(Pendekatan Reflektif-Kritis Berbasis Pemikiran Karl Marx)
Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum PK IMM Faperta UMMU
____________________
“Musyawarah bukan sekadar agenda rutin organisasi. Ia adalah cermin jiwa gerakan, tempat di mana idealisme diuji oleh realitas, dan nilai-nilai diperhadapkan langsung pada dinamika kekuasaan. Di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), musyawarah semestinya menjadi titik temu antara nalar intelektual dan semangat dakwah. Namun, belakangan ini, forum itu justru sering berubah menjadi panggung tarik-menarik kepentingan, memperlihatkan jurang yang makin lebar antara ruh kaderisasi dan praktik kekuasaan struktural. Lantas, bagaimana kita menyikapi perubahan ini? Apakah musyawarah masih menjadi ruang mendidik, atau telah menjelma menjadi arena dominasi yang memperlemah kesadaran ideologis kader”?
Sudah di depan mata, musyawarah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang ke- XVII Kota Ternate akan digelar tahun ini, 2025. Namun, saya terus dihantui oleh pertanyaan yang tak kunjung reda: apakah musyawarah hanya kegiatan seremonial? Pertanyaan utama dalam benak saya adalah: “Apakah musyawarah hari ini hanya menjadi ruang pertemuan gagasan, atau justru sekadar ajang perebutan jabatan”? Tulisan ini saya susun dengan pendekatan reflektif-kritis berbasis pemikiran Karl Marx.
Sejak IMM didirikan pada 14 Maret 1964, organisasi ini tidak hanya hadir sebagai wadah mahasiswa Islam. Ia membawa misi ganda: dakwah dan intelektualisme. Musyawarah dalam sejarah IMM bukan forum administratif semata, tetapi menjadi ruang perdebatan ide dan arah gerakan. Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa fungsi musyawarah mengalami degradasi menjadi kegiatan struktural-formal. Perubahan ini mencerminkan pergeseran relasi kuasa dalam tubuh organisasi, yang bisa kita kaji dengan pisau analisis pemikiran Marx.
Sejarah dan Idealisme Awal Musyawarah sebagai Arena Intelektual
Pada era 70-80an, musyawarah IMM dikenal sebagai ruang diskusi serius. Forum-forum tersebut diisi perdebatan seputar sosialisme Islam, kritik terhadap kapitalisme, dan bahkan otokritik terhadap Muhammadiyah. Para kader bukan hanya menyusun laporan pertanggungjawaban, tapi juga menawarkan gagasan perubahan dan strategi gerakan.
Saat itu, kader IMM menyatu dengan semangat keilmuan dan perjuangan kelas intelektual. Mereka tak melihat diri sebagai birokrat mini, melainkan agen perubahan. Ini sejalan dengan pemikiran Marx mengenai pentingnya kesadaran kelas (class consciousness) sebagai pendorong perubahan struktural. IMM memiliki kesadaran kolektif bahwa kadernya merupakan bagian dari kelas tercerahkan, yang memikul tanggung jawab untuk membebaskan umat dari ketertindasan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Perubahan Struktur dari Dialektika ke Dominasi Relasi Kuasa
Pasca-reformasi, wajah musyawarah IMM mulai bergeser. Demokratisasi memang membuka ruang seleksi yang lebih terbuka, namun bersamaan dengan itu hadir pula praktik pragmatisme dan politik transaksional. Musyawarah mulai menyerupai miniatur pemilu: ada kandidat, tim sukses, dukungan senior, dan diplomasi suara. Forum dipenuhi agenda teknis, bukan gagasan.
Dalam sudut pandang Marx, kondisi ini bisa disebut sebagai bentuk alienasi politik. Kader, yang seharusnya menjadi subjek perubahan, justru terasing dari nilai-nilai perjuangan karena forum musyawarah direduksi menjadi ajang perebutan posisi. Organisasi tidak lagi menjadi alat transformasi, tetapi alat reproduksi kekuasaan. Mereka yang menguasai “alat-alat pengaruh” seperti jaringan, senioritas, dan popularitas lebih mudah mendominasi forum, menggantikan logika ideologis dengan logika kapital politik.
Idealisme Kader Terdesak oleh Realitas Organisasi
Banyak kader baru yang semangatnya masih murni baru selesai Darul Arqam Dasar—masuk dalam forum musyawarah dengan harapan membawa gagasan. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa forum tersebut lebih diwarnai oleh intrik, manuver politik, dan elitisme struktural. Kader yang membawa gagasan sering kali kalah dengan mereka yang kuat secara jejaring.
IMM mengalami kontradiksi internal: di satu sisi membawa ideologi perubahan, tapi praktik internalnya justru mempertahankan status quo kekuasaan. Akibatnya, kader-kader progresif merasa kecewa dan kehilangan arah. Banyak yang akhirnya apatis, atau bahkan meninggalkan IMM karena merasa tak memiliki ruang untuk menyuarakan ide.
Sintesis Membangun Ruang Ideologis di Tengah Realitas Struktural
Saya meyakini bahwa solusi bukanlah menolak struktur, melainkan mereformulasikan cara kita memaknai musyawarah. Kita butuh pendekatan dialektis yang memadukan idealisme dan realitas secara kreatif.
Berikut beberapa langkah yang penulis coba rekomendasikan, atau masukan untuk kita sekalian IMM Kota Ternate:
1. Reformasi Format Musyawarah
Alokasikan ruang substansi lebih besar. Hidupkan forum pra-musyawarah berupa seminar, debat calon ketua, atau diskusi terbuka mengenai strategi gerakan.
2. Perluasan Akses Ideologis
Setiap komisariat tidak hanya menyampaikan LPJ, tapi juga menyertakan hasil riset sosial sebagai bagian dari laporan. Ini akan menunjukkan relevansi IMM terhadap persoalan umat dan bangsa.
3. Kaderisasi Berbasis Gagasan
Pemilihan pemimpin harus didasarkan pada nilai dan integritas. IMM adalah organisasi kader, bukan organisasi massa. Yang dibutuhkan bukan hanya popularitas, tapi kualitas gagasan dan kepekaan sosial.
4. Kejujuran dalam pemilihan. Kejujuran seringkali seperti mengangkat besi berat dan tidak ada yang mengaku jika dirinya bersalah atas perbutan dirinya sendiri, organisasi yang berbasis keislaman harus mencontohkan hal baik dalam bertidak sesuai dengan kebenaran.
Musyawarah sebagai Alat Emansipasi
IMM berada pada persimpangan sejarah. Warisan intelektualnya besar, tetapi tantangan pragmatisme dan kekeringan nilai juga nyata. Musyawarah harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai ruang pendidikan ideologis, bukan sekadar pemilihan struktural.
Seperti yang diyakini Marx, struktur sosial harus dikritisi dan ditransformasikan demi terciptanya keadilan dan emansipasi. Maka, musyawarah yang kehilangan semangat perjuangan hanya akan melahirkan pemimpin yang sibuk mengelola, bukan menggerakkan.
IMM tidak bisa hidup dari nostalgia semata. Ia harus bangkit sebagai kekuatan moral-intelektual yang relevan dan transformatif. Dan itu hanya mungkin jika kita berani mengembalikan musyawarah kepada ruh ideologisnya: membentuk kader yang berpikir kritis, bertindak strategis, dan mencintai gerakan ini dengan kesadaran penuh. (*)