Oleh: Firdaus Muhidin
Mahasiswa PAI IAIN Ternate/Sekum Komisariat KAMMI IAIN Ternate
BERBICARA pendidikan saat ini menjadi trend untuk perlu didiskusikan setiap saat. Karena mengingat akhir-akhir belakangan ini kita dihebohkan dengan berbagai kasus, baik kasus pemerkosaan, tindak kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan, dan kasus lainya. Bila penulis sebutkan satu-persatu kasus yang terjadi rasanya tulisan ini akan dipenuhi oleh kasus-kasus yang ada. Dalam tulisan ini penulis akan menyentil kasus guru terhadap siswa, dan rendahnya rasa tanggung jawab guru terhadap siswa dalam membimbing, mendidik, dan memberikan pengajaran yang baik, sebagaimana amanat UU No. 20 Tahun 2003 terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional yang mengarah pada pembentukan kepribadian siswa yang tidak lepas dari pada tanggung jawab seorang guru.
Penulis katakan kasus tindak kekerasan yang terjadi pada bulan lalu di SMA Islam Kota Ternate merupakan tindakan yang cukup sangat disayangkan yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswanya sendiri. Akibatnya tindakan yang dilakukan guru memberikan dampak negatif dilingkup SMA Islam yang notabene bernuansa Islam yang kerap kali kita tidak akan menemukan hal yang tidak diinginkan akan terjadi tindakan kekerasan terhadap siswa. Melihat kejadian itu, sehingga menimbulkan keresahan bagi publik. Pertanyaanya yang begitu dalam, bahwa kemanakah sesungguhnya tanggung jawab seorang guru? Keberadaan guru di sekolah sebagai apa? Apakah menuntaskan masalah yang terdapat pada diri siswa itu sendiri atau malah sebaliknya menimbulkan masalah.
Dalam diskursus pendidikan dalam konteks tindakan kekerasan terhadap siswa tidak dibenarkan. Sesungguhnya pendidikan memberikan peluang besar dan tanggung jawab kepada guru untuk memberikan pengajaran, bimbingan dan arahan yang terbaik kepada manusia yang menerima, mendengar, dan mengiktui arahannya seorang guru itulah seorang siswa. Sisi lain kasus di Ponogoro ratusan siswa hamil di luar nikah dan bahkan mencoba melancarkan seks bebas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat gelap nan jauh dari keramaian dalam keadaan memakai kaos seragam di luar sekolah yang kerap kali viral menjadi trending perbincangan publik. Sehingga itu, penulis merasa sedih, dan jengkel atas kejadian tersebut.
Melihat hal demikian, dalam hemat penulis merasa dikhawatirkan suramnya pendidikan di masa depan. Dengan minimnya peran dan tanggung jawab di kalangan guru dalam mendidik anak-anak bermoral. Pada kenyataanya guru dianggap gagal dalam hal tanggung jawab, bila terlihat siswanya bertingkah seperti bukan layaknya dikatakan manusia yang memiliki moral baik. Mendidik siswa di bawah kendali seorang guru. Bila guru kurang memperhatikan secara baik, maka akan mengakibatkan pendidikan yang buruk yang terjadi di sekolah yang akan menghasilkan penjahat-penjahat canggih di masa yang akan datang, baik mereka yang pandai, cerdas akan tetapi bermoral buruk sebagai instrument yang membawa citra yang membahayakan di masyarakat nanti.
Atas kejadian tersebut lagi-lagi pendidikan yang disalahkan, kini kita membaca berbagai literatur sesungguhnya pendidikan mengarahkan manusia ke arah yang baik. Meminjam bahasa Paolu Freire, bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia sehingga menjadi manusia yang terbaik. Hal demikian telah terpatri dalam pendidikan Mbah Hasyim Asy’ari sebagaimana konsepnya yang tertuang dalam kitab Adbul ‘Alim wal Muta’alim. Yang menyoal tentang pengajar dan pelajar.
Sosok Mbah Hasyim Asy’ari sangat masyhur di seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan hampir di setiap kota, namanya diabadikan sebagai jalan besar. Akan tetapi tampaknya belum banyak yang mengetahui tentang keilmuan beliau di bidang pendidikan itu sendiri, khususnya di Maluku Utara. Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam berbagai aspek kehidupan yang menjadi persoalan dan problematika terbesar yang menjadi perhatian publik dalam menjawab serta menuntaskan dari banyaknya kasus.
Untuk menjawab semua itu, maka tak lain dan tak bukan peran dari pendidikan. Lain sisi, pendidikan dalam pandangan Imam Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak dilahirkannya hingga akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalan bentuk pengajaran secara berkesinambungan. Pandangan Al-Ghazali sama juga dengan Paulo Freire, dan Mbah Hasyim Asy’ari dalam hemat penulis pendidikan memanusiakan manusia sebagai bentuk bagian daripada humanisasi. Mbah Hasyim Asy’ari: pendidikan memanusiakan manusia lebih praktis dengan menggunakan pendekatakan Al-Qur’an dan Hadits.
