Oleh: Iffandi Pina
Ketua Umum BP-HIPPMAMORO dan Camerad SAMURAI Malut
“Ungkapan cinta itu memberikan tambahan nyawa dalam jiwa”. Habiburrahman El-Shirazy.
Cinta (love) termasuk salah satu konsep yang paling banyak dikagumi, minati bahkan dirasakan namun paling kurang dirumuskan dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam benak banyak orang, cinta semacam ilmu yang mengawang-ngawang. Mengawang bisa berarti: terlalu tinggi dan rumit, hingga tak muda dicerna oleh orang kebanyakan. Tetapi mengawang juga bisa berarti: tidak realistis, konyol, kegiatan orang yang kurang kerjaan.
Ketika dunia digerakan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, dan diramaikan hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karir, popularitas dan kekayaan, cinta tanpak sebagai ferbalisme kosong, bagi daftar menu yang menawar tanpa ada makanannya. Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, cinta terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abatarak yang dirumit-rumitkan.
Lebih parahnya lagi, dalam situasi penuh antusiasme keragaman yang meledak-ledak, cinta biasanya bahkan dilihat bagi kebebasan atas laku hidup yang liar dan “arogan”, semacam ancaman menuju kekacauan, bahaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau bahkan sejenis gejala kegilaan. Dan karenanya, bagi belum cukup usia sebaiknya tidak disarankan.
Dalam suasana konsumerisme yang parah dan gaya hidup snobistis, kalaupun cinta masi tampak berharga, itu hanyalah sebagai parafernalia untuk dekorasi rumah atau gaya romantisme ala Korea dan India.
Meskipun demikian, semua justifikasi atau ilustrasi di atas itu sebetulnya hanyalah “karikatur” mahluk yang bernama ‘cinta’. Sesungguhnya cinta mesti tak dilihat seburuk itu. Pada dasarnya cinta adalah gerak perasaan yang wajar, sealamiah bernafas, aliran perasaan yang pada titik tertentu tak bisa dibungkam dan dihentikan. Cinta adalah diri yang bergulat hendak merumuskan kerumitan dirinya yang sebenarnya tak terrumuskan. Suatu upaya tanpa akhir untuk memahami kenyataan yang mungkin tak akan perna tuntas dijelaskan, sebagaimana filsafat.
Melanjutkan fokus ke judul di atas. Adalah sosok wanita yang baru saya kenal, terbilang satu tahun belakangan. Pada waktu itu (jika tidak saya salah), saya mengenalnya dalam dinding Fecebook saat sesekali membuka branda dan menyaksikan ia tampil memberi senyum di sana. Ia sangat cantik. Saking cantiknya, saya tak cukup mampu untuk mendiskripsikan manisnya pada tulisan yang tulus lagi jujur ini. Yang pasti, memikat semua orang terpana.
Apa boleh buat, saya hanya cukup mampu memberanikan diri dalam tulisan ini, semcam memberi koneksi, semacam notifikasi. Bahwa, saya mengginginkan ‘kita’. Tanpa saya harus merasa malu, apalagi merasa berdosa, pada siapapun.
Pada kesempatan yang lain. Hari berganti dan bulan terbilang. Tepat, 15 Oktober 2021. Kala itu, Seleksi Tilawatil Quran (STQ) Nasional XXVI di Sofifi akan digelar dan segera dilangsungkan pada 16-25 Oktober 2021. Kejamnya, sebelum pembukaan STQ, kita semua dikejutkan bahkan dibuat heboh untuk mencermati Lifestyle Duta STQ, masi ingat?. Saya membayangkan dihari itu, betapa kita semua seolah merasa paling “sok suci” di depan khayalak ramai lantas menghuja-huja, cemoh-mencemoh duta STQ tanpa tahu diri. Tanpa menyadari kalau kita manusia bukan malaikat. Artinya kita bisa saja salah (khilaf) pun benar. Karena yang paling jahat tetaplah sosok bernama manusia. Masalahnya, ketika kita salah tapi tak ada laku berubah disana.
Bersamaan dengan itu, (katakanlah) saya termasuk salah satunya diantara sekian banyak orang yang berada di bumi manusia yang paling bahagia (diwaktu itu hingga sekarang). Perasaan itu seolah menjadi racun yang kini menyebar dalam seluruh tubuh. Kenapa tidak? Wanita yang telah diam-diam saya nobatkan ia sebagai “Ainul Mardhiyah” yang dalam islam dikenal sebagai ratunya bidadari itu, meski tanpa persetujuan dan ia tahu. Ia membalas Story saya saat memajang pembelan atas duta STQ yang cantik lagi nyaris sekian banyak orang mengukur kadar keimana lewat pakaian. Oleh itulah, saya menulis panjang lebar membuat pembelan dengan menyebut ‘pikiran kita diambang batas (kelewatan)’. Namun dibalik itu, ia dengan singkat menampar saya, bertubi-tubi, dalam pesan singkat lewat messenger; “Bukan pikiran yang kelewatan, mungkin lebih ke adab berpakaian dan menyesuaikan sama kondisi dan situasi”.
