Opini  

Gubernur yang Memenangkan Masa Depan

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Parner di Voice-of-HaleHepu

GUBERNUR yang visioner dan yang progresif mengerjakan agenda masa depan tidak lahir di semua tempat dan di setiap masa di negeri ini. Meski demikian, negeri ini selalu punya contoh dan rujukan.

Kita butuh Gubernur yang memenangkan masa depan.

Dunia kita hari-hari ini makin terkesan diatur oleh mereka “yang menang” dan oleh mereka “yang kalah”. Di banyak arena, yang terjadi adalah tak ada pihak yang sungguh-sungguh meraih kemenangan dan kekalahan yang utuh dan mutlak. Di dalam setiap kemenangan, sebagaimana pada setiap kekalahan, persepsi dan preferensi amatlah menentukan.

Kehadiran setiap pilihan (tentang sesuatu/seseorang) dan kehadiran setiap pikiran (tentang kalah dan menang), akan berbuah harapan dan kecemasan sekaligus. Keduanya menjadi ruang di mana manusia kemudian “menyusun” sejumlah siasat dan sindikasi dalam hidupnya.

Sewajarnya, Gubernur adalah Pemimpin yang Pendidik masyarakat. Pemberi direksi dan penggerak masa depan.

Di masa kini, kita semakin tidak tertarik kepada Pemimpin yang bergaya Pejabat, bukan?

Pemimpin adalah manusia pilihan yang terpilih di tengah-tengah orang banyak. Walau bukan yang terbaik, tapi kehadirannya haruslah dililit oleh keluhuran nilai-nilai yang sudah lama berlaku (lama) di masyarakat.

Bagaimana cara “menemukan tanda-tanda” Gubernur yang Pemimpin seperti itu?

Tradisi Melayu bisa sedikit membantu kita menerawang kiri-kanan. Apalagi karena tradisi Melayu bukanlah gejala tunggal. Ia bahkan tak bisa diwakili dengan mudah oleh satu daerah atau negara saja. Melayu adalah kawasan dan identitas yang cair. Ia menyejarah dan berakar. Ia sekaligus menawarkan pembelajaran yang tak pernah putus. Ia melintasi gelombang dan bergenerasi.

Dalam urusan memilih pemimpin, Tunjuk Ajar Melayu berujar:…yang dikatakan pemimpin, adalah: elok lahir sempurna batin; eloknya boleh ditengok, sempurnanya boleh dirasa…Lurus hati, lurus akalnya; lurus niat, lurus buatnya; lurus lidah, lurus tingkahnya; lurus lahir lurus batinnya

 Apakah ini sekadar petitih yang berlaku sepintas di negeri Melayu? Ternyata tidak, Melayu adalah bangsa yang pernah terkenal karena pergaulan sosialnya yang (relatif) egaliter, terbuka dan progresif. Melayu memang identik dengan Muslim, tapi ia sekaligus bermakna perjumpaan yang saling menerima dan memberi. Identitasnya adalah agama, niaga, dan budaya.

Pada tingkat yang ideal, menurut khasanah Melayu, pemimpin adalah mereka:…yang ilmunya boleh berguru; yang kajinya boleh mengaji; yang cakapnya boleh dikakap; yang mulutnya boleh diikut; yang perangainya boleh dipakai; yang temoohnya boleh dicontoh; yang batinnya boleh diuji; yang lakunya boleh ditiru; yang taatnya menahan pahat; yang setianya menahan coba; yang ikhlasnya menahan kipas; yang tawakkalnya menahan penggal; yang tunggangnya menahan pedang;..yang berumah dalam musyawarah; yang bertempat dalam mufakat; yang berdiri dalam budi; yang tegak dalam syarak; yang memandang dengan undang; yang mendengar dengan tunjuk ajar; yang berkata dengan sunnah; yang berlaku dengan ilmu; yang berjalan dengan iman; yang melangkah dengan petuah

Manusia adalah spesies yang takdir keberadaannya selalu digerakkan oleh berbagai “tuntutan” dan ia akan bereaksi dan bertindak dengan beragam cara (Raymond Geuss, History & Illusion in Politics, 2001).

Ia selalu meyakinkan dirinya sebagai mahluk yang mampu memilih dan punya kapasitas mengubah sesuatu. Prinsip inilah yang selalu dibagi secara bersama oleh setiap bangsa modern. Dalam prosesnya, yang terjadi adalah keragaman dan persaingan. Tak ada satu bangsa yang bersedia menerima status sebagai masyarakat yang”tak punya sejarah” pemenang.

Negeri ini butuh (arah) untuk Percepatan!

Inilah kata kunci yang semakin pasti dewasa ini. Semua dengan mudah berubah. Semua berlari cepat. Hadir dan menghilang begitu saja. Itulah yang berlaku pada apa-apa yang selalu kita rasakan mampu menggambarkannya: uang, orang-orang, barang-barang dan kabar-kabar.

Kita semua, dan apa-apa yang kita punyai demikian mudah berpindah dan berubah setiap saat. Semua bisa mendekat dan sekaligus berjarak dan berpisah dengan kita. Hanya dalam ikatan-ikatan emosional saja kita bisa agak yakin atas rasa “memiliki sesuatu”. Itupun hanya mampu bertahan dalam ukuran waktu yang semakin rentan saat ini.

Dalam nasehat Melayu terungkap: Sebelum berkata, berkira-kira; sebelum tegak, mengagak-agak; sebelum duduk menengok-nengok; sebelum melangkah, berpelangkah… (Effendy, 2006: 658).

Begitulah tradisi kita menyikapi keadaan. Begitulah Melayu menempatkan “nasehat” dan “petuah” sebagai pilar demokrasi dan berkebudayaan dalam berkepemimpinan publik di Negeri ini.

Kita jangan (lagi) salah berulang menemukan Gubernur hebat yang otentik jiwa – raganya. Dan, terutama, seseorang yang direstui oleh Leluhur di alam Sana. (*)

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu

Pos-el-: basriamin@gmail.com