Oleh: Firdaus Muhidin
Anggota Humas KAMMI Daerah Ternate
____________
KETAKUTAN guru dalam menghadapi siswa nakal merupakan fenomena yang semakin marak di dunia pendidikan. Dengan munculnya berbagai kasus hukum yang melibatkan guru karena tindakan mereka dalam menegakkan disiplin, banyak pendidik merasa terancam dan enggan berinteraksi lebih tegas dengan siswa yang bermasalah. Kondisi ini menimbulkan dilema antara mendidik dengan tegas atau menjaga jarak demi menghindari risiko hukum.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang berakhir di pengadilan karena keluhan dari siswa atau orang tua terkait cara guru menegakkan disiplin. Sebut saja yang akhir-akhir ini sedang ramai di media sosial yakni Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, harus mendekam dibalik jeruji besi usai ditetapkan sebagai tersangka karena mendisiplinkan siswanya. Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito. Ia dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap siswanya. Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito pada Kamis (26/4) lalu. Ia dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap siswanya berinisial D. Kini Supriyani akan menghadapi proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, pada Kamis (24/10) mendatang. (Kendarinesia, 21/10/2024).
Dalam konteks demikian, melaporkan guru dalam ranah hukum tidak dibenarkan. Seringkali, tindakan yang dimaksudkan untuk mendidik dianggap sebagai kekerasan atau pelanggaran hak anak. Akibatnya, guru harus menghadapi ancaman hukum yang tidak hanya merugikan secara profesional, tetapi juga mental dan emosional mereka. Rasa takut ini berimbas pada keefektifan mereka dalam menjalankan tugas utama sebagai pendidik.
Guru sebenarnya memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter dan moral siswa. Namun, jika mereka terlalu takut untuk bertindak karena ancaman hukum, maka proses pendidikan yang seimbang antara pembelajaran akademik dan pengajaran nilai-nilai moral tidak dapat berjalan optimal. Ini memicu kekhawatiran bahwa siswa nakal akan semakin sulit dikendalikan, mengingat mereka menyadari bahwa guru tak lagi berani memberikan sanksi tegas.
Ketakutan ini juga menyebabkan penurunan otoritas guru di kelas. Di banyak sekolah, peran guru sebagai figur otoritas mulai memudar karena mereka tak lagi dapat menegakkan disiplin secara efektif. Siswa yang menyadari kelemahan ini bisa saja memanfaatkan situasi untuk bertindak seenaknya, memperparah masalah perilaku di lingkungan sekolah. Ketika guru merasa kehilangan kontrol, dampaknya adalah suasana belajar yang tidak kondusif.
Selain itu, adanya kebijakan yang membatasi cara guru menangani siswa juga memengaruhi kualitas pendidikan. Meskipun perlindungan terhadap anak adalah prioritas yang penting, perlunya keseimbangan antara hak anak dan tanggung jawab guru dalam mendisiplinkan sangat dibutuhkan. Tanpa aturan yang jelas, kekhawatiran guru akan hukum hanya akan semakin menghambat proses pendidikan yang baik dan benar.
Guru tidak seharusnya merasa terancam saat mereka menjalankan tugas mendidik. Ada perbedaan besar antara kekerasan dan pendisiplinan yang tepat. Ketidakmampuan untuk mendefinisikan batas-batas ini dengan jelas seringkali menjadi penyebab masalah. Perlu ada regulasi yang lebih spesifik dan perlindungan hukum yang jelas bagi guru dalam menjalankan peran mereka, agar mereka tidak selalu menjadi pihak yang dipersalahkan.
Tindakan preventif untuk mengatasi masalah ini harus segera diambil, salah satunya adalah melalui peningkatan dialog antara pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah. Pemahaman bersama tentang pentingnya disiplin dalam pendidikan perlu ditanamkan kepada seluruh pihak. Dengan demikian, guru tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi tantangan siswa nakal.
Pendidikan karakter di sekolah juga harus diperkuat. Siswa perlu dibiasakan dengan etika dan disiplin sejak dini, bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah. Hal ini penting untuk mencegah perilaku nakal yang pada akhirnya dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan sekolah. Jika pendidikan karakter ini dijalankan dengan baik, kemungkinan siswa bertindak negatif pun bisa diminimalisir.
Tak hanya itu, pelatihan bagi guru tentang cara menangani siswa yang bermasalah secara tepat juga sangat dibutuhkan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik, guru bisa lebih percaya diri dalam mendisiplinkan siswa tanpa harus takut berurusan dengan hukum. Pelatihan ini juga bisa menjadi jembatan bagi guru untuk memahami batasan-batasan hukum dalam mendidik.
Di sisi lain, siswa yang terlibat dalam perilaku nakal juga perlu mendapatkan bimbingan khusus. Pendekatan psikologis yang lebih mendalam untuk memahami akar permasalahan siswa harus diutamakan. Dengan begitu, sekolah dapat merancang strategi pendisiplinan yang lebih sesuai, tanpa harus bergantung pada hukuman fisik atau tindakan yang berisiko menimbulkan masalah hukum.
Pihak pemerintah dan lembaga hukum juga perlu mempertimbangkan revisi kebijakan terkait hubungan antara guru dan siswa. Sistem yang saat ini berjalan terlalu mudah menjadikan guru sebagai korban dalam berbagai kasus hukum, tanpa memperhatikan konteks di mana mereka beroperasi. Perlindungan yang lebih adil dan transparan harus diberikan kepada guru yang bertugas di garis depan pendidikan.
Tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak di rumah juga menjadi bagian yang tak kalah penting. Ketika nilai-nilai disiplin dan moral sudah ditanamkan dengan baik di lingkungan keluarga, maka tugas guru di sekolah akan lebih ringan. Orang tua dan sekolah perlu saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan karakter siswa secara utuh.
Kolaborasi antara pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang adil bagi guru dan siswa. Dengan adanya pendekatan holistik, baik guru maupun siswa akan merasa dilindungi dan diakui hak-haknya, tanpa mengorbankan proses pendidikan yang berkualitas. Peran semua pihak menjadi kunci utama dalam menghadapi permasalahan ini.
Akhirnya, penting untuk disadari bahwa ketakutan guru terhadap hukum saat menghadapi siswa nakal dapat memengaruhi seluruh ekosistem pendidikan. Apabila tidak segera diatasi, ketakutan ini akan memperburuk kualitas pendidikan dan menghambat perkembangan karakter siswa. Pendidikan yang baik harus berjalan dengan dasar kepercayaan dan kerja sama antara semua pihak, sehingga ketakutan tersebut dapat digantikan dengan rasa aman bagi guru dalam menjalankan tugas mereka. Akhir kata, guru harus merdeka. Pahlawan tanpa tanda jasa. Wallahu a’lam bishawab. (*)