Oleh: Sefnat Tagaku
Pegiat Budaya
Ibarat tempat terbitnya matahari dari Timur, begitu pula saya melihat sejumlah kekayaan ke-Indonesia-an kita dari Timur, khususnya wilayah Utara Maluku. Ada rasa bangga ketika dilahirkan di Utara Maluku yang daerahnya dipenuhi dengan sejumlah kenangan historis.
Cerita tentang rempah-rempah yang membludak di seantero nusantara, hingga kini masih terlintas dibenak kita. Bahkan, masih tersimpan rapi dalam buku sejarah pendidikan, bahwa Utara Maluku itu kaya dengan alamnya. Negeri ini memang indah dan menarik perhatian orang.
Tidak berhenti di situ cerita tentang Utara Maluku, hingga kini daerah ini masih terus dipuja dan dipuji atas kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu melimpah. Emas, batu bara, kayu, pasir besi, nickel dan sejumlah kekayaan lainnya menjadi alasan mengapa daerah ini dipuji.
Pujian datang dari berbagai investor asing melalui hadirnya perusahan-perusahan besar untuk mengelola daya alam yang begitu banyak. Cerita tentang Utara Maluku pun tidak redup, bagaikan film drama Korea (drakor) yang serinya tidak pernah habis.
Pujian dan pujaan itu berbarengan dengan tangisan para penghuni negeri ini, saat melihat ketidak adilan, perampasan hak, hingga kerusakan alam benar-benar dialami oleh mereka. Sungguh, kekayaan alam di negeri ini hanya akan menjadi kisah manis yang memilukan para penghuninya.
Berharap lebih pun tidak memungkinkan bagi rakyat kecil yang tak punya kuasa, mereka hanya akan menjadi pekerja keras bagaikan berada dalam fase penindasan sebelum kemerdekaan. Ini fakta, bukan khayalan, bahwa Utara Maluku masih jauh dari kemerdekaan.
Konon katanya, selain memiliki kekayaan alam, negeri ini pun berbudaya. Namun semua itu memudar dan perlahan hilang. Tarian cakalele, tide-tide, soya-soya, denge-denge dan sejumlah tarian budaya lainnya yang diyakini memiliki kekuatan dari para leluhur, kini hanya sekedar dibanggakan tapi tak lagi terlestarikan. Ini bukti, bahwa kita semakin kehilangan arah kemerdekaan.
77 Tahun Indonesia : Harapan Timur Indonesia
Indonesia kini telah berusia ke-77 tahun setelah merdeka dari penjajahan. Usia yang tak lagi muda. Jika di ibaratkan dengan usia manusia, mungkin Indonesia saat ini hanya bisa terbaring di tempat tidur dan sakit-sakitan. Namun karena Indonesia adalah sebuah negara besar, maka semakin tua, meski harus lebih dewasa.
Kedewasaan itu harus terlihat dari gaya yang menampilkan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka. Ini harapan dan juga mimpi, bahwa Indonesia harus menemukan jalan kemerdekaannya. Kemerdekaan Indonesia tidak hanya terlihat di Barat, namun juga Timur. Sebab Timur juga Indonesia.
Menarik! Dalam perayaan usia yang ke-77 tahun Indonesia, ada sosok anak kecil yang berhasil menggoncangkan dunia, dia adalah Farel Prayoga. Farel (sapaannya) membuat para petinggi negara tergoyang-goyang di halaman Istana Indonesia melalui lagu yang dibawahkan dengan judul, “Ojo Dibbandingke”, sebuah lagu berciri khas Jawa.
Apa yang dibuat Farel berhasil menuai pujian dan rasa bangga. Ini potensi yang dimiliki Indonesia. Saya melihat hal ini, terlepas berbagai prespektif publik dari penampilannya, Farel sebenarnya pula berhasil menunjukan gaya yang merdeka. Ini lho, jika kita benar-benar merdeka. Bahagia, senang, bergoyang dan penuh dengan tawa, tanpa beban.
Timur Indonesia berharap itu, bahwa merdeka tanpa beban harus dirasakan. Jangan lagi ada tangisan, keluhan, apalagi ketidak adilan. Kita sudah merdeka lho, 77 Tahun lagi. Mengapa masih menangis ibarat saat berada dalam penjajahan? Kepada pemangku kekuasaan, mohon dengar ini. Ini adalah harapan, harapan anak negeri bukan generasi investor asing.
Biarlah 77 Tahun Indonesia memberi dampak baik bagi rakyat kecil, seperti penampilan Farel yang menunjukan simbol kemerdekaan. Senang, jika merasakan keadilan, keamanan, kenyamanan, itu nilai kemerdekaan yang tidak bisa ditawar. Mari merdeka tanpa tangisan, tanpa ada lagi korupsi, tanpa ada narkoba, tanpa ada pembodohan, tanpa ada pembunuhan. Sekali lagi itu, nilai merdeka yang sejati. (*)