Opini  

Wakil-Wakil Rakyat

Oleh: Basri Amin

___

BAHAGIA betul hati saya mengetahui bahwa ada beberapa kenalan, kawan lama, teman kuliah, senior, dan keluarga yang (berhasil) terpilih menjadi “Anggota Dewan”, baik di daerah maupun di pusat, sebagai hasil Pemilu 2019 lalu. Pada Pemilu 2024 ini, sebagian besar di antara mereka maju lagi. Selamat!

Meski begitu, terselip pula rasa kecewa karena ada banyak di antara mereka yang belum berhasil (2019). Rata-rata mereka adalah kalangan muda, perempuan, mantan aktivis, pendidik ummat, jurnalis, sarjana, dan tak sedikit pula yang berlatar pengusaha. Entah apa yang bakal terjadi pada Pemilu 2024.

Beberapa sahabat yang sudah berulang terpilih, saya tak begitu semangat kepada mereka. Alasannya sederhana saja: mereka sudah “tamat” dengan urusan per-Pemilu-an. Kisahnya tak lagi seru. Apalagi, mereka adalah orang-orang yang memang saya tahu sudah lumayan teruji di lapangan, berkarakter, dan konsisten dalam cita-cita perjuangannya.

Tentu saja, ada beberapa di antaranya yang tampaknya tak begitu nyaman dengan saya –sebagai sahabat— karena nyaris saya tak pernah menemui/mengunjungi mereka di DPR. Sesekali ketemu, selalu hangat, tapi saya tak tahu bagaimana berbahasa lebih kepada mereka karena rupanya saya tak begitu punya urusan di DPR.

Pergaulan yang terbatas dengan mereka bukan berarti saya abai dengan beliau-beliau. Justru, dari titik yang relatif jauh, kita semua berharap kepada mereka. Sebagai rakyat, kita harus respek kepada mereka. Kita harus berpegang pada prinsip bahwa “Anggota Dewan” itu adalah “wakil kita” di parlemen. Itulah sebabnya, “rasa di-wakili” itulah yang kini hendaknya kita segarkan kembali.

Demikian pula sebaliknya, “rasa me-wakili” itulah yang seharusnya tertanam-kokoh dalam nalar dan nurani setiap Anggota Dewan yang hari ini, beberapa hari lalu dan di hari-hari mendatang, menyatakan Sumpah jabatannya di hadapan semua orang dan di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Rasa “me-wakili” dan moral “bersumpah” di hadapan Tuhan –sebagaimana tampak pada kehadiran Kitab Suci-Nya di atas kepala mereka merupakan dua pilar utama yang menentukan kokoh-tidaknya mereka mengemban amanah dan menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang akan mereka lalui sekian tahun ke depan.

Tanpa rasa dan moral, nalar dan nurani akan goncang setiap saat di tengah-tengah hembusan kekuasaan dan rembesan materi yang mengitari kekuasaan yang (kini) sudah di genggaman. Bukankah nyaris setiap waktu negeri ini menyaksikan kejatuhan dan kehinaan karena faktor itu? Bangsa kita menjadi lemah karena jiwa kita hancur dengan uang!

Kita rindu wakil rakyat yang bersih dan berwibawa. Bagaimana pun, jika kita cermati saksama hasil-hasil Pemilu yang pernah ada, kita masih banyak menyaksikan wakil-wakil kita di lembaga perwakilan yang memilukan hati. Aroma uang demikian dominan. Setiap saat, baik dalam keadaan sendiri maupun berjamaah, banyak di antara mereka yang “mencuri” uang rakyat dan yang bermental aji mumpung. Kita prihatin! Kita malu! Wajah kita di panggung dunia tercoreng berulang kali.

