Opini  

Ampas Pilkada

Oleh: Riyanto Basahona

_________________________

PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) selalu menjadi momen penting bagi demokrasi lokal. Namun, setelah segala hiruk-pikuk kampanye, debat, dan pencoblosan selesai, ada satu hal yang sering terlupakan, dampak sosial yang ditinggalkan pasca-pemilihan. Ampas Pilkada, istilah yang merujuk pada sisa-sisa perasaan dan ketegangan setelah pemilihan selesai, menjadi kenyataan yang tak bisa diabaikan. Ternyata, meskipun pilkada sudah berakhir, dampak buruknya bisa berlanjut dan merembet ke kehidupan sosial masyarakat.

Pada dasarnya, Pilkada adalah sarana untuk memilih pemimpin daerah yang terbaik sesuai dengan pilihan hati. Namun, dalam proses tersebut, sering kali emosi dan identitas politik mengaburkan rasionalitas. Banyak orang yang terlibat begitu dalam dalam mendukung calon yang mereka pilih, hingga pada titik tertentu, mereka merasa bahwa siapa yang tidak mendukung pilihannya adalah musuh. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada ruang politik, tetapi juga merambah ke dalam kehidupan sosial.

Perbedaan pilihan politik dapat memicu gesekan antar individu, baik dalam lingkup keluarga, teman dekat, hingga hubungan pertemanan yang telah terjalin lama. Orang-orang yang sebelumnya saling menghargai bisa tiba-tiba terlibat dalam pertengkaran sengit hanya karena tidak sepakat dalam memilih calon pemimpin. Hal ini tentu saja menyisakan luka emosional yang dalam, bahkan ketika hasil Pilkada sudah ditentukan.

Salah satu dampak paling menyakitkan dari Pilkada adalah terputusnya silaturahmi. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat menghargai hubungan kekeluargaan dan pertemanan, perbedaan pilihan politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk merusak hubungan tersebut. Namun, kenyataannya tidak sedikit yang merasa bahwa silaturahmi harus diputus ketika perbedaan politik terjadi.

Di beberapa kasus, keluarga yang sebelumnya selalu berkumpul bersama, terpaksa berpisah karena adanya ketegangan yang muncul akibat Pilkada. Ada yang menghindari satu sama lain, ada yang saling mengunci diri, dan ada juga yang merasa bahwa berinteraksi dengan orang yang memilih calon berbeda akan membawa dampak negatif bagi citra diri mereka. Hal ini memperlihatkan betapa politik bisa menggerus rasa persaudaraan yang seharusnya tidak terpengaruh oleh pilihan pribadi.

Pasca-pemilihan, ada banyak individu yang merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pilihan politik berbeda. Di lingkungan kerja, sekolah, atau pertemuan sosial lainnya, suasana jadi canggung. Banyak orang yang menghindari perbincangan politik, tapi di sisi lain, ada juga yang secara tidak sengaja membicarakan hasil Pilkada, yang mengarah pada konflik terbuka. Seringkali, perbedaan pilihan politik ini berlanjut menjadi prasangka, stereotip, dan bahkan perundungan sosial, yang menciptakan ketidaknyamanan lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun dampak buruk pasca-Pilkada sulit dihindari, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk memperbaikinya. Langkah pertama adalah menyadari bahwa Pilkada hanyalah bagian dari perjalanan politik yang sementara. Yang lebih penting adalah menjaga hubungan baik antar sesama manusia tanpa mengedepankan perbedaan.

Penting untuk mengedepankan komunikasi yang terbuka dan saling mendengarkan pendapat tanpa menilai satu sama lain. Toleransi politik harus ditanamkan agar perbedaan pendapat dapat diterima dengan lapang dada. Dalam konteks keluarga dan pertemanan, perlu diingat bahwa hubungan yang dibangun selama bertahun-tahun jauh lebih berharga daripada pilihan politik sesaat.

Juga, media sosial sebagai sarana berbagi pendapat sering kali memperburuk ketegangan. Mengurangi penyebaran informasi yang bersifat provokatif dan menjaga diri agar tidak terjebak dalam eskalasi konflik adalah langkah penting dalam meredakan ketegangan sosial pasca-Pilkada. (*)

Exit mobile version