Sontak, saya bisu seribu bahasa. Binggung, sudah pasti. Entah harus membantah dengan argumen macam apa lagi, selain membalas; ‘Siap, saya yang salah’ sebagai tanda saya menyerah.
‘Kalimatnya, bagi saya, sederhana tetapi membahana dalam meluruskan kerumitan berpikir saya. Kata-katanya membekas bak cinta>umpama bekas ciuman Fahmi oleh Kang Abik (sapaan kangen Habiburrahman El-Shirazy) dalam ‘Api Tauhid’, menggetarkan ciuman bibir tujuh detik pada istrinya Nuzula itu, sebagai ciuman yang membekaskan rasa cintanya tiada tara dalam jiwanya. Saya merasakan itu, bagai hujan menyiram padang gersang.
Dalam pada itu, saya padanya memang tak segila roman Majnun (Qayis) terhadap Layla. Yang oleh Syeikh Nizami mengilustrasikan kegilan Qayis saat Liyla dipingit orang tuanya lantas mengetahui hubungan dalam diam mereka. Karena bagi tradisi Arab, keluarga akan menjadi tercemar jika anak gadisnya menjadi bahan pembicaraan orang lain. Apalagi pada saat itu keduanya tidak menyadari jika cinta asmara mereka menjadi bahan gunjingan. Mereka menyangka tidak ada mata yang melihat dan menaruh curiga. Padahal hubungan kasih mereka telah menjadi buih bibir diantara teman-teman skolahnya. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat bani Qhatibiah tersingung, harga diri mereka ternoda.
Singkat cerita; Ketika kerinduan telah memuncak, hingga tak jelas batas antara siang dan malam, tak jelas perbedaan hidup ataupun mati, Qays berlari mendekati rumah Layla dengan mengendap-endap. Mimilih jalan yang sepi dan jarang dilalui manusia. Bila sudah mendekati rumahnya Layla, seakan seribu sayap ikut mempercepat langkah kakinya. Sesampai dirumah mawar itu, ia cium dinding rumahnya dengan derai air mata membasahi pipi. Baginya, kalupun tidak bertemu dengan Layla, maka mencium dinding rumahnyapun sudah cukup untuk merasakan kebahagian. Seolah dinding itu adalah tubuh Layla. Lalu ia lantunkan syair-syair untuk menenangkan jiwa kekasihnya, tanpa peduli apakah Layla mendengar atau syair itu tertelan oleh dinding rumah.
Sekali lagi, saya padanya memang tak segila Qays milik Layla. Tetapi paling tidak, saya sempat gila karna tergila-gila meski tak termilik. Setidaknya begitu.
Ah, jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tanya saja kepada mereka yang pernah, atau sedang, jatuh cinta. Setiap detik, hanya si dia yang muncul di kepala. Rasa rindu terus menusuk di dada, sampai waktunya tiba untuk berjumpa dengan si dia.
Demikianlah cinta! Syeikh Musliuddin Sa’di Shirazi, mengakui betapa dasyatnya kekuatannya, hingga mata, akal dan pikiran bisa terpengaruh, mata menjadi buta, akal menjadi terganggu, dan pikiran menjadi kalut. Menyebabkan semua orang yang telah dilandah asmara, akan selalu menomor satukan orang yang dikasihi, dalam semua hal, kebaikan, kecantikan, kedermawan dan sebaginya. Maka tidak berlebih jika dikatakan, cinta itu buta.
Bagi Yudi Latif, Falling in love“–jatuh (dalam) cinta–hendaknya kita beringsut menjadi “growing in love“–tumbuh (dalam) cinta. Karena jatuh cinta menyiratkan modus “memiliki”, ada pihak yang harus takluk dan tak berdaya dalam pelukan cinta buta, yang membuat hubungan cinta jadi relasi saling menguasai. Tumbuh cinta mencermikan modus “menjadi”, bahwa cinta itu suatu proses resiprokal: saling peduli, saling belajar, saling berbagi, dan saling menumbuhkan.
Setelah cukup berbasa-basi pada tulisan ini. Rasanya akan terkesan omong kosong pun sia-sia. Jika dalam tulisan nan setulus hati ini saya tak sempat, atau tidak bernyali (malu-malu tapi suka) terang-benderang menggungkapkan “aku mencintainya”. Upss.. ini serius. Sebagimana Nabi menganjurkan; “Jangan pendam cintamu! Jika kamu menyukainya, katakan padanya kalau kamu mencintainya”. Demikian El-Shirazy “Ungkapan cinta itu memberikan tambahan nyawa dalam jiwa”. Ini semua memang harus terjadi, menjadi episode cerita yang mengalir bersama terbit dan tengelamnya matahari. Sebab mencintainya memberikan gairah baru menatap hidup. (*)