Ongkos di pertarungan Pemilu atau Pilkada dianggap pemicu yang mengondisikan orang-orang yang memilih berjuang di lapangan politik menjadi sangat rentan jatuh dalam perkara uang: sogokan, korupsi, suap, jual-beli jabatan, komplotan proyek, transaksi regulasi, dst. Belakangan, Narkoba dan bentuk kesenangan hedonistik lainnya juga terbukti banyak merenggut nama baik. “Sudah jatuh tertimpa tangga pula,” demikian pepatah lama.

Semua tahu, Anggota Dewan kita berasal dari latar hidup dan penghidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka yang sejak awal berkarier adalah figur-fugur yang memang terang-benderang sangat memihak dan membela hak-hak orang banyak. Tapi, kita juga harus jujur mengakui bahwa ada banyak pula di antara mereka (?) yang sekian tahun “tak pernah muncul” dalam percakapan publik dan tampak “belum berbuat banyak” tapi tiba-tiba memilih partai tertentu dan beroleh suara signifikan, dan kini terpilih/terlantik sebagai Anggota Dewan.

Tercatat pula ada beberapa tokoh/figur yang sudah terpilih secara “berulang”, mungkin sudah 2-4 kali pemilu, tapi (mungkin) tanpa legacy yang berarti. Saya kira, semua keadaan ini, adalah relatif sifatnya. Pasti semua ada ceritanya. Dan tak harus menjadi pembenaran tunggal, karena semua orang ber-hak menjadi “wakil rakyat”, baik “Wakil” (dengan “W” besar), atau “wakil” (dalam makna “w” kecil). Biarlah waktu dan rakyat yang akan mengujinya di alam nyata.

Status hidup selalu mendayung di antara kesementaraan dan keabadian. Menjadi “Anggota Dewan”, saya kira, juga demikian adanya. Status adalah kondisi sekaligus. Persis sama dengan kekuasaan itu sendiri. Ia tak pernah sepenuhnya bisa stabil dari waktu ke waktu. Bagi mereka yang memilih hidup dan melakoni pengabdian di bidang ini, sungguh patut berbangga karena mereka akan benar-benar menempa/menguji kejatidiriannya demikian intens.

Pergaulan keseharian yang selalu membahas “anggaran”, “pembangunan”, “pemerintahan”, “kemasyarakatan” dan “kebijakan”, serta akan diisi begitu padat dengan fungsi-fungsi lainnya seperti “budgeting”, “legislasi” dan “pengawasan”, semuanya bercampur-baur dengan sejumlah kordinasi, kegiatan “dengar pendapat”, sidang paripurna, rapat badan anggaran, komisi, fraksi, kunjungan, “studi banding”, dst.

Dengan kesibukan yang tampak ramai seperti itu, publik lalu menyangka bahwa “apa saja” yang dikerjakan oleh Anggota Dewan dengan istilah yang macam-macam tersebut, semuanya “dibayar” oleh negara dengan uang yang tidak sedikit.

Wakil rakyat adalah sekaligus sebagai juru bicara kita. Mereka adalah penyambung lidah dan pikiran kita. Bicaralah yang banyak! Tapi, dengan terlebih dahulu berpikir dan menimbang yang banyak. Cara bicara dan isi pembicaraan Anda hendaknya ber“bicara dengan pikiran!”. Semoga dengan begitu Anda juga menunjukkan kapasitas lebih yang sama-sama dirindukan rakyat, bahwa Anda juga mampu “memikirkan pembicaraan”.

Sungguh ideal kalau wakil-wakil rakyat kita adalah orang-orang yang sukses mengombinasi tiga arena dan aroma: pikiran, wicara, dan acara (aksi nyata!). Pada ketiga domain kenegarawanan itulah sesungguhnya moral politik, ideologi dan cita-cita partai dikerahkan demi martabat bangsa dan kemakmuran bersama. Wakil Rakyat kita di Dewan Perwakilan adalah wajah kita sendiri. Jangan sampai, satu sama lain saling melukai. (*)

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Pos-el: basriamin@gmail.com