Oleh: Muhammad Hasan Basri S.H, M.H
Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
Kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia telah membuka peluang kepada daerah-daerah untuk melakukan tuntutan otonomi khusus. Saat ini ada empat wilayah di Indonesia yang memiliki status otonomi khusus dan status istimewa, yakni Provinsi Papua, Provinsi Aceh, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tuntutan otsus dan status istimewa selanjutnya diikuti oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia seperti Riau, Bali, Kalimantan Timur dan Maluku Utara. Tuntutan perubahan status otonomi ini selain untuk mendapatkan pengakuan secara histori dan budaya juga untuk meningkatkan kesejahteraan, khususnya melalui pengelolaan keuangan daerah.
Secara konstitusional UUD 1945 memberikan perlindungan status khusus dan istimewa yang dimiliki oleh masing-masing daerah sepanjang masih ada dan tetap diberlakukan. Pasal 18B Ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Konsekuensi dari jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundang-undangan mengenai “daerah yang bersifat istimewa” itu haruslah tidak mengabaikan hak asal usul daerah tersebut.
Tuntutan Otsus dan Status Istimewa
Wacana status otonomi khusus dan daerah istimewa di Maluku Utara bukan hal baru, Pada tahun 2005 Maluku Utara turut menyuarakan tuntutan otsus namun belum dilengkapi dengan kajian akademis. Maluku Utara juga menuntut agar diberikan status istimewa oleh karena ada alasan historisnya dimana peran Kesultanan yang turut memberikan kontribusi terhadap NKRI. (R. Siti Juhro dkk, 2020). Tuntutan ini kembali digencarkan di tahun 2017 saat akademisi dari Universitas Khairun, King Faisal Sulaiman mengeluarkan buku berjudul “Otsus untuk Malut”. Wacana otsus ini sempat menghilang oleh karena hanya dikonsumsi oleh beberapa aktor politik dan akademisi di Maluku Utara serta belum disiapkannya Naskah Akademik secara kompherensif sebagai argumentasi tuntutan otsus. Tuntutan Maluku Utara sebagai daerah istimewa kembali di dorong oleh Sultan Ternate Hidayatullah Sjah yang di dukung oleh Dewan Provinsi Malut dan beberapa akademisi (Malut Post, 13 Juli 2022).
Sebagai daerah kesultanan Moloku Kie Raha memiliki andil terhadap bergabungnya Papua ke NKRI pada masa pemerintahan Soekarno. Pada saat itu, tahun 1952 saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi Malino di Makassar di mana Sultan Zainal Abidin Syah juga diundang. Saat itu PBB menawarkan menawarkan solusi penyelesaian Irian yang sekarang disebut Papua, pertama, Papua dan Tidore menjadi negara merdeka. kedua, Papua dan Tidore berdaulat dibawah kerajaan Belanda. ketiga, Papua dan Tidore menyatu dengan NKRI.
Saat itu Sultan Tidore lebih memilih opsi ketiga, meyatu dengan NKRI. (Dini Suryani, R. Siti Zuhro, 2020). Sementara untuk wilayah kesultanan yang ada di Maluku Utara meliputi 4 Kesultanan yakni Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Keistimewaan Kesultanan di Maluku Utara telah hadir sebelum NKRI terbentuk. Dengan kontribusi dan status keistimewaan yang dimiliki negara harusnya memberikan penghargaan terhadap kesultanan di Maluku Utara.
Beda sikap Daerah Istimewa
Tuntutan Daerah Istimewa mendapat respon yang berbeda dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Wagub Malut M. Al Yasin Ali lebih berkeinginan menjadikan Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru, (Malut Post, 15 Juli 2022). Polemik ini menandakan bahwa belum ada format yang baku untuk diperjuangkan ke Pemerintah Pusat, apakah Daerah Otonomi baru atau Daerah Istimewa Maluku Utara.
UUD 1945 mengakui kenyataan historis, bahwa daerah-daerah istimewa itu telah memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimilikinya sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atau yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia. (Ni’matul Huda, 2017).
Closing Statement
Perbedaan pengusulan status daerah istimewa oleh pihak kesultanan dan daerah otonomi baru sofifi dari pihak pemerintah menandakan bahwa belum jelasnya format yang diinginkan. Daerah Perlu menyiapkan format yang jelas apabila meminta daerah otonomi baru sofifi atau status daerah istimewa dengan adanya 4 Kesultanan di Maluku Utara. Perlu adanya pelibatan masyarakat dalam usulan ini sehingga menghindari manipulasi elite, dan ini tidak cukup hanya klaim yang disampaikan elite dengan mengatasnamakan rakyat. Penulis berharap adanya diskursus yang dibangun oleh seluruh pihak baik dari Pemerintah, Kesultanan, Akademisi, Pemuda, dan masyarakat pada umumnya sehingga ada issue yang sama untuk diperjuangkan dalam mengakomodir kepentingan Maluku Utara kedepan. (*)