Opini  

Rumah Pengharapan

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Parner di Voice-of-HaleHepu

RUMAH menjadi ramai, hidup, dan bermakna karena kehadiran anak-anak. Sudah lama kita tahu ungkapan dari banyak orang: “saya tak mikir banyak lagi, yang penting anak-anak; apa yang kita cari ini semua karena anak-anak…Kita ini sudah cukup…”. Anak-anak kita adalah pertaruhan kita. Demi mereka, semua hal bisa kita lakukan. Hampir semua mimpi kita, baik yang sudah terwujud maupun yang belum, semuanya kita “serahkan” ke pundak mereka.

Ciri keberhasilan sebuah keluarga bahkan dengan mudah ditakar pada apa-apa yang terjadi pada anak-anak mereka. Pepatah lama “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tak selamanya berlaku. Sudah terbukti, anak-anak desa yang terlahir dari keluarga petani, setelah puluhan tahun kemudian menjadi jenderal terpandang, menjadi menteri bahkan menjadi presiden, dst.

Puluhan tahun mendampingi kedua putri kami, dengan jarak usia keduanya yang cukup jauh, kami harus menyusun pola komunikasi berbeda. Selain karena mobilitas keseharian mereka berbeda, keduanya juga sepertinya punya karakter berbeda. Yang kakak mudah mengalah karena yang adik mudah meminta; mereka terkadang –bersaing ketika menerima “pemberian” secara berbeda. Meski keduanya terbiasa berbagai cerita dari apa yang mereka alami setiap harinya, tapi debat keduanya juga sering terjadi, dan kami sering repot menjadi moderator-nya.

Kami sering melatih mereka menjadi reporter yang aktif dari kejadian sehari-sehari, semata-mata dengan harapan agar mereka bisa/terbiasa “menyusun cerita” dengan (lebih) rasional dan dikerjakan –meskipun masih acak–, tapi haruslah menghormati sudut pandang yang beragam. Kami berharap, dengan sama-sama melatih diri untuk “menyusun cerita” maka mereka beroleh ruang-ruang baru dan mengisi relung-relung pengalaman-tumbuh mereka dengan empati hidup, rasionalitas, nilai-nilai luhur, dan pilihan-pilihan yang tidak tunggal.

Kini keduanya hidup terpisah dengan kami. Yang satu harus ke Bandung karena kebutuhan pendidikan tingginya; yang kedua harus tinggal di Pondok karena memilih belajar di Pesantren. Komunikasi keluarga menjadi berubah. Di rumah, semua pekerjaan disusun ulang. Di luar rumah, semua tugas ditata-baru agar seefektif mungkin penggunaan waktunya. Tak setiap saat harus ke kota. Tak ada lagi antar-jemput yang rutin. Pesanan anak-anak tak lagi mengisi percakapan telpon.

Tema percakapan berubah banyak. Selama ini, amat terasa bahwa anak-anak (kita) punya cerita yang kaya. Bukan hanya bersumber dari konstruksi mereka sendiri, mereka pun bisa dengan mudah meng-copy banyak kejadian, ungkapan bahasa, kata-kata baru, pola pergaulan, kesedihan, keberlebih-lebihan, rasa duka, egoisme, kecongkakan, kejujuran, kepedulian dan ketidaknyamanan. Dari semua itulah, mereka jadi tumbuh sehari-hari sambil “menampung” banyak cerita dan pengalaman dari tempat-tempat lain dan dari orang yang berbeda-beda. Anak-anak kita adalah “recorder” yang aktif atas hidup ini. Mereka aktif menjadi konsumen dan sekaligus produsen di lingkungan pergaulannya mengenai hidup ini. Mereka punya persepsi sendiri yang seringkali mengejutkan kita, dan tentu saja sering pula menghawatirkan kita atas dunia mereka dewasa ini.

Setiap kita membutuhkan “tekanan” atau “cobaan” tertentu agar merasakan bagaimana nikmatnya kebersamaan. Pun seorang anak yang tumbuh, ia membutuhkan variasi pengalaman dan “tekanan”. Satu di antara sekian pengalaman penting yang mereka (butuh) alami adalah tentang kecewa, rasa bersalah, kekurangan, persaingan, dan kehilangan. Di dalam dirinya, yang ia butuhkan adalah keyakinan mendalam tentang pekerti kemuliaan dan pertaruhan kehormatan, harapan dan syukur kepadaNya, disamping nalar yang terlatih, cita-cita yang rasional dan persisten, sehat jiwa-raga, dan sikap belajar sepanjang hidup.

Menyegarkan rasa cinta dan sayang di keluarga adalah tugas semua orang. Jika rumah dipahami sebagai bangunan dan susunan bebatuan, besi, pasir, semen, kerikil dan kayu-kayuan, yang kemudian kita indahkan dan mewahkan dengan cat, pagar, perabot dan fasilitas lainnya, maka rumah tak jauh berbeda dengan semua gedung/bangunan yang tampak di muka mata. Tapi, jika rumah dipahami beyond dari itu semua, ia, rasanya, lebih tepat dipandang sebagai “tempat damai” yang (selalu) kita rindu untuk kembali.

Rasa “rindu pulang” padanya, adalah hakikat rumah. Ia bukan tempat tidur, tempat makan dan bercakap saja, hal mana bisa digantikan setiap saat oleh restoran dan hotel-hotel. Ia dimiliki bukan karena pernah dibayar/dibeli dan bersertifikat, tapi karena ada “penyatuan hidup” yang terikrar dan tertagih sejak awal. Ia menuntut kesetiaan!

Goncangan hidup sehari-sehari tak bisa lagi disikapi dengan sepenuhnya mengandalkan rujukan normatif. Sandaran agama sebagai misal, meskipun ia kita tempatkan di tingkatan tertinggi, pada akhirnya ia ditentukan praktiknya dalam “kesadaran” dan “pengalaman” kita masing-masing. Menyandarkan diri dan hanya berserah kepada-Nya membawa konsekuensi di tingkat individu. Karena, semua bentuk “penyerahan diri” tak bisa diklaim pencapaiannya tanpa melewati jalan-jalan “ujian hidup”.

Jika demikian, terhadap anak-anak kita, yang kini barangkali kita butuhkan adalah sikap belajar bersama dan sikap (maksimal) menjadi contoh di berbagai arena hidup. Untuk perkara “menjadi contoh!”, ini adalah urusan yang amat tidak mudah. Ketika menulis kedua kata ini –-Menjadi Contoh!–, lima jari saya beserta nalar dan nurani saya, terarahkan kepada diri sendiri. Saya berkaca! Dalam renungan ini, teringat kata-kata Kahlil Gibran, dalam Sang Nabi-nya (1981, Pusataka Jaya): “anakmu bukan milikmu; lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau; mereka ada padamu, tapi bukan hakmu…”.

Sering terjadi, dengan mati-matian kita membela anak-anak kita, sekalipun mereka dalam keadaan ‘salah’ di sekolahnya. Padahal, mungkin akan jauh lebih baik kalau kita memperluas kesadaran bahwa “anak kita tidak pernah salah!”. Kitalah, para orang tua, Guru, masyarakat, media, tokoh-tokoh publik, atau negara, yang “berperan salah” terhadap (proses) pertumbuhan mereka dan terhadap dunia yang mereka bayangkan dan yang mereka lakoni. Ketika anak-anak kita meninggalkan rumah utamanya, yang terberat adalah jangan sampai mereka meninggalkan nilai-nilai luhur-nya. Rumah sejati terbangun dari toleransi dan afeksi kepada perbedaan, keceriaan, dan pencapaian Cinta yang dirayakan bersama. (*)

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu