Oleh: M Sofyan Z Selang
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP UMMU
__________________________
“Gondrong, lebih dari sekadar rambut panjang, tapi juga tentang kebebasan dan membangun kepercayaan diri”.
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi waktu masih menjadi mahasiswa yang berambut gondrong. Beberapa bulan lalu, ada dosen senior di kampus memanggil dan memberikan perintah untuk memotong rambut gondrong yang sudah saya rawat dan jaga dalam setahun ini, ia menganggap mahasiswa yang gondrong tidak mencerminkan “seorang pelajar”. Katanya, jika saya tidak memotong rambut, tidak diperbolehkan masuk di mata kuliah yang dia ajarkan.
Saya jadi bingung bagaimana seorang dosen membandingkan rambut gondrong, dengan mengatakan tidak mencerminkan seorang pelajar. Saya terdiam dan memikirkan bagaimana konsep seorang pelajar yang sebenarnya? Bukankah koruptor yang jelas-jelas tidak mencerminkan “seorang pelajar” justru tampil rapi dan klimis bahkan lebih rapi dari penampilan dosen sekalipun.
Namun, jika ditilik secara historis, larangan rambut gondrong sudah ada sejak masa Orde Baru, Pangkopkamtib Jenderal Sumitro telah berkata, bahwa rambut gondrong membuat pemuda cuek, acuh tak acuh. Alhasil, sebagai pelaksanaan petuah dari petinggi militer, gerakan anti-gondrong pun mulai dikampanyekan di segala lini kehidupan.
Keseriusan pemerintah bahkan sampai membentuk sebuah badan hanya mengurusi permasalahan rambut. Badan ini diberi nama Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong atau disingkat (BAKOPERAGON). Setelah badan ini dibentuk, pemerintah mulai merazia rambut gondrong dari jalan raya, kampus dan tempat-tempat umum lainnya, bahkan para aktor yang memiliki rambut gondrong pun dilarang masuk di acara TVRI.
Akibatnya mahasiswa merasa kesal dan tidak berdiam diri saat razia ini masuk ke dalam kampus. Puncaknya, terjadi di Insitut Teknologi Bandung, di mana saat razia berlangsung, mahasiswa ricuh dan memprotes keras tindakan aparat. Akibatnya terjadi pertumpahan darah di ITB. Salah satu mahasiswa atas nama Rene Louis Coenraad di tanggal 6 Oktober 1970. Dampak peristiwa ini tidak main-main karena mulai memecah kebisuan mahasiswa dan mereka semakin berani melawan. Aksi perlawanan ini terus berlanjut dan mulai membentuk gerakan-gerakan mahasiswa di tahun-tahun berikutnya.
Kebijakan pelarangan rambut gondrong mulai mencuat pada awal 1970-an, di mana rambut gondrong diidentifikasi sebagai simbol anak muda yang “nakal” dan “tidak patuh”. Rambut gondrong bahkan digambarkan media sebagai ancaman terhadap ketertiban umum, bahkan kedaulatan negara. Pemerintah kala itu, yang paranoid akan pengaruh budaya Barat, mulai melancarkan kampanye besar-besaran untuk memberantas rambut gondrong, menjadikannya musuh publik nomor satu di antara anak muda.
Pelarangan rambut gondrong bukan sekadar perang melawan gaya hidup, melainkan alat politik untuk mengontrol anak muda. Anak muda yang dianggap terlalu bebas, terlalu kreatif, dan terlalu kritis menjadi ancaman bagi stabilitas rezim Orde Baru. Rambut gondrong menjadi simbol perlawanan budaya, yang diterjemahkan oleh pemerintah sebagai potensi subversi. Pemerintah takut anak muda yang independen ini akan bersatu menjadi kekuatan yang sulit dikendalikan.
Walaupun dapat dikatakan bahwa rambut gondrong sangat dipengaruhi oleh gerakan hippies dan perkembangan musik rock saat itu, namun kita juga harus melihat faktor ekonomi dan korupsi sangat berpengaruh besar dalam memicu keresahan mahasiswa saat itu. Boleh dikatakan, bahwa “pilihan rambut gondrong telah menandai perpisahan antara gerakan mahasiswa dan Orde Baru/militer.
Hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan Soeharto, begitulah ketika gondrong menjadi simbol perlawanan.
Namun, hingga saat ini warisan rezim Orde Baru tentang larangan berambut gondrong masih ada dan tumbuh subur di beberapa instansi pendidikan baik SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi sekalipun. Apa salah jika mahasiswa lebih percaya diri di saat mereka berambut gondrong? Padahal rambut tidak pernah menjadi penghambat pemahaman saat perkuliahan, bahkan lebih banyak mahasiswa gondrong yang mempunyai pemikiran dan gagasan yang kritis.
Demikianlah tulisan ini atas keresahan yang dialami oleh (penulis) saat mendapatkan perintah untuk mencukur rambut gondrong-nya, dengan alasan tidak mencerminkan seorang pelajar. Padahal menurut penulis, gondrong, lebih dari sekadar rambut panjang, tapi juga melambangkan tentang kebebasan dan membangun kepercayaan diri. (*)