakat, kini publik kembali dihebohkan melalui pemberitaan sebuah media massa. Trotoar Malut  dalam salah satu beritanya yang berjudul “Kekerasan di Lingkungan Kampus”  tertanggal 22 Juni 2022 menyebutkan adanya kekerasan yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Propinsi Maluku Utara, tepatnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate. Dalam redaksinya disebutkan ada salah seorang oknum sekuriti (RI) yang bertugas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate telah melakukan tindakan kekerasan terhadap salah satu mahasiswa program studi Manajemen Pendidikan Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate berinisial (RB). Peristiwa  yang terjadi pada Rabu, 22 Juli 2022 itu diduga dipicu karena kesalahpahaman.

Kejadian yang dipicu karena kesalahpahaman itu menyebabkan adanya kontak fisik. Akibatnya, korban (RB) mengalami luka pada bagian kepala karena terkena pukulan dari sang sekuriti (RI). Tidak terima atas perlakuan yang menimpanya, korban pun melaporkan pelaku ke pihak kepolisian. Menerima laporan tersebut, pihak kepolisian menindaklanjuti dengan turun langsung ke TKP. Beruntung kasus ini cepat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan yang dimediasi oleh pihak kepolisian dengan melahirkan beberapa catatan yakni, membebankan biaya pengobatan korban kepada sang pelaku. Sedangkan pihak kampus sendiri, bersedia menanggung biaya pengobatan korban secara penuh. Dalam beritanya, Trotoar Malut menyebutkan kronologis secara lengkap.

Dengan adanya kasus tersebut, semakin menambah deretan kasus kekerasan yang ada di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi menjadi sasaran empuk sekaligus penyumbang angka terbesar dalam kasus kekerasan. Jelas ini merupakan satu hal yang mengagetkan dan memprihatinkan bagi kita semua. Perguruan Tinggi yang awalnya diproyeksikan sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan tri dharma Perguruan Tinggi, kini sedikit tercoreng dengan adanya kasus kekerasan yang tumbuh subur di dalamnya. Perguruan Tinggi yang didapuk sebagai tempat berkumpulnya para civitas akademika, para intelektual, dan para kaum terdidik justru beralih fungsi sebagai ladang empuk para predator kekerasan. Tentu ini tidak mencerminkan orientasi sesungguhnya dari sebuah tempat yang sering disebut pusat peradaban manusia.

Ada beberapa hal bisa dikritisi dari rentetan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Pertama, deretan kasus di atas semakin menodai wajah pendidikan nasional yang tidak lagi mampu menjelma sebagai solutor dalam upaya mencerdasan kehidupan anak bangsa yang berakhlakul karimah sesuai dengan amanat konstitusi. Kedua, kampus tidak lagi menyediakan ruang yang nyaman dan aman bagi setiap mahasiswanya untuk memperoleh hak dan kewajibannya dalam dunia pendidikan. Ketiga, tidak ada sanksi tegas sebagai langkah Detterent Effect (efek jera) berupa pemberhentian bagi setiap pelaku kekerasan, sehingga secara tidak langsung kampus terkesan memelihara para pelaku kekerasan untuk hidup di lingkungannya.

Beberapa hal yang dikritisi di atas merupakan gagasan dan pandangan yang coba dicurahkan sebagai upaya mengembalikan orientasi dan citra Perguruan Tinggi yang sesungguhnya. Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi sepatutnya dipandang sebagai suatu masalah yang serius dari berbagai lapisan masyarakat yang ada di dalamnya. Perguruan Tinggi harusnya mampu menjelma sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan ruang yang aman dan nyaman bagi setiap masyarakatnya. Sebab bukankah hasil dari pengetahuan adalah tindakan, yang dalam rasionya dapat dipahami pembentukan karakter dan kepribadian yang luhur sebagai buah dari suatu pengetahuan.

Jika Perguruan Tinggi adalah gudangnya orang-orang yang berpendidikan dan berwawasan tinggi dengan capaian titel dan penghargaan yang berbaris rapi di nama setiap para pendidiknya, maka menjadi hal yang tidak bisa diterima jika di dalam sebuah Perguruan Tinggi hadir tindak kasus kekerasan yang tidak mencerminkan karakter dan kepribadian orang-orang terdidik. (*)