Oleh: Rabbiul Nguna Nguna
_______________________________
ERA Post-Truth merupakan gambaran terhadap situasi di mana fakta dan juga kebenaran yang terjadi tidak lagi menjadi dasar untuk membuat keputusan. Di era Post-Truth, emosi, kepercayaan, propaganda seringkali lebih berpengaruh daripada fakta dan data.
Mahasiswa takut dosen adalah salah satu daripada ciri-ciri masa Post-Truth yang dapat mengakibatkan berbagai macam penindasan yang bervariasi yang kemudian dilakukan oleh para dosen terhadap mahasiswa sendiri. Kita lihat saat ini hajat hidup seluruh masyarakat dieksploitasi oleh pihak penguasa, baik dalam konteks politik, ekonomi, budaya, sosial maupun pendidikan. Mahasiswa merupakan agen pengontrol, pengawal serta agen perubahan seakan beringkarnasi menjadi kelompok yang lemah dan tidak mempersoalkan problematika yang kemudian terjadi, padahal harusnya mahasiswa adalah manusia yang kuat dan berani serta disegani oleh semua pihak, seperti pemerintah dan dosen, sehingga mahasiswa dinobatkan sebagai agen perubahan yang mampu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keharmonisan dalam berkehidupan. (Syamsudin 2008) seorang pemuda hanya diberikan dua pilihan, yaitu dia yang mengubah lingkungan sosial atau justru lingkungan yang berpotensi mempengaruhi serta memberikan perubahan kepada pemuda itu sendiri. Pendidikan dan semua aspek kehidupan saat ini seakan-akan tidak mengalami masalah apapun sehingga mahasiswa diam dan acuh, adapun segelintir mahasiswa yang sadar akan persoalan kampus tapi lebih memilih diam karena takut tidak bisa mendapatkan nilai A maka dengan diam dan acuh menjadi solusi terbaik bagi para mahasiswa agar tetap berada pada garis aman, begitulah kiranya potret mahasiswa masa Post-Truth saat ini, kebanyakan aktivis apalagi mahasiswa yang apatis, hedonis dan pragmatis semuanya menjadi jinak di hadapan dosen, takut mengkritik dan membantah argumen dosen, semakin lama mahasiswa berlarut dalam situasi terpuruk serta tertindas, segelintir dosen menjadi nyaman dan bebas melakukan diskriminasi dan eksploitasi. Hal ini menjadi peluang terjadinya penyimpangan antar dosen dan mahasiswa, sebab mahasiswa sudah berubah menjadi mahatersiksa. panggung bebas atau orasi sebagai refleksi para mahasiswa untuk melatih kecakapan mental yang ada di setiap kampus saat ini mulai mati.
Azis Syamsudin (Kaum Muda Menatap Masa Depan) 2008 mengulas tentang kiprah pemuda dan mahasiswa dalam sejarah perubahan zaman. Mahasiswa merupakan tulang punggung yang dapat mengarahkan masa depan ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya. Agen perubahan adalah istilah bagi pemuda atau mahasiswa yang tercerahkan yaitu pemuda yang mengarahkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kecerdasan, keadilan, kecintaan terhadap tanah air yang didorong oleh ilmu pengetahuan semuanya terintegrasi dalam diri setiap pemuda, dan itu dipercayai oleh Syamsudin bahwa hal demikian hanya dapat dibangun oleh pemuda yang tercerahkan, dalam tanda kutip, pemuda yang tercerahkan adalah dia yang bergabung dalam Organisasi mahasiswa baik eksternal seperti HMI, PMII, KAMMI, GMNI dan OKP Cipayung lainnya, ataupun organisasi internal kampus, seperti UKM UKK. Sedangkan mahasiswa yang tidak berorganisasi apapun hanya akan menjadi tontonan drama yang dimainkan oleh mahasiswa aktivis, sehingga Syamsudin mengatakan mahasiswa yang hanya tinggal dalam ruangan kelas tidak disebut sebagai mahasiswa yang tercerahkan.
Tertulis di setiap literatur sejarah perjuangan pemuda dalam kemerdekaan, terlihat jelas memang sangat penting peran pemuda dalam membangun sebuah bangsa kepulauan ini, tidak dipungkiri situasi pemuda tidak berjalan linear dalam setiap periodesasi, akan tetapi pemuda pada tahun 1908 yang telah memiliki jiwa nasionalisme, hingga pada tahun-tahun selanjutnya peran pemuda yang murni dan suci dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan lebih meningkat hingga tepat pada tahun 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan hari Sumpah Pemuda, di mana para pemuda mulai terintegrasi, selang beberapa tahun tepatnya di tahun 1998 pemuda kembali menciptakan sebuah sejarah yang unik, yaitu dengan menurunkan rezim Soeharto. Kekuatan pemuda saat itu tidak bisa diremehkan menjadikan penguasa serta para dosen takut pada gerakan mahasiswa.
Berbeda dengan hari ini, di mana mahasiswa malah menyokong segelintir dosen dalam bertindak yang semakin feodal. Mahasiswa bukan lagi Pemuda yang tercerahkan karena mahasiswa tunduk dan patut terhadap perkataan dosen.
