Opini  

Politik Gagasan Versus Politik Uang: Siapa yang Menang?

Subhan Hi Ali Dodego.

Oleh: Subhan Hi Ali Dodego

Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Wakil Bendahara Umum PB HMI Periode 2021-2023

JIKA tidak ada aral melintang, maka pemilihan umum akan dilaksanakan pada tahun 2024. Pemilu yang dilaksanakan tiap lima tahun sekali ini menjadi kesempatan bagi putra putri terbaik bangsa Indonesia untuk mereposisi diri menjadi pempimpin baik pada level anggota DPR, Kepala Daerah maupun Presiden.

Untuk menjemput momentum yang ditunggu-tunggu itu para kandidat kerap kali mempersiapkan strategi dan taktiknya dalam memenangkan pemilihan. Ada yang mengusung politik gagasan sebagai basis epistemologis dalam meraih simpatisan masyarakat dan ada juga para kandidat acap kali menggunakan politik identitas.

Hal ini seperti yang terjadi di Provinsi Maluku Utara dalam beberapa dekade Pemilu. Terlihat secara gamblang dan nyata berbagai gerakan telah dilakukan oleh para kandidat dan tim sukses dalam meraih simpati masyarakat untuk memenangkan kontestasi. Sebagai seorang politisi tentu corak dan ragam strategi otomatis dimainkan walaupun pada sisi lain menabrak konstitusi.

Jika kita melihat jarak waktu pemilihan umum yang berlangsung masih satu tahun lagi tetapi berbagai macam atribut kampanye sudah mejeng di khalayak ramai. Mulai dari baliho Bacaleg, baliho Bacabub, baliho Bacagub, hingga baliho calon Presiden. Lebih jauh lagi, dari spanduk politik ini diturunkan melalui dialog publik di warung-warung kopi, kafe, hotel dan sebagainya.

Tidak salah jika ikhtiar itu dilakukan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Yang berbahaya ketika semuanya hanya kamuflase belaka bertopeng gagasan. Tetapi di sini kita harus berusaha berbaik sangka (husnuzhon) atas usaha dan ittikad baik yang dilakukan oleh para kandidat. Semoga yang dilakukan adalah ansich demi kepentingan masyarakat semata.

Berkaca dari pemilihan umum pada tahun-tahun sebelumnya banyak ditemukan indikasi kecurangan akibat praktik jual beli suara (money politik) yang dilakukan oleh para kandidat maupun tim sukses sehingga berujung ke meja hijau. Tidak sedikit para calon Kepala Daerah, Caleg dan Tim Sukses diadili dan dimasukkan ke dalam penjara akibat dari tindakan melanggar hukum.

Berbicara mengenai politik uang pada setiap momentum politik nyaris tidak dapat dihindari. Sebab politik uang ini telah dipraktikkan dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah bergulirnya reformasi tahun 1998 hingga hari ini usianya sudah lebih dari 20 tahun. Tetapi, dalam setiap momentum Pemilu pasti dan selalu terjadi kecurangan dan sengketa. Ini sudah jadi rahasia umum yang tidak bisa dimungkiri oleh siapapun.

Untuk memutus mata rantai politik uang tersebut berbagai macam cara dilakukan oleh para penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu RI menjahit kolaborasi dengan TNI, Polri Kejaksaan, aktivis cipayung plus dan lembaga civil society yang lain. Namun, pada sisi lain praktik politik uang ini bak jamur yang tumbuh di musim hujan.

Oleh karenanya, pada saat orang berbicara mengenai politik gagasan yang muncul adalah sikap pesimis dan menjadi sesuatu yang mustahil dapat terwujud. Hal ini karena praktik politik uang seakan-akan sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat. Tidak berlebihan jika dikatakan mereka tidak mau tahu dan menikmati proses praktik politik uang. Padahal tindakan ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan Pancasila.

Pertanyaan sederhana yang muncul yaitu seurgensi apa politik gagasan dalam memutus mata rantai praktik politik uang? Pertanyaan ini patut dijawab dengan alasan yang rasional. Penulis berpendapat bahwa politik gagasan ini dapat tercapai jika dilakukan secara kolektif oleh seluruh pemangku kepentingan, lembaga civil society, para kandidat dan masyarakat.

Lebih dari itu, upaya memutuskan mata rantai politik uang ini ibarat panggang yang jauh dari api karena selain penegakkan hukum yang tidak tegas terhadap orang-orang yang melakukan politik uang juga para pelaku kejahatan politik uang ini sulit dideteksi karena berjalannya secara rahasia dan terstruktur pada saat pemilihan antara kandidat, tim sukses dan masyarakat. Dari sini sehingga lahir istilah serangan fajar hingga pemberian reward pasca pencoblosan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis bahwa jika terjadi pertarungan antara politik gagasan dan politik uang di Maluku Utara dalam momentum pemilihan umum tahun 2024 siapa yang akan menjadi pemenangnya maka jawabannya masih fifty-fifty. Kenapa begitu? Karena politik uang ini sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang sudah sulit dihilangkan. Butuh kerja keras untuk memutus mata rantai politik uang dari semua elemen.

Ada kemungkinan politik gagasan dapat memenangkan kontestasi Pemilu di 2024 jika pemerintah sudah sukses membuat dua hal. Pertama, seluruh masyarakat sudah memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni. Karena dalam beberapa survei membuktikan masyarakat yang pendidikannya rendah rentan terpapar dan menjadi target politik uang. Mudah dipolitisasi oleh para kandidat dan tim suksesnya dalam membayar suara masyarakat.

Kedua, seluruh masyarakat sudah sejahtera. Beberapa survei membuktikan bahwa masyarakat yang tergolong miskin mudah terpapar dan menjadi target politik uang. Para kandidat dan tim sukses hanya dengan memiliki modal bantuan sembako dapat mendulang suara dari para konstituen. Dengan kata lain, masyarakat yang tergolong miskin mudah dibeli suara mereka oleh para kandidat dan tim sukses. Wallahu’alam Bishawab! (*)