Opini  

Sherly dan Mitos Pemimpin

Oleh: Nurcholish HR
Ketua Rampai Nusantara Malut

__________________________________

BANYAK faktor yang menyebabkan Sherly Tjoanda Laos menang besar dalam Pilkada serentak pada akhir 2024 kemarin, sekaligus mencatat sejarah baru sebagai gubernur perempuan pertama di Provinsi Maluku Utara. Kemenangannya antara lain dapat dijelaskan lewat perspektif anti-mitos. Sherly Tjoanda Laos (yang juga istri dari mendiang Benny Laos – Mantan Bupati Pulau Morotai) telah menjungkirbalikkan mitos-mitos kepemimpinan yang selama ini diyakini banyak orang. Warren Bennis dan Burt Nanus dalam tulisannya Leaders (2003) dan menegaskan inti kepemimpinan itu tanggung jawab. Bennis dan Nanus juga mencoba meyakinkan pembaca bahwa banyak mitos yang harus dirobohkan dalam memandang kepemimpinan. Saya kira perobohan mitos-mitos itu tepat sekali dengan kehadiran Sherly, Gubernur terpilih dari provinsi yang katanya paling bahagia se-Indonesia.

Mitos pertama, yang harus dirobohkan adalah, kepemimpinan merupakan keterampilan yang langka. Pemimpin hadir dengan segenap keterampilan yang dimiliki dan stoknya pasti sangat terbatas, dan tak semua orang bisa menjangkaunya. Itu salah. Yang benar peluang kepemimpinan cukup banyak dan bisa dijangkau oleh sebagian besar orang. Sherly adalah orang biasa pada mulanya. Ia bukan terlahir dari pemimpin hebat di republik ini. Tapi ia unik dan punya pengalaman hidup kaya, multi-perspektif. Pasca meninggalnya Benny Laos dalam sebuah musibah kecelakaan, Sherly melihat peluang dan segera menangkapnya, dan terwujud.

Mitos kedua, pemimpin dilahirkan bukan diciptakan. Lagi-lagi mitos ini suka menjebak. Inilah yang mempersubur “politik keluarga” yang bercorak nepotis yang di Indonesia maraknya minta ampun. Yang benar adalah bahwa kapasitas dan kompetensi utama dari kepemimpinan bisa dipelajari, dan kita semua bisa mempelajarinya, setidaknya kalau kita mau serius.

Mitos ketiga, pemimpin adalah orang yang berkharisma. Ya, kharisma memang harus dimiliki pemimpin hebat, dan seolah itulah daya sihir yang menyirap para pengikutnya. Tapi, dari mana datangnya kharisma? Genetika? Wahyu? Dalam catatannya Bennis dan Nanus sangat tidak setuju. Baginya, yang benar yang berlawanan; kharisma adalah hasil dari kepemimpinan efektif, bukan sebaliknya, dan bahwa mereka yang bagus dalam memimpin akan diberikan sejumlah penghargaan tertentu dan dikagumi pengikutnya, sehingga memperbesar ikatan ketertarikan di antara mereka. Sherly telah menciptakan kharismanya sendiri, justru karena ia efektif.

Keempat, kepemimpinannya hanya ada di puncak organisasi. Yang benar, setiap level perlu kepemimpinan, perlu tanggung jawab, tak harus menunggu sampai di puncak. Sherly sadar betul akan hal itu. Dalam satu kutipan di akun media sosialnya, Sherly sadar betul akan tanggung jawab, cita-cita dan mimpi besar dari mendiang suaminya yang harus diwujudkan ketika kelak terpilih sebagi gubernur. Olehnya itu, langkah-langkah yang diambilnya pun harus ‘besar’ dan penuh tanggung jawab.

Kelima, pemimpin mengendalikan, mengarahkan, memanipulasi. Yang benar, menurut Bennis dan Nanus, pemimpin itu harus memimpin dengan cara yang menarik, dengan memberi inspirasi, bukan memberi perintah. Dengan menciptakan harapan, bukan memanipulasi, dengan memungkinkan orang menggunakan inisiatif dan pengalamannya sendiri, ketimbang menolak atau menghalangi pengalaman dan aksi mereka. Inilah arti penting otensitas pemimpin.

Catatan penting untuk seorang pemimpin adalah ‘Kekuasaan itu Amanat’. Sewaktu-waktu, kekuasaan itu bisa lenyap dari genggaman anda. Anda tidak perlu menciptakan monumen, cukuplah meninggalkan kebijakan yang benar dan bermanfaat. Itu bentuk kesalehan juga. Ukuran kesalehan politik adalah apabila anda pernah berbuat “kebaikan” sebesar zarah (atom) sekalipun dan itu tercatat dalam mahkamah sejarah, walaupun anda tergeser dan kalah. Bagaimana pendapat anda.? (*)