Terlebih dahulu saya akan mendeskripsikan tipe-tipe dosen sesuai dengan pengamatan dan analisis mendalam secara literlek terkait hal ini. Adapun tipe-tipe dosen yaitu;
Dosen yang demokrat dan inklusif, yaitu dosen yang mengajar dengan menerapkan komunikasi dua arah terbuka dan menerima kritik serta saran dari mahasiswa sehingga dosen seperti ini memang benar-benar mengembangkan potensi setiap mahasiswanya.
Dosen cenderung paternalistik dan ekslusif, yaitu dosen yang menjadikan dirinya sebagai orang yang maha tahu dan mahasiswa tidak tahu, akibatnya terjadi proses pembelajaran yang timpang.
Dosen transaksional, adalah dosen yang hanya melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengajar karena dia dibayar oleh pihak terkait. Dosen seperti ini tidak terlalu memperhatikan pencapaian sebuah pendidikan, dan masih banyak tipe-tipe dosen lainnya yang tidak saya sebutkan satu-satu.
Terkadang dosen mata kuliah menyampaikan materi yang tidak sesuai berdasarkan kebutuhan mahasiswa. Herannya mahasiswa sadar akan hal itu, tapi tetap mengikuti kuliah dan tetap memuji kinerja dosen demi untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Kekuatan mahasiswa tidak lagi diperhitungkan karena melemahnya persatuan dan mental serta epistem mahasiswa. Selain itu, terdapat segelintir mahasiswa sudah bekerja sama dengan para dosen dalam memperagakan praktik pendidikan yang tidak manusiawi. Sebuah data konkrit terjadi di salah satu kelas Fakultas Tarbiyah. Satu ketika seorang mahasiswa yang membantah dan memprotes nilai yang diberikan oleh dosen mata kuliah, dengan semangat juang seorang mahasiswa tersebut dalam memperjuangkan hak-hak teman mahasiswanya yang menjadi korban kecurangan dosen, tetapi keadaan membalikkan situasi, tidak ada satu pun teman sekelas yang mendukung argumennya dan bahkan ada yang berusaha menyerang dan membela-bela dosen,
Argumentasi yang tajam juga dihindari karena dianggap tidak sopan, padahal yang kita tahu secara bersama bahwa kurikulum yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum merdeka, tapi masih saja pelajaran yang berlangsung di ruangan adalah pelajaran satu arah yaitu dosen yang menyampaikan dan mahasiswa yang mendengar.
Ini menjadi kesalahan mahasiswa yang tidak sadar dan terlalu mengejar nilai sehingga kebijakan dan praktik lembaga kampus tidak pernah diganggu dan menjadi persoalan bagi mahasiswa. Ini akibat jika literasi mahasiswa yang minim, sehingga labil akan pengetahuan dan pembacaan analisis terhadap problematika kampus.
Fakta lain bahwa saat ini kampus atau lembaga perguruan tinggi tidak lagi menjadi sorotan, perhatian dan minat masyarakat untuk melanjutkan studi perguruan tinggi. Hal ini merupakan bahan evaluasi bagi kita mahasiswa terutama para dosen, baik dosen mata kuliah maupun rektor itu sendiri. Menurut hemat penulis, situasi ini terjadi karena tidak ada lagi aktivitas maupun kegiatan mahasiswa seperti pengabdian, yang di mana mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga masyarakat tidak mendapatkan motivasi atau gambaran yang baik terkait perguruan tinggi. Sebenarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi hingga hal demikian terjadi, yaitu faktor anggaran dan kesadaran mahasiswa. Saat ini masih tersisa mahasiswa yang sadar, hanya saja tidak mendapatkan respons yang baik dari pihak lembaga untuk bekerja sama dalam merespons persoalan yang kemudian ini terjadi. Kesalahan yang menyimpang sehingga anggaran mahasiswa ditahan dan kemudian hanya sebagian kecil anggaran kegiatan mahasiswa yang dialokasikan ke mahasiswa sehingga mahasiswa susah dalam mengambil tindakan karena anggaran yang kemudian terbatas. Suasana kampus semakin jauh dari literasi dan diskursus ilmiah, kegiatan mahasiswa yang minim menjadikan kampus seperti gedung besar yang tak terhunikan, sunyi dan hening, sehingga menciptakan mahasiswa yang hedonis, pragmatis dan apatis.
Oleh sebab itu, saya mengajak kepada kita semua untuk sama-sama merefleksi diri kita untuk menjadikan bangsa yang dihuni oleh para pemuda cendekiawan intelektual dan berintegritas serta mampu merespons problematika yang kian menggurita di lingkungan kita. Untuk mencapai itu, kita harus menjadi mahasiswa yang tercerahkan seperti yang dikatakan oleh (Azis Syamsudin 2008) yaitu mahasiswa yang termasuk di dalam organisasi dan terlibat aktif di dalamnya baik menjadi pengurus maupun panitia, sebab ilmu yang kita dapat di ruang belajar kelas hanya 15 % dan 75 % lainnya kita cari di luar yaitu di organisasi. (*)