Oleh: Abdullah Assagaf
Kader HMI Cabang Ternate
___
SUDAH lama peristiwa-peristiwa besar di Indonesia hanya dimaknai sebagai momentum seremonial belaka oleh para elite politik negara, salah satunya momentum Sumpah Pemuda. Pada tahun ini sudah memasuki usia yang cukup tua. Peristiwa itu hanya berakhir pada lips service atau kata-kata manis dari para elite politik yang dikemas dalam pidato-pidato kenegaraan di media sosial.
Isi pidato bulshit itu hanya sebatas pencitraan belaka. Sampai hari ini, Maluku Utara merupakan sebuah daerah timur nusantara yang tidak didengar namanya oleh masyarakat Indonesia, namun mudah dijangkau oleh elite nasional dan lokal melalui perselingkuhan modal sebagai wujud transmisi global, suara keresahan dan aspirasi hanya sebatas menjadi pajangan di catatan kecil para elite lokal. Eksploitasi ruang hidup masyarakat Maluku Utara masih terdengar dan nampak dirasakan oleh masyarakat Maluku Utara, belum lagi aktor kedua yang memanfaatkan Try Perusahaan untuk mencari keuntungan melalui lahan rakyat. Akomodasi sumber daya alam oleh tiga perusahaan besar di Maluku Utara, PT NHM, PT IWIP, HARITA Nikel dan anak perusahaan lainya merupakan lumbung dan paru- paru dan sekaligus penyumbang kebutuhan negara.
Melalui tulisan ini penulis hendak menggali keterhubungan sejarah antara momentum gerakan Sumpah Pemuda sampai gerakan pemuda hari ini. Karena selain bertujuan mencari pesan moral sejarahnya, proses ini diperlukan untuk menggali identitas pemuda Indonesia. Sejarah reflektif, menurut Hegel, adalah sejarah yang dalam penyajiannya tidak dibatasi waktu yang dengannya ia berhubungan. Melainkan juga ruhnya yang melampaui masa.
Refleksi sejarah, sekitar pertengahan tahun 1920, Mohammad Hatta, selaku tokoh nasionalis waktu itu merasakan betul bahwa ada kemunduran dalam kepemimpinan para tokoh nasionalis di Indonesia. Tanpa meragukan nasionalisme para tokoh nasionalis, Mohammad Hatta tetap merasa kecewa dengan para tokoh nasionalis yang berasal dari partai-partai besar seperti Sarekat Islam (SI), PSII dan PKI atau Partai Komunis Indonesia. Sebab pada saat itu, mereka mulai menyuarakan ideologi parokial-budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Di tengah kondisi yang dilanda kecewa, waktu itu harapan Hatta hanya bersandar kepada PNI. Namun nyatanya, PNI juga mematahkan harapannya.
“Negeri yang hanya tahu dan menerima perintah dan tidak pernah memerhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya. Tidak memiliki kemauan dan tanggung jawab penuh. Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya. Ia akan mudah tunduk kepada kekuasaan apa dan siapa saja. Dengan begitu, bila Indonesia merdeka, rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.”
Hatta lewat tulisannya hendak membangkitkan kesadaran politik rakyat Indonesia agar tidak hanya terkungkung pada sikap kebangsaan yang hanya diciptakan oleh para elite politik nasional waktu itu. Argumentasi ini diperkuat dengan klasifikasi tiga jenis kebangsaan oleh tindakan Hatta. Pertama, kebangsaan cap intelek. budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Kedua, kebangsaan cap ningrat. Ciri kebangsaan ini kurang lebih sama dengan kebangsaan cap ningrat. Mereka berpandangan agar ketika Indonesia merdeka, nasib rakyat seharusnya diserahkan pada segelintir kaum intelek. Ketiga, kebangsaan cap rakyat.
Kebangsaan cap ningrat dan intelek, tulis Hatta, hanya menjadikan rakyat sebagai perkakas. Dari situlah Hatta kemudian menggagas kebangsaan cap rakyat. Bagi Hatta, kebangsaan cap rakyat-lah yang harus dibangun, karena selain langka, kebangsaan cap rakyat itulah yang seharusnya menjadi sebuah badan dan jiwa bangsa. Rakyatlah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya sebuah bangsa. Jenis kebangsaan inilah yang menjadi alasan Mohammad Hatta berkali-kali berupaya untuk meradikalisasi pikiran rakyat untuk menentang kolonialisme atas kesadarannya sendiri. Bukan karena mengikuti tokoh-tokoh nasional yang waktu itu masih menggunakan rakyat hanya sebagai perkakas.
Untuk meradikalisasi pemikiran rakyat, Hatta bersama para punggawa Perhimpoenan Indonesia membuat sebuah pernyataan sikap yang dikenal dengan Manifesto Politik 1925. Manifesto politik itu berisikan empat tuntutan, antara lain.
Pertama, kesatuan nasional dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit seperti yang berkaitan dengan kedaerahan, serta perlu dibentuk suatu kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Kedua, solidaritas. Perbedaan kepentingan yang mendasar antara bangsa penjajah dengan yang dijajah sehingga harus mempertajam konflik di antara keduanya tanpa melihat perbedaan antara orang Indonesia. Ketiga, non-Kooperasi. Harus disadari, bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, oleh karena itu hendaknya dilakukan perjuangan sendiri tanpa mengindahkan lembaga yang telah ada buatan Belanda seperti Dewan Perwakilan Kolonial (Volkskard). Keempat, swadaya, yaitu perjuangan yang dilakukan haruslah mengandalkan kekuatan sendiri-sendiri.
