Oleh: Mirna
____________________
DILANSIR dari tirto.id (21/12/2024), mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Sehingga, keputusan yang dikeluarkan pemerintah ini mendapat penolakan dari mahasiswa serta masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Dari sinilah, Sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025.
Diberitakan Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). Demonstran tolak PPN 12% juga membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan. “Utangmu urusanmu. Utang negara ya urusanmu”, bunyi salah satu poster yang bergambarkan siluet menyerupai Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam sistem kapitalisme, sebagaimana yang dianut negeri ini, pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara. Padahal, negeri ini kaya akan SDA yang jika dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA, malah diserahkan kepada asing. Alhasil, alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”. (QS Asy-syura: 42).
“Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Tidak dimungkiri bahwa dalam Islam pun dikenal adanya pajak, yakni dengan istilah dharibah. Akan tetapi, penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. Pajak adalah harta yang Allah wajibkan atas kaum muslim untuk membiayai hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam baitulmal (kas negara). (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129, 135).
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari seluruh rakyat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme. Misalnya, pajak bumi dan bangunan, kendaraan, bahkan makanan. Nabi SAW dahulu mengatur urusan rakyat dan beliau tidak memungut pajak atas seluruh rakyatnya. Ketika beliau SAW mengetahui bahwa orang di perbatasan Daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau melarangnya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak masuk surga pemungut cukai (maks).” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Shahibul maksi adalah orang yang mengambil pajak perdagangan. Ini menunjukkan larangan mengambil pajak sebagaimana prinsip kapitalisme. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal, melainkan merupakan pendapatan yang bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong (Muqaddimah ad-Dustur, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam) dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Ketika problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme
Oleh karenanya, pajak dalam Islam bukan untuk menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, apalagi untuk memperkaya pejabat negara. Namun, pajak diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat. Setidaknya ada tiga ketetapan syariat terkait pajak.
Pertama, kondisi yang diperkenankan mengambil pajak.
Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong. Manakala problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan.
Syekh Atha’ Abu Rusytah menegaskan bahwa pajak tidak diambil kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat, yakni hal itu diwajibkan atas baitulmal dan kaum muslim sesuai dalil-dalil syarak yang sharih, dan ketika di baitulmal tidak ada harta yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini sajalah boleh diambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan. (Silsilah Jawaban Asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 11-6-2021).
Kedua, pihak yang termasuk wajib pajak.
Ketika kas baitulmal kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi negara dan umat, pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia seorang warga negara muslim. Artinya, tidak diwajibkan bagi warga negara nonmuslim. Ia juga harus dari kalangan orang yang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari pajak.
Dalam Islam, pemerintah tidak begitu saja diperbolehkan memungut pajak terhadap rakyatnya yang muslim. Ini karena bisa saja harta kaum muslim (sebagai rakyat) tersebut boleh dan wajib diambil, makruh, atau bahkan haram diambil oleh pemerintah.
Oleh karenanya, harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak, yaitu untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada kedua pihak sekaligus, yaitu negara dan umat, yakni jika di baitulmal kosong. (*)