Oleh: Naufandi Hadyan Saleh
HMI Komisariat Tarbiyah
KOTA Ternate merupakan salah kota yang terletak di Provinsi Maluku Utara. Kota ini merupakan kota dengan jumlah luas wilayah yang meliputi 5.709,72 kilometer persegi, dengan luas wilayah Kota Ternate meliputi wilayah daratan 162,17 kilometer persegi dan lautan 5.547,55 kilometer persegi. Secara historikal kota Ternate merupakan salah satu kota dengan kekayaan kebudayaan lokal Islam tertua dan terbesar di Nusantara.
Hal ini dapat dilihat dari masih eksisnya kerajaan Islam dalam bentuk kesultanaan yang berdiri megah hingga kini. Adnan Amal (2011) dalam bukunya “Sejarah Maluku Utara 1250-1800” menjelaskan kesultanan Ternate pertama kali berdiri pada tahun 1250 M. Itu artinya total usia kesultanan Ternate telah menginjak angka ke 773 tahun dengan mencatatkan 49 sultan yang telah memimpin.
Kurang lebih 7 abad sudah Ternate hadir dengan peradaban kebudayaan yang kaya akan nilai-nilai keislaman yang kuat dan mengakar hingga ke berbagai lintas generasi. Peradaban Islam yang terjadi di Ternate menasbihkan Ternate sebagai kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ternate pada dasarnya merupakan salah satu dari banyaknya wilayah dengan kekayaan warisan budaya yang ada di Indonesia. Kita memang merupakan salah satu negara yang dianugerahi kekayaan kebudayaan terbanyak di dunia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia melakukan pencatatan dan penetapan daftar warisan budaya takbenda. Per November 2022, terdapat 11.622 warisan budaya yang dicatat dan 1.728 di antaranya telah ditetapkan. Hal ini merupakan sebuah kenikmatan yang patut untuk disyukuri. Selain itu, kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia dapat dijadikan sebagai kekuatan dan modal bagi kemajuan bangsa.
Kebudayaan Islam yang dimulai dari kerajaan Ternate sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan bermasyarakat yang ada di Ternate. Warisan budaya lokal yang ada adalah buah dari akulturasi kebudayaan lokal dan syiar Islam. Menurut Ajawaila, mengungkapkan bahwa budaya lokal merupakan ciri khas budaya suatu kelompok masyarakat lokal atau daerah.
Salah satu dari banyaknya warisan budaya lokal (local culture) Islam yang ada di Ternate adalah lembaga pendidikan Islam non formal yang bernama Pangaji. Jika di pulau Jawa masyhur dengan pesantren maka Ternate harum dengan Pangaji. Salah satu fokus utama dari pembangunan peradaban masyarakat berbudaya pada waktu itu adalah dengan berbenah pada aspek pendidikan. Hal itu menjadi alasan para raja berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan Islam. Selain menghadirkan lembaga pendidikan non formal, budaya lokal (local culture) Islam yang dimiliki Ternate adalah sastra-sastra lisan seperti: Dola bololo, Dalil tifa, dan dalil moro yang itu semua merupakan bagian dari warisan budaya lokal (local culture) berbasis pendidikan Islam.
Kini kita telah berada pada era Society 5.0 yang terkenal dengan ciri pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mempertahankan kebudayaan lokal Islam yang ada di Ternate. Pada dasarnya pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mempertahankan kebudayaan lokal dalam lembaga pendidikan dengan sengaja menghadirkan Muatan Lokal (Mulok) dalam pembelajaran. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Hanya saja banyak kalangan menilai pembelajaran Mulok tidak terlalu berjalan efektif untuk diterapkan. Sebab hanya dilakukan pada sistem pendidikan formal saja. Untuk itu HMI sebagai organisasi perkaderan sangat menginsafi adanya kekurangan tersebut. Harapannya melalui proses perkaderan berbasis formal, maupun informal, HMI dapat menitikfokuskan kekuatan yang dimiliki untuk mampu berperan dalam upaya melestarikan budaya lokal berbasis pendidikan Islam yang ada di Ternate, Maluku Utara.
