TERNATE, NUANSA – Kompol S dicopot dari jabatannya sebagai Wakapolres Pulau Taliabu. Pencopotan ini lantaran S diduga berselingkuh dengan anggota DPRD Maluku Utara, A alias Agriati. Langkah Polda memberhentikan Kompol S ini setelah unggahan putrinya, Diny Apriliani Eka Putri, tentang dugaan perselingkuhan itu viral di media sosial. Kabid Humas Polda Kombes Pol Bambang Suharyono membenarkan pencopotan Kompol S tersebut.
“Wakapolres ditahan itu sudah dicopot dari jabatannya dan ganti posisi Wakapolres Kompol Sinar Syamsu dari Itwasda Polda Maluku Utara,” ujar Bambang, Senin (3/3).
Ia menjelaskan, jabatan wakapolres adalah pembantu kapolres dan unsur pimpinan. Jika seorang kapolres ada hambatan maka wakapolres yang menggantikan.
“Tapi jabatan wakapolres sudah digantikan oleh Kompol Sinar Syamsu,” tandasnya.
Diny sebelumnya mengunggah rekaman telepon ayahnya dengan A. Unggahan itu disertai surat terbuka kepada Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia agar menindak kadernya tersebut.
Sebelum itu
Aliansi Front Solidaritas Anti Kekerasan menggelar aksi di depan Mapolda Maluku Utara, Senin (3/3). Dalam aksi tersebut, massa mendesak Kapolda Irjen Pol Midi Siswoko mencopot Wakapolres Kompol S atas dugaan kasus perselingkuhan.
Kasus dugaan perselingkuhan Wakapolres dengan oknum anggota DPRD ini mencuat ke publik setelah anak Wakapolres, Diny mengungkapkan informasi tersebut di media sosial. Namun, A melaporkan Diny atas dugaan pencemaran nama baik.
Koordinator aksi, Rian menyampaikan laporan A terhadap Diny terkait pencemaran nama baik harus dilihat dengan kacamata yang lebih kritis, apakah yang disampaikan Diny adalah fakta.
Lebih lanjut, kata dia, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebut pencemaran nama baik terjadi jika seseorang menyebarkan informasi bohong yang merugikan pihak lain. Namun, jika informasi tersebut adalah fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya, maka itu bukan pencemaran nama baik.
Kemudian, pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat digunakan untuk membungkam fakta yang sebenarnya terjadi. Kritik berbasis data dan kebenaran adalah hak setiap warga negara dalam demokrasi. Karena itu, pelaporan A terhadap Diny harus diuji lebih lanjut.
“Apabila kita sedang menghadapi ancaman terhadap kebebasan berbicara, kebenaran tidak bisa dikriminalisasi. Jika sebuah informasi benar dan berdasarkan bukti, maka itu bukan fitnah atau pencemaran nama baik. Itu adalah kenyataan yang harus diterima. Jangan biarkan kebenaran dikaburkan oleh laporan sepihak. Perjuangkan fakta, lawan ketidakadilan,” tegas Rian.
Ia menegaskan, kasus dugaan perselingkuhan ini bukan sekadar isu pribadi, melainkan peristiwa yang menimbulkan luka mendalam bagi keluarga korban. Diny yang menjadi korban dalam peristiwa ini, kini mengalami tekanan mental yang luar biasa, hingga harus menjalani perawatan psikiatri setiap minggu.
“Ibunya justru mendapat ancaman dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Bukannya mendapatkan perlindungan dan keadilan, malah dapat ancaman,” ujarnya.
Lebih lanjut, kasus ini mencerminkan ketimpangan dalam sistem hukum dan sosial. Sebab itu, Rian mempertanyakan bagaimana mungkin seorang anak yang memperjuangkan keadilan bagi ibunya justru diintimidasi.
“Bagaimana bisa seorang pejabat tinggi dalam kepolisian yang seharusnya menjadi teladan, justru diduga terlibat dalam skandal yang menghancurkan kehidupan orang lain,” ucapnya.
Ia menambahkan, ini bukan sekadar kasus perselingkuhan, melainkan potret ketidakadilan yang nyata. Jika hukum berpihak kepada yang kuat dan mengabaikan suara korban, maka siapapun pasti tidak akan merasa aman.
“Apakah kita akan membiarkan penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi tanpa konsekuensi. Masyarakat harus bersatu, menolak segala bentuk ketidakadilan, dan mendesak transparansi dalam penyelidikan kasus ini. Jangan biarkan korban terus menderita sementara pelaku melenggang bebas,” tegasnya.
Pihaknya menilai, kasus dugaan perselingkuhan ini bukan hanya persoalan moral pribadi, tapi juga mengungkap kemunafikan di balik kebijakan yang seharusnya membela hak-hak perempuan dan anak.
Sebagai Komisi II DPRD yang memiliki program pembangunan dan pemerataan bagi perempuan dan anak, seharusnya A menjadi teladan dalam menjaga nilai-nilai moral dan etika. Namun kalau dugaan ini benar, maka yang ia suarakan hanyalah omong kosong belaka.
“Bagaimana mungkin seseorang yang diduga merusak rumah tangga orang lain bisa berbicara soal hak perempuan. Bagaimana mungkin seorang yang menjadi sumber penderitaan bagi seorang perempuan hingga harus menjalani perawatan psikiatri setiap minggu bisa bicara soal kesejahteraan perempuan dan anak,” cecarnya.
“Jangan biarkan rakyat dibodohi oleh citra palsu jika seorang pejabat publik tidak bisa menjaga integritas moralnya. Bagaimana mungkin kita percaya mereka akan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Kasus ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat dan pemerintahan jika tidak ditangani dengan transparan dan adil. Oleh karena itu, pemeriksaan yang dilakukan oleh Propam Polda Maluku Utara dan Ditkrimsus dalam menangani laporan Diny dan ibunya harus transparan dalam penanganannya,” pungkas dia. (udi/tan)