Oleh: Ibrahim Yakub, SE.
Direktur Kajian Strategis Bakornas LEMI PB HMI
Ekonomi bukan saja dipahami secara teoritik yang direduksi kedalam konsep-konsep yang tabu semata. Namun ekonomi mengandung unsur kehidupan sosial yang rentan dengan nyawa semua orang, disana setiap individu akan berkorban untuk mendapatkan sandang, pangan dan papan mereka. Gujingan yang berkembang bahwa “jika satu dokter salah menangani satu pasien maka akan mengancam satu nyawa saja, namun jika pemerintah keliru membijaki satu masalah ekonomi tentu menekan banyak nyawa orang” pengibaratan dari gujingan ini benar adanya dan sesungguhnya keduanya tidak bisa dibandingkan sebab dua-duanya memiliki keeratan dalam menciptakan kesejahteraan serta keselamatan sosial, seirama dengan apa yang didefinisikan oleh Chief J.O.Udoji, pakar kebijakan publik dari nigeria tahun (1981) mengatakan kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar masyarakat.
Hubungan erat itu karena siklus ekonomi menentukan presentasi naik tidaknya kesehatan masyarakat yang ada. Sederhananya orang tidak akan sakit jika memiliki pendapatan yang dilakoni sesuai pekerjaan, dengan begitu makan dan minum bisa diperoleh sesuai standar biaya kebutuhan mereka. Namun cenderung pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan fakta-fakta sosial yang terjadi atau ada ketidaksesuaian antara harapan publik sama kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi.
Potret umum kebijakan ekonomi
Kenapa ada economi policy, lalu bagaimana perkembangan kebijakannya? Pertanyaan seperti ini lumrah harus dimunculkan dalam nalar setiap analis kebijakan to track community problem. Setiap kebijakan harus dibuat berdasarkan rumusan masalah yang berkembang di masyarakat sebab awareness of a problem sangatlah penting. Namun pada situasi lain proses pembuatan kebijakan ekonomi bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah lama berada dalam presepsi notabenenya disebut belum mendapatkan sentuhan pemerintah dan akan ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah.
Kebanyakan masalah-masalah tersebut sebagian orang menganggap itu hanya sebatas isu, yang sebenarnya isu-isu kebijakan lazimnya muncul karena sering terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai karakter masalah itu sendiri sekaligus dengan rumusan masalah tidak melibatkan beragam komponen terkait (Baca solichin). Perbedaan pandangan dan kurangnya integrasi inilah yang membuat pengamat cukup sulit dalam membuat sebuah kebijakan salah satunya kebijakan ekonomi. Disisi lain Maker policy yang hanya berkutat disiklus elit kekuasaan akan berimbas pada banyak kebijakan tidak mencapai pada kebutuhan publik yang diinginkan. Hal ini bisa diamati dengan perkembangan kebijakan pemerintah indonesia yang menaikan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, solar dan pertamax.
BBM mengundang bola salju ekonomi.
Bukan kali pertama bahan bakar minyak (BBM) ini menjadi hal krusial dan urgensi dalam memantik publik untuk mewacanakannya bahkan menghantui sejumlah aktifitas ekonomi masyarakat, sejauh ini diketahui bahwa proporsi jumlah konsumennya diatas 70 persen, itu berarti bahwa sudah pasti akan berimbas terjadinya inflasi. Penetapan harga bahan bakar minyak pada tanggal 03 september 2022 dengan jenis bahan bakar pertalite dari harga Rp.7.650 ke 10.000 per liter, solar subsidi dari Rp.5.150 menjadi Rp. 6.800 per liter dan harga pertamax dari Rp. 12.500 dinaikkan Rp.14.500 per liter yang diasumsikan akan menciptakan inflasi mencapai 6,2 persen year on year. Keputusan ini bisa dikatakan pemerintah kita bukan berpihak pada ketahanan serta keberlangsungan ekonomi masyarakat kita namun lebih mengejar peningkatan angka statistik keuangan negara yang melarutkan kemiskinan dan pengangguran berkapanjangan.
Hal inilah yang akan menciptakan bola salju ekonomi (economic snowbell). Terlebih dahulu kita harus memaknai bola salju secara umum bisa dipahami merupakan bola salju kecil bergelinding dari tempat yang lebih tinggi, kemudian akan menarik salju-salju kecil untuk menempel hingga semakin turun akibat dari adanya gaya gravitasi dan tekanan akan membuat ukuran salju itu semakin besar (baca : Alice Schroeder). Gambaran ini secara kontekstual spesifik pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memiliki pengaruh secara perlahan dalam waktu cepat terhadap harga barang yang akan naik secara umum (inflasi). Jika itu terjadi tentu sangat mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat serta upah menurun akibat dari pendapatan yang cenderung tetap sehingga efeknya daya beli masyarakat turut ikut rendah. Maka nasib ibu rumah tangga, nelayan, petani dan pengendara roda dua dan empat jangka panjang terkantung-terkantung dengan penghasilan yang tidak stabil.
Solusi selain menaikan BBM
Terdengar begitu lugas dari berbagai macam informasi media alasan presiden jokowi menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akibat dari selalu terjadi peningkatan anggaran subsidi 3 kali lipat dari Rp.152 triliun menjadi 502,4 triliun. Ditambah lagi pengguna subsidi tidak tepat sasaran, anggaran subsidi itu dicabut dan menaikan (BBM) agar mampu membiayai kebutuhan masyarakat tidak mampu, untuk menjawab fenomena tersebut Menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan satu-satunya solusi yang tepat ditengah ekonomi lagi slow. Namun ada beberapa langkah yang harus dilakukan diantaranya pertama, melakukan pemetaan anggaran IKN yang sebagiannya diperuntukan untuk rakyat, kedua, membuat klasifikasi pembatasan pengguna jenis bahan bakar bersubsidi pertalite dan solar dengan type kendaraan yang dipakai oleh pengguna transportasi baik pribadi maupun umum bersamaan dengan penguatan regulasinya. (*)