Berikut penulis mencoba menghadirkan beberapa gagasan yang bisa diimplementasikan sebagai upaya HMI dalam melestarikan budaya lokal berbasis pendidikan Islam yang ada di Ternate, Maluku Utara:
1. Menghadirkan kembali Pangaji
Secara historikal Pangaji merupakan lembaga pendidikan non formal yang dimiliki oleh kesultanan Ternate. Pangaji pertama kali digagas oleh Sultan Zainal Abidin pada tahun 1494 setelah kembalinya beliau dari berguru kepada Sunan Giri di Jawa Timur. Kata pangaji sendiri sebetulnya mengandung makna tempat mengaji. Pada awal perkembangannya, pangaji merupakan sarana yang digunakan untuk memperkenalkan Islam dan menyebarkannya. Biasanya pangaji sering diadakan di teras rumah maupun masjid. Jika di pesantren terkenal dengan kyai maka di pangaji terkenal dengan joguru yang berarti guru atau pengajar.
Seiring berkembangnya zaman kini pangaji praktis tidak tercium lagi aroma-nya. Padahal hadirnya Pangaji merupakan cikal bakal kenalnya masyarakat Ternate terhadap Islam. Maka bagaimana peran HMI dalam mensiasati hal tersebut? Masih relevan-kah pangaji hadir?
Sebetulnya menghadirkan kembali pangaji adalah bagian dari menghidupkan hegemoni dan syiar Islam. Dimana hal tersebut sejalan dengan misi HMI yang senantiasa mengupayakan berkembangnya ajaran agama Islam. Hal ini juga dirasa perlu mengingat pangaji merupakan bagian dari identitas Ternate. Lalu bagaimana kontribusi HMI terhadap keberlangsungan pangaji?
Dibutuhkan adanya revitalisasi metode pembelajaran yang ada di Pangaji, sebab antara pangaji dan HMI terdapat dua sisi yang saling melengkapi. Pertama, tujuan dari didirikannya Pangaji sama dengan tujuan didirikannya HMI dimana titik fokus utamanya adalah pengembangan syiar Islam. Kedua, belajar dari pangaji sebetulnya militansi dari HMI sejatinya harus terbangun dari masjid yang menjadi episentrum perjuangan. Ketiga setiap kader HMI harus mampu bertransformasi sebagai joguru atau pengajar yang nantinya dapat mencurahkan keilmuannya dengan metode yang lebih modern dan menarik tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga dengan begitu HMI telah berkontribusi dalam melestarikan kebudayaan Islam Ternate.
2. Memasukkan materi muatan lokal sejarah kebudayaan Islam Ternate dalam perkaderan HMI Cabang Ternate
Dalam melaksanakan perkaderan, HMI selalu bertitik tolak pada 5 landasan perkaderan: (Landasan Teologis, Landasan Ideologis, Landasan Konstritusi, Landasan Historis, dan Landasan Sosio-Kultural.) Landasan perkaderan merupakan pijakan pokok yang dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam proses perkaderan. Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal, kesultanan Ternate merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Hal ini membuat kultur Islam telah menjadi realitas sekaligus legitimasi sosial dalam masyarakat Ternate. hanya saja kultur keIslaman yang begitu kental pada masyarakat Ternate perlahan mulai terkikis dengan melesatnya arus globalisasi yang mampu menyeret sebagian besar masyarakat Ternate pada perilaku pragmatisme, dan hedonisme khususnya pada aspek budaya dan pendidikan.
Hal ini tentu bisa menjadi salah satu titik fokus HMI dengan senantiasa mampu memberikan kesadaran akan pentingnya kebudayaan Islam yang dimiliki Ternate sebagai bagian dari eksistensi dan identitas. Said Muniruddin (dalam Ali Syariati, 1994) menegaskan tugas dari seseorang manusia yang lahir di kampus harusnya mampu untuk menyadarkan masyarakat sekaligus terlibat dalam gerakan sosial. Maka hal itu dapat dimulai dari proses perkaderan yang ada di HMI cabang Ternate.