Manifesto yang ditulis dalam buletin Indonesia Merdeka di bawah naungan Perhimpoenan Indonesia (PI) lantas disebarkan kepada gerakan pemuda yang saat itu masih bersifat kedaerahan. Seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Ambon dan lain sebagainya. Radikalisasi pemikiran para pemuda yang waktu itu dilakukan oleh Muhammad Hatta nyatanya cukup berhasil. Karena pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926, sebuah Kongres Pemuda I diselenggarakan dan diketuai oleh Mohammad Tabrani dan dihadiri oleh beberapa perwakilan dari organisasi pemuda yang saat itu masih bersifat kedaerahan. Dari sinilah, untuk pertama kalinya organisasi-organisasi tersebut mulai berpikiran untuk bergerak bersama di bawah satu komando.
Dua tahun selanjutnya, Kongres Pemuda II lantas digelar pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres ini diketuai oleh Soegondo Joyopuspito dan dihadiri oleh ratusan orang lebih. Di Kongres inilah lahirlah Sumpah Pemuda. Sumpah yang selama ini selalu kita refleksikan setiap tanggal 28 Oktober itu. Selain Sumpah Pemuda, di Kongres inilah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan oleh Wage Rudolf Supratman. Kendati dalam pengawasan yang cukup ketat oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dari pemaparan sejarah tersebut sebenarnya saya hendak menggali karakter dari gerakan pemuda. Yang mungkin secara kasat mata dapat kita lihat ada dua bentuk. Pertama, sebagai pengingat. Kedua, lambang persatuan yang kekuatan penyeimbang kekuasaan. Dua karakter fundamen yang pada dasarnya memang selalu melekat pada identitas gerakan pemuda sejak era kolonial, sampai setelah Indonesia merdeka.
Gerakan pemuda akan selalu menjadi pengingat ketika kekuasaan mulai meletakkan kepentingan kelompok di atas kepentingan nasional. Ketika itu terjadi, maka ia akan bersatu menggalang kekuatan besar untuk tidak saja menyeimbangi kekuasaan, melainkan juga menjadi momok atas kekuasaan para tiran.
Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, mungkin hanya sekali demonstrasi pemuda bertemu dengan kepentingan modal multinasional untuk memboikot kekuasaan dan mengarahkan Indonesia pada krisis kemanusiaan yang cukup besar hingga tahun-tahun setelahnya. Yakni ketika gerakan pemuda mendesakkan tuntutan Tritura kepada rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno.
Runtuhnya Demokrasi Terpimpin menandai hegemoni rezim despotik Orde Baru. Otoritarianisme yang dijalankan rezim ini membuatnya berkuasa selama 32 tahun. Namun, rezim tersebut nyatanya lengser dari kursi kekuasaan. Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 ditambah dengan krisis politik yang sudah lama terpendam di benak para pemuda memaksa para pemuda, khususnya mahasiswa, untuk memberi pesan pada Suharto untuk meninggalkan kursi kekuasaannya. Aksi tersebut cukup efektif karena tepat pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto menyatakan mundur dari kursi kepresidenan.
Ketika Suharto lengser, seluruh masyarakat pro-demokrasi mengalami euforia yang cukup besar. Semua sepakat bahwa orde yang memusuhi rakyatnya sudah tumbang. Walhasil banyak di antara mereka yang akhirnya bergabung ke saluran-saluran politik kekuasaan yang berbeda. Pada mereka yang bergerak di saluran politik kerakyatan, muncul fragmentasi gerakan rakyat. Muncul gerakan lingkungan, anti korupsi, agraria, tani, HAM, gender yang tidak terkonsolidasi satu sama lain.
Sudah Puluhan tahun berlalu, turunnya Suharto tak otomatis menumbangkan persoalan kerakyataan. Pada tahun ini, para pemuda-pemudi Indonesia dihadapkan atas kenyataan ancaman berbagai RUU bermasalah di berbagai sektor, gerakan pemuda setelah 25 tahun reformasi rupanya sudah mampu mengonsolidasikan diri agar tidak terjebak dalam sektoralisme gerakan.
Bagaimana pun juga, perjuangan yang sudah ditempuh dengan berdarah-darah ini akan tercatat dalam sejarah. Jika 98 mengupayakan penurunan tahta rezim oligarki sultanian Orde Baru, maka angkatan 19 mengupayakan perlawanan terhadap oligarki yang membajak dan menyebabkan regresi demokrasi. Mereka menyatakan bahwa musuh terbesar mereka adalah tiang politik oligarki.
Perjuangan itu sudah tepat. Karena jika tiang politik oligarki kian kokoh, maka konsekuensi logisnya ia akan melahirkan rezim yang kian represif. Segala bentuk kritik apalagi yang mengusik status quo mereka seperti status sosial atau kekayaan pasti akan dikriminalisasi. Dan tidak ada obat untuk mencegah hal itu selain memperkuat legitimasi hukum terhadap gerakan rakyat untuk mengintervensi kebijakan negara.
Selamat Hari Sumpah Pemuda yang Ke 95 tahun. Semoga Tetap merdeka dan di merdekakan. (*)