Opini  

Keluarga dan Kesadaran

Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu

_____

DUA puluh empat tahun lalu, imajinasi saya tentang keluarga lebih banyak terikat oleh pengalaman saya sendiri yang sudah lama merasakan “kelonggaran” kasih sayang di rumah sendiri, sejak saya “berpisah” dengan ibunda tercinta. Beliau wafat tepat di usia saya yang baru naik kelas 3 Sekolah Dasar (SD).

Sejak usia 9 tahun itu, saya harus mengeja ujian hidup hari demi hari tanpa seorang Ibu dan pelan-pelan saya tidak lagi terbiasa bersandar kepada kasih-sayang (jarak dekat) dari figur Beliau. Bagi saya, Ibu adalah Kehidupanku sendiri. Ada pun soal kerinduan untuk pengasuhan, Hidup ini sendirilah yang akan melapangkan jalan-jalan kehangatannya kepadaku karena kuasaNya semata.

Jarak wajah dan ikatan batin kepada Ibu tidak lagi dirayakan oleh pelukan hangatnya. Apatah lagi karena memang saya tak pernah mengenal kenangan dan acara untuk hadiah-hadiah Ulang Tahun. Saya tak pernah mengenal itu!

Secara fisik, saya tidak begitu lama hidup bersama ayah di usia remaja. Saya lebih banyak beroleh didikan dan pengasuhan yang luar biasa dari keluarga besar ayah. Saya terlindungi (di rumah kakek) dengan penuh hangat, bersama kakek dan nenek, serta oleh dua orang tante dan dua orang paman. Dua tante saya bukan orang sekolahan, tetapi dua paman yang mengasuh saya adalah ‘bersekolah tinggi’. Keduanya kuliah dan meraih sarjana dari dua perguruan tinggi terbaik di Sulawesi.

Dari kakek, saya belajar tentang pengabdian yang berani dan pengorbanan untuk orang banyak, sementara dari nenek saya menyimak tentang kerja keras yang tidak neko-neko. Dari dua paman saya yang terpelajar, saya beroleh pemaksaan untuk bisa tampil berharga karena punya keterbukaan dan keingintahuan yang besar.

Keduanya melatih kemampuan saya menghapal dan bernalar tentang rupa-rupa hal. Saya dilatih menyusun reaksi-reaksi otentik saya terhadap banyak keadaan. Sebagai anak kampung, sesekali saya diajak melihat kehidupan kota yang serba tampil dan mengkilat. Satu kali, saya hampir tidak naik kelas, tapi paman saya datang di sekolah dan mengajukan keberatannya. Saya dibela habis-habisan di hadapan kepala sekolah dan akhirnya saya dinyatakan “naik kelas bersyarat”.

Ayah saya menanamkan sejak dini tentang “emosi yang rasional” dan tentang nilai-nilai kehormatan dalam belajar dan respek memperlakukan orang lain. Nasehat ayah, “belajar itu adalah Jihad….!”. Beliau membebaskan semua permintaan saya untuk mengoleksi buku-buku pelajaran yang dimiliki oleh Guru saya di sekolah. Beliau nyaris tidak pernah membelikan pakaian baru dan mengajak ke pesta. Padahal, beliau adalah Guru dan pegawai negara yang punya gaji bulanan yang lebih dari cukup.

Satu kebiasaan ayah yang banyak menempa motivasi saya adalah kebiasaan beliau bercerita tentang guru-gurunya yang hebat dan tentang daya hapalnya yang tajam di masanya. Ayah sering tampil di masyarakat, dipercaya sebagai pimpinan panitia di setiap musim Pemilu.

Beliau bangga ketika saya berhasil lulus menjadi penerima beasiswa nasional, juara kabupaten, dan pernah tampil/terdengar di siaran radio. Beliau memang percaya kepada potensi anak-anaknya. Meski demikian, ayah saya tidak punya pergaulan luas; terkesan kental bahwa beliau cenderung “menjaga diri”, tidak suka musik dan tidak menyukai olahraga. Kebiasaannya memang adalah mengikuti berita media di TV, diskusi agama, dan membaca koran-koran lokal yang ada di sekolah tempat beliau mengajar.

Ini hanyalah cuplikan paling ringkas yang mampu saya rasakan saat menulis catatan ini. Kisah yang lebih luas dan besar lainnya akan dicarikan ruang tersendiri. Kalau-kalau masih ada kesempatan dan kemungkinan manfaat bagi keluarga saya sendiri atau siapa saja yang tertarik berbagi kisah dan bahan-bahan obrolan tentang keluarga.

