Opini  

Kemandirian dan Semangat Relawan untuk Terus Menebar Kebaikan

Liliyanti.

Oleh: Liliyanti

Relawan PMI Kota Ternate

 

Dibentuknya Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) oleh ICRC yang menjadi salah satu komponen gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah wujud dari pergeseran dan perubahan yang terjadi di kalangan pegiat kemanusiaan di seluruh dunia. Pelbagai definisi kemanusiaan dapat ditemukan di mana-mana. David Rieff, misalnya, mengusulkan definisi kemanusiaan terbatas sebagai ketentuan independen, netral dan berimbang tentang bantuan untuk korban konflik dan bencana alam. Meskipun terdapat pelbagai definisi tentang kemanusiaan, esensi kemanusiaan adalah untuk menyelamatkan risiko hidup dan mengurangi penderitaan.

Problem kemanusiaan disekeliling kita; Asia telah menjadi medan perang untuk sebagian besar konflik dunia yang telah terjadi. Konflik tidak selalu buruk, hanya dengan kekerasan yang merusak menjadikan sebuah konflik menjadi negatif. John Paul Lederach menjelaskan bahwa “Konflik yang terjadi merupakan hal normal yang secara terus menerus akan hadir dalam hubungan manusia dan membawa perubahan. Hubungan manusia tidak statis namun dinamis, oleh karena itu dia berproses, beradaptasi, dan berubah. Konflik merupakan mesin perubahan.” Kita bisa melihat bahwa bencana alam dan konflik komunal yang masih sering melanda Indonesia adalah sebagai ujian terhadap jiwa kemanusiaan dan kebangsaan kita. Apakah bencana alam itu bisa menyadarkan dan membangkitkan jiwa kemanusiaan kita atau justru memperlemah visi kemanusiaan kita. Bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada Desember 2004 membawa blessing in disguese (berkah secara tidak langsung) karena bencana itu memperkuat solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan bangsa ini. Problem kemanusiaan dan kebangsaan kita juga terjadi pada soal lemahya perlindungan terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas sebetulnya juga bagian dari bangsa Indonesia dan wajib dipenuhi hak-hak sipil dan politiknya.

Tentu saja dalam implementasi gerakan kemanusiaan ini dibarengi dengan implementasi hukum humaniter internasional. Implementasi ketentuan hukum adalah salah satu masalah yang memerlukan perhatian dari seluruh warga, apalagi hukum tersebut adalah hukum asing yang belum banyak dikenal masyarakat. Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situlah ada hukum. Barangkali ungkapan ini bisa diartikan bahwa hukum yang ada di masyarakat tersebut adalah hukum yang berasal dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dimana hukum itu ada. Pada zaman modern ini, semua masyarakat di mana pun berada dituntut untuk menerima hukum lain (asing) yang tidak berasal dari masyarakat itu sendiri atau bukan dari negara di mana masyarakat itu berada. Hukum asing itulah yang dinamakan Hukum Internasional. Ketentuan Hukum Internasional ini memerlukan waktu yang lama dan mungkin mengundang perdebatan yang panjang sebelum suatu negara dapat meratifikasinya dan bahkan menerimanya sebagai salah satu sumber hukum di negaranya sendiri.

Hukum Humaniter Internasional adalah nama lain dari Hukum Perikemanusiaan Internasional yang nama lengkapnya adalah International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Nama ini di kalangan akademisi dikenal dengan Hukum Humaniter, dalam bahasa Indonesia istilah ini menjadi sedikit membingungkan. Sebagai contoh, terjemahan International Humanitarian Law dalam bahasa Indonesia menjadi Hukum Humaniter Internasional. Kata “humaniter” dipertahankan dan tidak diterjemahkan menjadi “kemanusiaan” karena bisa membuat maknanya menjadi sangat luas dan mencakup banyak hal, akan digunakan istilah “kemanusiaan”. Kata “urusan kemanusiaan”, sebagai contoh, adalah terjemahan dari “humanitarian affairs”. Seperti yang ditulis Muhammad Nur Islami, Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechstaat) telah memperhatikan kewajiban-kewajiban tersebut, antara lain, dengan meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958 serta dibentuknnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia (PMI). Pembentukan PMI ini sebagai langkah pertama kewajiban yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka “Menghormati” hukum humaniter yang telah diratifikasi tersebut. Disamping itu, Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Kepalangmerahan.

Berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, tentu harus dipikirkan secara serius dan mendalam, untuk kemudian dicarikan visi ke depan dan strategi untuk membangun semangat yang baru. Ini adalah problem yang harus mendapatkan perhatian dan menjadi keprihatinan kita semua. Jika kita tinjau, baca, renungi dan hayati secara mendalam nilai-nilai yang ada dalam Tujuh 7 (tujuh) Prinsip Dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Adanya prinsip dasar gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional yang dijadikan sebagai dasar penanaman karakter, yaitu: kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan.

17 September 1945 Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk dan diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Dan tahun ini PMI akan merayakan 77 tahun Hari Palang Merah Indonesia. Perjuangan relawan sampai detik ini merupakan jihad kemanusiaan. Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat pula bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik, sebagaimana yang ditegaskan Quraish Shihab bahwa jihad menjadi titik tolak seluruh upaya; karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya mewujudkan jati diri yang bermula dari kesadaran. Kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaaan. Karena itu relawan bersedia berkorban tenaga dan waktu bahkan dengan nyawa, dan tak mungkin menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan karya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, dan demikianlah seterusnya.

Eksistensi Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai sebuah organisasi kemanusiaan merupakan sebuah pengharapan  dalam hal memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada para korban, mencegah dan mengurangi penderitaan manusia dimanapun dengan memanfaatkan kemampuannya namun lebih daripada itu PMI perlu untuk mengevaluasi dan memikirkan kembali jati dirinya sebagai sebuah organisasi kemanusiaan. Dua pekerjaan rumah yang penting untuk dilakukan adalah memberdayakan jaringan dan mempersiapkan generasi baru. Membangun jaringan tidaklah cukup, memberdayakan jaringan sangat diperlukan untuk PMI. Hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari keduanya, PMI dan organisasi untuk kemanusiaan lainnya. Dan yang lebih utama adalah diperlukan sebuah desain besar dalam penyusunan strategi untuk proses pemberdayaan. Bagian ini menyoroti program Bulan Dana sejak dibentuk pada tahun 2011 oleh PMI Kota Ternate. BD telah menjadi kemandirian PMI Kota Ternate dalam membantu orang yang membutuhkan terutama pada saat bencana. Bulan Dana yang bergerak di bidang filantropi untuk tujuan pelayanan sosial, pemberdayaan, dan penanggulangan bencana dan program kemanusiaan lainnya. Yang membedakan BD dari penggalangan dana lainnya adalah kemampuannya dalam memberdayakan sumber daya keuangan lokal sehingga tidak tergantung pada pendanaan hibah/pemerintah.

BD merupakan tujuan untuk membangun kemandirian dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Bulan dana telah membuktikan menjadi sebuah program penggalangan dana yang kuat. Namun demikian, keberadaan Bulan Dana harus dibarengi dengan ketersediaan ruang publik yang luas uapnya terus-menerus untuk mencapai masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ini, penting untuk menguatkan peran BD untuk ikut serta dalam menyediakan berbagai forum, menguatkan aspek pengetahuan melalui kajian, penerbitan, dan publikasi ilmiah lainnya. Selain itu, mendorong semakin kuatnya sektor organisasi lainnya melalui advokasi kebijakan public terutama aspek pendanaan organisasi, membangun kemitraan dan kolaborasi dengan beragam organisasi kemanusiaan juga merupakan elemen penting untuk kemandirian dan menunjang kerja-kerja PMI yang lebih sejahtera dan lebih baik.

Selanjutnya adalah untuk mempersiapkan masa depan. Regenarasi sangat penting bagi PMI untuk menjamin partisipasi masyarakat yang lebih besar. Hal ini juga untuk melanjutkan tugas kemanusiaan. Hemat saya, saat ini PMI terus memerlukan kerjasama dengan aktivis kemanusiaan maupun sektor lainnya untuk dapat menjawab dan mengantisipasi pelbagai problematika yang dihadapi para relawan ketika berada dalam situasi apapun, dan bagaimana agar hukum kemanusiaan internasional juga bisa diterapkan. Sehingga dialog dan kerja sama di kalangan aktivis kemanusiaan tak dapat ditunda lagi, khususnya di dalam mempromosikan konsep-konsep HHI yang dihasilkan dari konvensi jenewa dan telah diratifikasi. Dan juga independensi program Bulan Dana dalam menjalankan aktivitasnya, bebas dari intervensi kepentingan politik dan dapat bersikap mandiri secara finansial sehingga tidak mudah dipengaruhi atau di-dikte oleh orang lain. (*)