Oleh: Rifan Basahona
____________________________
PILKADA merupakan sebuah ikhtiar demokrasi elektoral yang telah diamini secara saksama, dalam perundang-undangan pilkada adalah sebuah mekanisme serta proyeksi kepemimpinan.
Selain sebagai mekanisme dan proyeksi kepemimpin, pilkada juga sebagai ajang evaluasi kepemimpinan yang telah berjalan sebelumnya, sehingga proses pilkada adalah sebuah ajang normatif.
Pilkada adalah sebuah pesta normatif bagi rakyat maka seharusnya sikap merdeka serta bebas bagi rakyat sebagai pemilih harus di junjung tinggi.
Di samping itu, harus adanya sikap yang benar-benar adil bagi setiap individu serta komponen yang menjadi penyelengara.
Karena sebagai mekanisme evaluasi serta proyeksi kepemimpinan, pilkada harus menjadi ajang yang menjunjung tinggi asas dan perikehidupan yang baik, serta menaati aturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Rakyat berhak dan merdeka dalam menentukan pilihannya masing-masing, tidak ada paksaan serta intimidasi dari pihak manapun, rakyat harus riang gembira dalam menunaikan haknya.
Tidak boleh ada mobilisasi serta konsolidasi politik dari setiap kandidat yang melibatkan isu SARA kekerasan ancaman serta money politic/politik uang yang dapat menodai hak-hak rakyat.
Pilkada harus memposisikan sikap jujur adil, serta toleran setinggi mungkin, sehingga di kemudian hari tidak ditemukan kecacatan yang berujung pada pecah belah di kalangan masyarakat.
Situasi serta kondisi yang digambarkan di atas yang seharusnya menjadi keinginan secara bersama dalam setiap praktek politik, sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas serta berintegritas.
Namun hingga hari ini apa yang menjadi harapan serta keinginan secara saksama belum terealisasi secara baik. Karena masih rentan terjadi praktek-praktek politik yang tidak sesuai dengan kehendak demokrasi.
Rakyat belum merdeka dalam memilih, masih ada intimidasi, paksaan dan money politic/politik uang, serta isu SARA yang mendominasi praktek politik hari-hari ini.
Sehingga tidak salah jika akhir dari pilkada tidak menimbulkan efek yang baik, malah seusai pilkada memicu perpecahan dalam masyarakat, saling hujat, serta adu jotos, yang mencederai nilai-nilai sosial serta persatuan.
Kini telah terbukti pilkada yang baru dilewati beberapa bulan kemarin memicu konflik-konflik yang berujung pada melemahnya sikap toleran, persatuan, serta terjadi ketegangan sosial dalam masyarakat, dan pilkada selalu saja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan kehendak murni dari suara rakyat.
Problem serta kesenjangan politik yang sering terjadi di atas tentunya sangat memperihatinkan, dan ini menjadi PR besar bagi kita semua terutama para pemimpin yang terpilih.
Pemimpin yang terpilih harus mengedepankan sikap simpati bukan antipati, terbuka serta toleran terhadap semua kalangan maupun golongan yang ada termasuk rivalnya.
Upaya rekonsiliasi harus dikedepankan agar masyarakat kembali bersatu, karena tanggung jawab kandidat yang terpilih tidak hanya merealisasikan janji-janji kampanye, tapi menjadi pemimpin semua masyarakat termasuk yang tidak memilihnya.
Kebijakan yang inklusif dan adil dapat membantu meredakan ketegangan yang terjadi. Sebaliknya, kandidat yang kalah diharapkan menerima kekalahan dengan sikap legawa, serta lapang dada.
Kekalahan bukanlah akhir dari karier politik, melainkan kesempatan untuk melakukan evaluasi dan memperkuat basis politik di masa depan.
Ketegangan-ketegangan yang dialami dalam pilkada kemarin harus diusaikan Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan siapa pemenangnya, yang kalah harus menerima,yang menang tidak usah bergembira yang berlebihan.
Mari saling kerja sama karena pada hakikatnya pilkada adalah ajang mencari pemimpin yang akan menahkodai setiap daerah lima tahun ke depan, bukan ajang untuk mencari lawan lima tahun ke depan.
Harapan ini tentunya tidak terwujud jika tidak dimulai hari ini, mari mengoreksi diri masing-masing serta menjunjung tinggi rasa persatuan serta toleransi, memupuk kembali persatuan dan kembali kepada asas gotong royong untuk membangun daerah masing-masing.
Yang kalah bukan berarti tidak memiliki ruang untuk membangun daerah atau negaranya, yang menang juga belum tentu dapat merealisasikan semua janji-janji kampanye.
Karena pada hakikatnya suatu daerah serta negara bisa maju jika dihiasi dengan rasa persatuan dan kerja sama di antara semua pihak. (*)