Opini  

Hari Buruh untuk Siapa?

Oleh: Riyanto Basahona 

___________________________

HARI Buruh diperingati setiap 1 Mei sebagai simbol perjuangan kelas pekerja. Namun ironisnya, pada hari yang seharusnya menjadi momentum penghormatan tertinggi kepada buruh, justru mereka yang diliburkan bukan para buruh itu sendiri, melainkan para Pegawai Negeri Sipil dan pekerja kantoran. Sementara buruh pabrik, buruh harian, ojek daring, pedagang pasar, dan pekerja informal lainnya tetap bekerja seperti hari biasa. Pertanyaannya: untuk siapa sebenarnya Hari Buruh ini?

Inilah potret ketimpangan yang membentang lebar di sistem negara kita. Hari Buruh yang mestinya menjadi ruang refleksi dan penghargaan terhadap kerja keras jutaan buruh, justru menjadi hari libur nyaman bagi mereka yang tak berada dalam posisi paling tertekan dalam struktur ekonomi. Negara tampak gagap membedakan antara makna simbolik dan substansi keadilan.

Negara selalu mengklaim “berpihak pada buruh”, tapi fakta di lapangan berkata sebaliknya. Sistem pengupahan masih timpang, perlindungan hukum terhadap buruh lemah, dan kebijakan ketenagakerjaan seringkali lebih menguntungkan pengusaha. UU Cipta Kerja misalnya, menjadi bukti bagaimana regulasi dibuat bukan untuk mengangkat martabat buruh, tetapi justru memperpanjang penderitaan mereka melalui sistem kerja kontrak, outsourcing, dan upah murah.

Belum lagi soal jaminan sosial yang tidak menjangkau semua lapisan. Jutaan buruh informal tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, tidak memiliki perlindungan saat kecelakaan kerja, dan tidak mendapatkan tunjangan hari tua. Mereka tetap bekerja di Hari Buruh karena jika tidak bekerja, tidak makan. Sistem negara telah menciptakan realitas yang begitu brutal: buruh dipaksa memilih antara idealisme dan perut kosong.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya kehadiran negara di titik-titik kerja riil. Buruh-buruh di sektor informal hampir tak pernah disentuh regulasi yang adil. Sementara itu, sektor formal pun tak lepas dari eksploitasi terselubung: target kerja yang mencekik, jam lembur yang tak dibayar layak, dan pemutusan hubungan kerja yang bisa terjadi kapan saja tanpa perlawanan.

Lebih menyakitkan lagi, saat para buruh turun ke jalan untuk menyuarakan haknya, mereka justru dicurigai, diawasi, bahkan dihadang aparat. Padahal, demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara. Tapi mengapa suara buruh selalu dianggap ancaman? Apakah negara hanya akan mendengar jika yang berbicara adalah pemilik modal dan elite birokrasi?

Kita hidup dalam sistem yang memuja pertumbuhan ekonomi tetapi menindas tenaga penggeraknya. Pemerintah bangga dengan angka investasi, pembangunan, dan ekspor, tapi menutup mata pada fakta bahwa semua itu dibangun di atas keringat buruh yang tak pernah benar-benar dihargai. Negara menikmati hasil kerja buruh, tapi enggan hadir saat mereka menuntut hak dasar.

Hari Buruh seharusnya bukan hari libur, tapi hari kesadaran kolektif: bahwa negara ini dibangun oleh kerja, bukan oleh kekuasaan. Kita harus berhenti memperingatinya sebagai formalitas. Saat para buruh masih harus bekerja di hari perjuangan mereka sendiri, maka jelas: ada yang salah dengan sistem kita.

Sudah saatnya negara mengubah cara pandangnya terhadap buruh. Berikan hak cuti di Hari Buruh untuk semua lapisan pekerja. Dengarkan aspirasi mereka, bukan hanya suara elite pengusaha. Keadilan sosial bukan hanya slogan dalam pembukaan UUD 1945, tapi janji yang harus ditepati.

Karena selama Hari Buruh hanya dinikmati oleh mereka yang tak pernah merasa jadi buruh, maka perjuangan belum usai. Bahkan bisa jadi, baru saja dimulai. (*)

Exit mobile version