3. Menjadikan setiap kader HMI sebagai pelopor kebudayaan
Selain meninggalkan lembaga pendidikan non formal, dalam sejarahnya kebudayaan Islam Ternate juga meninggalkan karya sastra lisan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Sastra-sastra lisan yang ada di kebudayaan Ternate merupakan kumpulan syair atau petuah berbahasa Ternate, berisikan peringatan ataupun nasihat yang diadopsi dari nilai-nilai keIslaman yang terkandung di dalam Alquran dan Hadis. Ambil contoh potongan bait yang ada di dola bololo: “Tagi-tagi me sabea, Tego-tego me sabea, Hotu-hotu me sabea.” Artinya: Berjalan-jalan kita berzikir, Duduk-duduk kita berzikir, dan Tidur-tidur pun kita berzikir. Potongan bait ini diadopsi dari surah Al Imran 191.
Sayangnya, kumpulan sastra-sastra lisan semacam ini masih begitu terasa asing khususnya di kalangan anak muda. Hal ini bukan tanpa alasan, menurut data yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Bahasa Maluku Utara, Dr. Arie Andrasyah yang mengatakan: bahasa Ternate merupakan bahasa daerah yang penggunaannya pasif di kalangan remaja, dan aktif digunakan oleh mereka yang berusia 30 tahun ke atas. Tentu ini menjadi satu keprihatinan kita bersama. Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah tidak adanya pembiasaan bahasa daerah dalam berkomunikasi khususnya pada HMI Cabang Ternate.
Sebagai bagian dari kaum pemuda, tentu mendorong setiap kader HMI untuk mampu menjelma sebagai pelopor kebudayaan. Hal ini yang kemudian kita kenal sebagai Culture Experience atau pengalaman budaya. Langkah taktisnya bisa dengan terjun langsung ke dalam pengalaman kultural. Jika titik fokusnya adalah pembenahan pada penggunaan bahasa Ternate, maka dalam melaksanakan proses perkaderan setiap kader HMI dituntut untuk mampu mempelajari dan berkomunikasi menggunakan bahasa Ternate. Tentu, apabila hal ini berhasil dilakukan dapat dipastikan HMI Cabang Ternate mempunyai sisi keunikan tersendiri yang tidak dimiliki cabang lainnya. Dengan demikian HMI Cabang Ternate akan menjadi pelopor kebudayaan bagi masyarakat Ternate sekaligus mampu meningkatkan kesadaran masyarakat Ternate akan pentingnya melestarikan kebudayaan yang dimiliki.
4. Menyediakan pusat informasi kebudayaan Islam Ternate
Solichin dalam bukunya “HMI Candradimuka Mahasiswa” mengungkapkan salah satu dari misi yang diemban HMI adalah dengan senantiasa mengupayakan diri untuk mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Pada era revolusi Industri 5.0 masyarakat cenderung menggunakan internet dan media sosial sebagai tempat untuk mencari sumber informasi. Selain kurangnya pembiasaan komunikasi menggunakan bahasa Ternate, sulitnya akses untuk mencari informasi kebudayaan Islam Ternate dalam hal ini, sastra-sastra lisan yang dimiliki menjadi faktor degradasinya kebudayaan Islam Ternate.
Jika hal ini tidak disikapi dengan bijak dan cepat oleh HMI,maka tak menutup kemungkinan Ternate akan mendapati 2 hal: Pertama punahnya kebudayaan Islam Ternate dan kedua punahnya bahasa Ternate. Untuk itu dalam upaya mengimplementasikan misi keummatannya, yakni senantiasa mengembangkan ajaran Islam dan berusaha menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi, HMI harus mampu mewujudkan hal tersebut dalam bentuk bukti kongkret.
Hal itu dapat termanifestasikan lewat penyediaan pusat informasi literasi dalam bentuk website atau media sosial yang nantinya akan menampung semua informasi kebudayaan Islam Ternate untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyakat. Ini juga sebagai bentuk Culture Knowledge atau pengetahuan budaya yang diformulasikan sebagai proses edukasi bagi kepentingan dan pengembangan kepariwisataan daerah.
Salah satu keuntungan yang dapat dirasakan adalah setiap mahasiswa yang ingin bergabung dengan HMI Cabang Ternate secara tidak langsung akan diperkenalkan dengan kebudayaan Islam Ternate. (*)