Opini  

Pilkada dan Bosisme Politik

Nurcholish Rustam. (Istimewa)

Oleh: Nurcholish HR
Ketua Rampai Nusantara Malut

_______________________

DEMOKRASI langsung kita telah memunculkan aneka anekdot getir, antara lain pemenang Pilkada Provinsi atau Kabupaten A yang sebenarnya bukanlah pasangan si X-Y, melainkan bandarnya. Istilah bandar mengalami penghalusan menjadi pemodal atau investor. Bandar ternyata lihai bermain di segala lini untuk memodali semua kandidat.

Fenomena itu terasa sekali tatkala, misalnya mengapa hampir seluruh kandidat Pilkada Provinsi atau Kabupaten A tidak mempersoalkan kasus tertentu yang sangat popular karena kontroversial di mana dampaknya peminggiran para korban yang bernama RAKYAT.

Mengapa pula para kandidat berlomba membagi “fasilitas” ke simpul-simpul strategis masyarakat bak sinterklas atau Doraemon yang tinggal mengeluarkan dari kantong ajaibnya? Yang jelas, sebagian besar mereka tampil mendadak sebagai bos-bos politik. Tapi, kerap mereka dan juga hampir seluruh aktor yang berlaga dalam segala jenis pemilu justru hanyalah agen sebuah “kepentingan yang lebih besar” yang bersifat invisible hands atau tangan tak terlihat. Si bos yang sebenarnya sang investor politik atau lebih dikenal dengan oligarki. Fenomena ini segera mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme politik (political bossism).

Setidaknya, menurut Fred J. Cook dalam bukunya American Political and Machines (1973), istilah bosisme itu tak lepas dari sejarah panjang demokrasi politik di Amerika Serikat, yang bahkan sisa-sisa pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Bosisme atau investor, atau pemodal atau dengan sebutan lain oligarki dapat diartikan sebagai sistem politik yang menempatkan sosok tunggal dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Si bos membawakan sebuah organisasi yang kompleks, yang memadukan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Di Amerika, bosisme menjadi isu politik penting pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, bahkan contoh konkrit paling nyata dalam Pilpres AS baru-baru ini adalah bagaimana Elon Musk (orang terkaya di muka bumi ini) yang paling berperan penting atas kemenangan Donald Trump.

Di ranah ekonomi, si bos memiliki banyak usaha, lincah mengembangkan modal dan menyiasati sistem secara legal-etis maupun nakal. Sang kapitalis selalu eksis di tengah cuaca politik apa pun karena punya saham di kekuasaan.

Dengan kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan teknik kecanggihan tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku pemilih. Meminjam bahasa dari Dosen S2 saya dulu, Dr. Alfan Alfian, di Indonesia, barangkali istilah populernya “Bos Preman”, dan tentu bukan preman kelas teri. Kalau di Maluku Utara sering disebut “Bos Besar”. Disebut besar karena memiliki kuasa yang besar.

Sebelum wacana political machine (mesin politik) banyak dikaitkan dengan partai-partai politik, istilah itu sesungguhnya sangat dekat dengan bosisme. Political machine lebih merujuk pada pergerakan organisasi (politik) yang tidak resmi dikendalikan dengan sangat kuat oleh patron secara behind the scenes, yang selalu berupaya menguasai struktur, aktor-aktor, dan mengendalikan permainan demokrasi politik. Konteks istilah ini selaras dengan wacana politik-klientalisme yang popular di Amerika Latin, Afrika, dan Eropa Timur pasca komunis. Politik klientaslime adalah atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik. Hal ini berkaitan erat dengan politik patronase dan pembelian suara. Inilah yang terjadi di Maluku Utara pada Pilkada kemarin.

Dalam konteks bosisme dan mesin politik, kata kunci utamanya adalah patronase yang saya sebutkan di atas, dan tentu saja mengarah pada ranah korupsi politik. Novel semacam The Godfather karya Mario Puzo (1969), tampaknya cukup memberikan gambaran tentang bosisme dan political machine, di mana pertarungan bisnis dan politik berlangsung sangat seru dan berdarah-darah.

Pecah Kongsi; Kuasa vs Pemodal

Di Maluku Utara, fenomena bosisme dan mesin politik menimbulkan banyak kongsi yang hadir dalam sebuah momentum politik dengan pola yang berbeda-beda. Dalam Pilkada akhir 2024 kemarin, dalam amatan saya, ada beberapa kongsi politik yang baru terbentuk, ada juga yang sudah berlangsung dari periode sebelumnya. Namun yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah keberlangsungan kongsi tersebut. Adakalanya terjadi pecah kongsi pasca satu momentum. Di Kota Ternate misalnya, terjadi pecah kongsi antara kuasa (sebagai pemenang pilkada) sebut saja si ‘A’ versus pemodal yang kemudian berujung di ranah hukum.

Perbedaan pandangan ini bukan tanpa sebab. Banyak variabel yang muncul dari kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing untuk jangka panjang. Dalam landscape politik (lokal) di Kota Ternate ini, masih ditandai dengan kuatnya tuan tanah yang kemudian mengerucut menjadi bos-bos bisnis dan politik. Mereka juga seperti para gangster yang disebut dalam novel The Godfather, punya mesin politik, dan bahkan “senjata” yang bisa dipakai untuk saling mengancam.

Landscape politik kita berbeda dengan daerah lain, tetapi bukan berarti sama sekali tidak persis. Para pemilik modal dan kuasa akan selalu bersaing dalam berebut pengaruh. Adakalanya mereka membentuk suatu oligarki kepentingan dalam membandari kandidat-kandidat politik.

Wajar dan Etis

Memodali politik tentu saja bukan sesuatu yang salah, tetapi mestinya etis, taat aturan, dan karenanya wajar. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif, seolah semata imbauan. Padahal, kultur politik kita masih suka menonjolkan salah kapra: kalau masih bisa dilanggar, mengapa harus ditaati.

Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas kesadaran kritis masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali kini, di mana ‘kemaruk kekuasaan’ lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi.

Jangan sampai eksis berebut atau mempertahankan kekuasaan itu lantas mengabaikan kewajaran dengan menggunakan kekuatan modal untuk mengangkangi dan merusak kesucian politik. Semoga para elite kita lebih mengutamakan kepentingan rakyat. (*)