Berbicara humanisasi pendidikan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan, karena sejarah menunjukkan bahwa humanisasi merupakan alternatif yang real. Akan tetapi, hanya humanisasi saja yang merupakan panggilan manusia yang sejati. Humanisasi bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan yang itu diperbincangkan oleh kalangan aktor intelektual pendidikan. Mbah Hasyin Asy’ari melihat pendidikan pada sisi signifikansi yakni dalam upaya memanusiakan manusia seutuhnya, menjadi mahkluk yang bertakwa kepada Allah Swt. Dalam pandangan Mbah Hasyim Asy’ari bahwa keberhasilan pendidikan dilihat dari proses belajar mengajar yang tak terlepas dari pendidikan akhlak atau moralitas itu sendiri. Beliau lebih spesifik melihat bahwa moralitas adalah fondasi paling utama dalam pembentukkan kepribadian seorang siswa.
Nashiruddin Pilo menyatakan bahwa pendidikan ala Mbah K.H. Hasyim Asy’ari berupaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa bertaqwa kepada Allah Swt, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah Allah Swt dan menegakkan keadilan di muka bumi, beramal saleh, dengan menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk Allah yang lainnya.
Guru, bertanggung jawab mendidik generasi penerus agar lebih berhasil dalam melaksanakan hidup. Pertemanan dan perjalanannya terhadap sesama dan hubungannya dengan Tuhan. Menurut Mbah Hasyim Asy’ari, guru merupakan suatu profesi mulia. Segala hal yang berkaitan dengan profesi tersebut diasumsikan sebagai suatu bentuk ketaatan manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu, motivasi awal yang harus ditanamkan dalam diri guru adalah adanya semangat pengabdian kepada kebenaran dan kebajikan yang tidak mengenal batas ruang dan waktu, tidak boleh terjebak kepada paradigma materialisme yang bersifat temporal.
Guru melaksanakan profesinya dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan ketabahan, meskipun dalam kenyataanya finansial yang diperoleh guru tidak seimbang dengan tanggung jawab yang harus diemban. Setiap hari guru tidak hanya mentransfer ilmu kepada siswa, tetapi juga bertanggung jawab dari segi pemahaman dan pengamalan ilmu yang telah diterima siswa. Dalam mengajarkan ilmu, guru yang berniat ibadah dan mengharapkan ridho dari Allah Swt, maka guru itu akan memperoleh keberuntungan dunia dan akhirat, inilah yang diajarkan Mbah Hasyim Asy’ari pada pendidikan. (Mukani, 2016:144-145).
Dalam konteks ini, guru salah satu aspek yang penting dalam sebuah sistem pendidikan yang ada. Muhammad Luqman Hakim (2022:58) mengatakan secara konvesional dijelaskan bahwa guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi; menguasai materi, antuasiasme dan penuh kasih sayang dalam mengajar dan mendidik. Dalam konsep pendidikan islam humanisasi, tidak dibenarkan pula seorang guru melakukan diskriminasi vertikal antara guru tersebut dan peserta didik, sehingga akan memunculkan silence culture, kebudayaan bisu, meminjam istilahnya Paulo Freire.
Oleh karena itu, menjadi seorang guru merupakan titipan atau amanat yang perlu dirawat dan dijaga. Ini yang kemudian ditekankan oleh Mbah Hasyim Asyi’ari bahwa seorang guru senantiasa berlaku khauf, dalam segala tindakan merasa takut kepada Allah Swt, baik di tempat yang sunyi atau di tempat keramaian. Dalam diri seorang guru sudah terdapat kepercayaan kepada masyarakat baik itu berupa ilmu, hikmah, dan perasaan takut kepada Allah Swt, dalam mengemban amanat. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah engkau mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan engkau mengetahuinya.”
Peran guru menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan, Mbah Hasyim Asy’ari tampak berusaha untuk menekankan bahwa guru bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memberikan arahan-arahan dan nasihat yang berarti bagi siswa untuk membiasakan sikap hidup yang berlandaskan akhlak baik dan membimbing siswa menuju jalan yang diridhoi Allah Swt. Menurut Mbah Hasyim Asy’ari, seorang guru yang mengajarkan ilmu hendaknya mempunyai niat yang tulus, tidak mengharapkan materi semata. Di samping itu, guru hendaknya mampu menyesuaikan antara perkataan yang diucapkan dihadapan siswa dengan tindakan perilaku yang diperbuat, sehingga tidak sekadar hanya menyampaikan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa humanisasi pendidikan dan tanggung jawab seorang guru ala Mbah Hasyim Asy’ari adalah upaya yang dilakukan untuk mendidik, membimbing, dan memberikan pengajaran yang baik dalam memanusiakan manusia secara utuh sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam, sehingga manusia dapat bertaqwa dengan benar-benar mengamalkan segala perintah Allah Swt, dan menjauhi segala larangan-Nya, menegakkan keadilan, selalu menebarkan kebaikan, yang pantas menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dari segala jenis makhluk Allah Swt, yang lain. Wallahu ‘alam bissawab. (*)