Oleh: Trisna Amrida
Kabid Perempuan PW KAMMI Malut
ANGKA kekerasan, kejahatan dan pelecehan seksual masih terus terdata. Kemudian polemik “pakaian” yang selalu di pertanyakan saat terjadi tindak kejahatan seksual ini begitu hangat dibicarakan.
Belakangan, maraknya tindak kejahatan seksual terhadap “perempuan” yang meski dengan menggunakan pakaian “syar’i (baca: tertutup), membuat semakin gencar orang-orang mengampanyekan bahwa pakaian bukanlah tolak ukur seseorang bisa bebas dan terlindungi dari kejahatan seksual.

Benar, pakaian memanglah tidak menjadi tolak ukur seseorang bisa bebas dari tindak kejahatan “seksual”. Tapi sederhananya, pakaian menjadi salah satu bentuk ikhtiar menjaga diri dari pandangan hawa nafsu lelaki atau sebaliknya.
Saya kemudian khawatir ini menjadikan banyak orang membangun persepsi bahwasanya yang perlu dikontrol adalah pikiran lelaki, bukan pakaian perempuan. Mungkin kita lupa, bahwa kejahatan seksual datang juga kepada lelaki misal di sodomi.
Pertama, saya ingin mengatakan bahwa, keduanya harus dikontrol. Tidak bisa hanya salah satu. Lelaki berusaha mengontrol pikirannya, sedang perempuan dengan bebas mengumbar “tubuhnya”. Begitupun sebaliknya. Hal ini, tentunya tetap akan menjadi bumerang bersama.
Di dalam Islam, solusinya adalah menutup aurat sesuai tuntutan Islam dan perbanyaklah puasa, ini berlaku untuk laki-laki juga perempuan. Untuk apa? Sebagai bentuk ikhtiar melindungi semua pihak dari adanya tindak kejahatan seksual.
Solusi selanjutnya adalah apa? Pahami batasan-batasan interaksi. Interaksi kesemuanya. Anak perempuan dengan bapak, anak laki-laki dengan ibu, dengan teman, dengan guru, di rumah, di kantor, di jalan, dan lain sebagainya. Pahami dan bangun fondasi kuat untuk memiliki prinsip menjaga batasan tersebut.
Prinsip ini yang akan menjaga diri setiap orang. Kecuali memang orang itu ingin membiarkan dirinya menjadi korban ataupun pelaku. Jika memang masih didapati padahal korban sudah begitu menjaga diri, pelaku mungkin punya kelainan, dan perlu ditindaklanjuti, direhabilitasi misalnya.
Kedua, semakin maraknya hastag “tubuhku otoritasku”. Hastag ini bahkan oleh perempuan-perempuan muslim ikut mengampanyekannya. Dengan dalih bahwa pakaian bukanlah jaminan bebas dari perlakuan kejahatan seksual. Juga belakangan hastag ini juga dipakai untuk memperjuangkan “kebebasan” perempuan (katanya). Maka, jadilah normalisasi besar-besaran yang digaungkan untuk bebas pada perempuan-perempuan yang harusnya terhormat dengan kemuliaan batasan menjaga dirinya.
Mohon maaf, kebebasan seperti apa yang teman-teman inginkan? Kebebasan yang tidak memiliki keberadaban?
“Tubuhku adalah otoritasku” menjelaskan bahwa saya berhak sepenuhnya dengan tubuh yang saya miliki. Mau cara berpakaian saya terbuka atau tertutup itu adalah hak mutlak saya. ” Kurang lebih demikian bahasa yang saya temui di ruang-ruang diskusi.
Sayang sekali teman-teman, saya pikir kita perlu meluruskan paradigma ini. Bukankah kebebasan yang kita ingin adalah tidak mendapatkan diskriminasi dari pihak manapun? Terbebas dari ancaman kekerasan dan kejahatan seksual?
Bahwa, saya tetap bisa melakukan aktivitas dengan ajaran yang saya pegang teguh. Misal, Saya tetap harus bisa bekerja, menempati ruang-ruang publik, bersosial dengan pakaian saya yang menutup aurat demi penjagaan saya terhadap tubuh yang saya miliki, atau tidak ada sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Dan lain sebagainya sesuai dengan ajaran yang saya anut.
Bukankah kebebasan seperti ini yang seharusnya kita perjuangkan? Bahwa tidak ada diskriminasi. Sehingga ikhtiar kita sampai untuk tidak menjadi korban apalagi pelaku.
Untuk saudaraku perempuan muslim, Islam dengan agung memperlakukan perempuan. Menjaga fitrahnya dengan perintah Allah dalam Qur’an Itu dikarenakan dahulu, tidak ada pembedaan antar perempuan muslim dengan perempuan Yahudi. Juga karena pernah terjadinya tindak “pelecehan seksual”. Sehingga Islam datang, membawa misi penjagaan kemuliaan untuk perempuan. Membawa kemenangan-kemenangan perempuan. Membedakan perempuan muslim dengan perempuan Yahudi dimulai dari cara berpakaian dan beragam hal lainnya. Juga melindungi perempuan muslim dari gangguan lelaki.
Allah SWT Berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 59 “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ini bukan bagian dari kekangan. Islam memberikan rules demikian sebagai hadiah atas fitrah perempuan yang suci. Menjaga diri, menjadi pembeda, karena perempuan penuh kemuliaan. Islam mengatur batasan-batasan interaksi, memperhatikan cara bersosial, melarang untuk tidak mendekati zina salah satunya pacaran. Ini demi menjaga hak seorang perempuan, kebebasan seorang perempuan bahwa yang berhak dengannya adalah yang halal padanya. Sehingga tidak ada yang namnya kekerasan ataupun terjadinya pelecehan seksual. Seistimewa itu bukan?
Saya dan kita semua mengecam dengan sangat yang namanya tindakan pelecehan, kekerasan, juga kejahatan seksual. Pastikan bahwa kita selalu mawas diri untuk tidak menjadi korban apalgi pelaku.
Maka, melalui momentum 14 Februari ini, yang menjadi hari GEMAR (Gerakan Menutup Aurat) Nasional.
Mari, kita miliki kembali izzah (harga diri) sebagai seorang perempuan muslim yang dituntun oleh Islam. Allah jabarkan dalam QS. An-Nur: 31. Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
Sungguh, yang paling musuh Islam inginkan ketika kamu lupa sejarahmu adalah anak-anakmu kelak tidak mengenal siapa keteladanan terbaik untuknya. Maka, jadilah mereka kehilangan arah dan menjadi pengekor buta.
Fyi: Saya banyak mengambil bahan dari agama. Karena memang adanya agama adalah untuk menemukan solusi sebuah permasalahan. Setiap orang wajiblah berprinsip atas dasar agamanya, bukan sekadar mencari pembenaran logikanya. (*)