Opini  

Tinjauan Filosofis Ucapan “Selamat Natal”

Oleh: Nurcholish HR

_________________________

WILLIAM Shakespeare pernah berkata:
apalah arti sebuah nama/kata, bunga tetap terlihat indah dan harum walau diberi nama apapun.

Sebuah ungkapan filsuf romantisme yang menunjukkan bahwa kata tidaklah merepresentasikan realitas.

Namun, bagi filsafat semiotika, kata dan bahasa itu begitu penting, sampai-sampai Roland Barthes berani sesumbar bahwa kata, tanda dan nama tidak hanya terkait bahasa namun juga seluruh kehidupan.

Baudrillard memaparkan beberapa teori dusta yang terkait hubungan kata dan fakta, namun bukan berarti tidak ada kata yang sama sekali tidak merepresentasikan realitas, kata yang merepresentasikan realitas diistilahkan dengan (proper sign) atau reflection of basic reality (refleksi dasar realitas).

Dan di dalam kehidupan, hampir selalu diliputi kata, tanda dan bahasa, bahasa merupakan jembatan dari pengetahuan dan maksud/tujuan/kepentingan.

Anda bisa bayangkan jika kita tidak mengenal bahasa dan kata, mungkin saya tak perlu membuat catatan ini, mungkin tidak ada universitas dan sekolah, buku-buku, ilmu dan sebagainya.

Jadi jika seseorang berjuang untuk kebebasan berkata (freedom of speech), sebenarnya bukan hanya sekadar ingin bebas berbahasa saja, melainkan bentuk keinginan untuk bebas mengekspresikan rasa dan pikiran yang termediasi melalui kata dan bahasa.

Jadi, jangan anggap remeh bahasa atau kata, karena dibaliknya penuh dengan paradigma dan ideologi manusia.

“Surat tetap merupakan sarana yang tak tertandingi untuk mengesankan gadis muda; huruf yang mati itu sering berpengaruh lebih kuat daripada kata yang hidup” (Soren Aabye Kierkegaard).

….

Natal berasal dari bahasa latin, yaitu Natalis, yang berarti Kelahiran.

Ungkapan Natalis, sering digunakan untuk peringatan kelahiran, baik orang maupun lembaga tertentu (lazim disebut dengan Dies Natalis).

Peringatan Natal atau Hari Lahir merupakan sebuah tradisi yang sudah membudaya secara universal.

Ambil contoh nyata, jika di Islam, peringatan Natal disebut dengan Maulid (hari lahir), yang biasanya ditujukan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, dan di Kristen/Nasrani dengan peringatan natal kepada Jesus/Isa al-masih.

Sehingga, ucapan selamat natal substansinya tidak berkaitan dengan sebuah kepercayaan/keyakinan tertentu, melainkan sebuah ungkapan rasa syukur dan gembira atas kelahiran seseorang.

Dan Qur’an pun menunjukkan rasa gembira ini:

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). (Ali-Imran:45)

Dan hal ini menurut saya bisa menjadi dalil bagi ummat muslim saat ini yang bimbang apakah boleh atau tidak untuk memperingati hari lahir (maulid) dengan gembira terhadap kanjeng nabi Muhammad Saw, mengingat jika kelahiran nabi Isa as saja Qur’an bergembira, apalagi untuk Nabi Muhammad Saw.

…..

Di dalam logika aristoteles dan Islam, ada yang namanya Qiyas/Analogi.

Metodenya adalah membandingkan dua/lebih peristiwa yang memiliki kemiripan, namun metode ini sering kali juga mengalami mughalatah/fallacy, karena walaupun prosesnya sama tapi substansinya berbeda.

Misal: Ummat muslim jangan mengucapkan selamat natal, karena ummat kristen juga tidak mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Secara proses mungkin sama-sama ucapan, tapi secara substansi berbeda.

Ucapan 2 kalimat syahadat adalah salah satu syarat seseorang menjadi muslim, yang jika seorang nasrani adalah berupa pembaptisan.

Jadi seharusnya begini analoginya:
ummat muslim jangan mau dibaptis, sama halnya ummat kristen/nasrani yang tidak mau mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Selamat Natal untuk siapapun yang merayakannya.

Salam Hangat dari kami. (*)

Exit mobile version