Dalam soal keluarga, sebuah ungkapan yang senantiasa menjadi pegangan dan selalu menjadi pengingat adalah: “bahwa Anda tidak bisa menggantikan kegagalan Anda di rumah dengan kisah-kisah sukses sebesar apa pun itu yang Anda raih ‘di luar’ rumah!”. Dalam soal sukses dan gagal, tentu saja sangat relatif sifatnya. Kita tidak boleh merujuk satu standar saja atau sejenis pedoman yang berlaku untuk setiap tempat, waktu dan masyarakat.

Lagi pula, bagi saya sendiri, kata “sukses” cenderung tidak menyamankan pikiran dan perasaan saya. Kata ini, “sukses” terlalu mendikte proses kita dalam kehadiran kita meng-“ada” di alam raya dan dalam pergaulan hidup yang sangat luas tapi amat singkat ini. Kita lebih banyak dipaksa untuk membanding-bandingkan, merayakan dan mengalahkan “orang lain”, demi sebuah sukses dan kemenangan tertentu…Bagi saya, sukses yang salah tempat dan pemaknaan adalah egoisme dari sebuah nafsu yang tiada berguna.

Hukum waktu yang terus berjalan, ukuran-ukuran kehidupan, persepsi kebahagiaan dan afeksi-afeksi ruhaniah di antara kita pastilah berbeda satu-sama lain. Bukankah dengan “hidup” yang kita jalani ini saja, hari-hari ini, adalah sebuah bentangan kebahagiaan yang tak terkira besarnya dari Yang Maha Penyayang. Jika toh ada pasang-surut bernama suka dan duka, entah berulang atau beruntun, atau konstan berkelanjutan dengan kisah-kisah besar yang dipuja-puji, semua itu adalah buah-buah dari proses yang tidak tunggal. Karena tak ada kemalangan yang abadi.

Semua keluarga punya kisah-kisahnya! Tetapi, ada baiknya kita menyimak kata-kata Leo Tolstoy, dalam Anna Karenina (1877): “all happy families resemble one another, each unhappy family is unhappy in its own way.”

Setiap orang punya imajinasi tentang keluarga. Ia dibentuk dan dipahami berbeda-beda di sepanjang sejarah manusia dari waktu ke waktu. Ia memang diberi pengertian yang relatif abadi, bahwa keluarga adalah menyangkut pasangan dari dua jenis kelamin berbeda, selanjutnya melahirkan anak dan beranak-cucu.

Kalaupun tidak ditakdirkan ber-anak-cucu, ikatan keluarga toh tidak akan pernah kurang. Demikianlah seterusnya. Ujung-ujungnya, tidak ada masyarakat tanpa keluarga, tidak ada bangsa dan tidak ada negara kalau tidak dimulai dari unit terkecil bernama “keluarga”. Penanda paling abadi kekeluargaan itu adalah nazab, marga, perkuburan, arisan, perkawinan, ‘kampung halaman’, dst.

Dua puluh empat tahun lalu, saya memasuki gerbang harapan baru yang bercampur-baur dengan ketidakpastian penghidupan tentang bagaimana keluarga sendiri yang akan saya bentuk. Saya memilih seseorang dengan sadar, Wati namanya, menjadi pendamping hidup saya sejak 12 Agustus 2000.

Sejak itulah ia memerankan banyak hal dalam mengisi rongga-rongga kehidupan saya. Setahun kemudian, keadaan berubah dari dominannya peran dia sebagai pendukung kerja, teman ngobrol dan berbagi, dan pendamping keseharian saya, kini ia menjadi seorang Ibu yang harus “mengurusi” kebahagiaan baru di keluarga kami: putri pertama kami lahir. Maka mulailah kata “Ayah” benar-benar terasa gemanya siang dan malam, dalam alam pikiran dan rasa keseharian saya.

Sejak itu pula, kata-kata “Tanggung Jawab” hadir-hilir-mudik di pundak saya. Hari ini, kata “Ayah” itu sungguh-sungguh besar artinya. Kata itu melebihi apa pun dari karier, jejak karya, dan kemerdekaan hidup yang, barangkali, pernah mewarnai cita-cita masa muda saya. Dengan kata “Ayah” itu, saya merasa-penuh telah “menjalani” dan “meraih” segalanya: Keluarga!. Hal-hal lainnya hanyalah pantas diberi derajat sesuatu, di suatu waktu. (*)

Exit mobile version