Oleh: El Dinoh
_________________
“Di tengah lajunya ilmu dan pengetahuan universitas kini menjadi sebuah kuburan massal, perdebatan ide kritis dan membaca buku kini menjadi sirna dan ditelan zaman.”
Dalam menghadapi gelombang arus zaman dan lajunya perkembangan teknologi dan sains yang mengantarkan manusia pada hukum ketergantung dalam hal apapun. Hal ini bisa dilihat dari setiap aktivitas manusia bahwa pengaruh teknologi itu sangat kuat. Banyak manusia yang sering memberikan kabar kepada orang yang jauh tapi pada akhirnya orang yang dekat merasa jauh atau dia mengalami keterasingan.
Ternyata persoalan ini juga berimbas sampai ke dalam universitas dan ini berlaku di seluruh universitas di Indonesia, padahal kita bisa belajar dari sejarah dunia bahwa universitas adalah mercusuar kelahiran gerakan pemberontakan besar-besaran, ini dicerminkan dan bisa dipelajari dari buku bertajuk PEMBERONTAKAN MAHASISWA REVOLUSI PRANCIS, MEI 1968 di mana kaum intelektual yang ada di kampus keluar ke jalan bersama rakyat untuk meruntuhkan rezim yang tidak berpihak terhadap rakyat Prancis. Misalnya mahasiswa di Universitas Paris Nanterre, yang melakukan perlawan terhadap kekuasaan dan konteks di Prancis itu berlaku di seluruh dunia. Kita juga bisa melacak kelahiran gerakan besar di Argentina yang dipandu oleh mahasiswa Argentina yang berada di Univeristas Cordoba, yang mana mereka merespons soal intervensi gereja atau Paulus. Dalam dunia universitas, kita bisa belajar dari semua itu bahwa gerakan mahasiswa itu memiliki peran yang kuat. Di Indonesia sendiri kita juga bisa belajar bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia juga memiliki sejarah gerakan yang cukup menarik untuk dipelajari. Setelah patanya dominasi VOC 1800 yang datang ke nusantara di bawah pimpinan Jan P. Coen yang diutus langsung oleh ratu Belanda kala itu yakni Ratu Wehelmina yang kala itu mendominasi seluruh sektor kehidupan manusia nusantara kala itu. Tirto Adisuryo adalah salah satu jebolan sekolah Stovia yakni sekolah kedokteran yang berdiri di bawah fase Belanda menguasai nusantara dan pada akhirnya Tirto mendirikan serikat priyayi dalam rangka merespons penindasan yang dialami masyarakat nusantara kala itu.
Ketika kita terbebas dari belenggu penindasan dan kita merdeka, ternyata tidak menurunkan api perlawanan mahasiswa di fase itu. Ketika Soekarno dan Hatta menahkodai Indonesia, banyak aksi protes yang dilakukan, salah satu aksi yang paling ikonik adalah ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin yang itu memicu gelombang perlawanan yang cukup dahsyat dan pada akhirnya Soekarno digulingkan oleh mahasiswa Soe Hok Gie menjadi saksi penggulingan itu.
Fase yang paling ganas yang pernah dilalui gerakan mahasiswa di Indonesia ketika Soeharto memimpin negara, di mana pemberhangusan gerakan besar-besaran terjadi, banyak mahasiswa yang tiarap akibat lajunya interfensi militer di dalam universitas, tapi itu bukan menjadi satu hal yang tidak bisa diubah. 1978 sampai 1997 merupakan racikan gerakan baru yang dikembangkan menggunakan teori Marx. Hal yang paling diingat adalah ketika rezim Soeharto menerapkan NKK dan BKK, kemudian diperketat lagi lewat Mendikbud oleh Nugroho Notosusanto, yang memperkuat tali pinggang kekuasaan untuk menciptkan ketakutan dan mempretel ide-ide kritis dari mahasiswa. 1998 merupakan puncak kemarahan gerakan mahasiswa, di mana mahasiswa mulai berani keluar dari universitas dan melakukan konsoldasi besar-besaran dalam rangka menggulingkan rezim militerstik. Dari sini kita bisa memahami bahwa universitas adalah dapur pertarungan intelektual yang kritis.
Namun semua itu berbeda dengan hari sekarang, di mana universitas sendiri kini menjadi seperti kuburan umum. Perdebatan tentang teori dan ide-ide maju kini seperti sirna ditelan zaman, maka Ernesmandel menggambarkan bahwa keterasingan kini menjadi momok yang menakutkan dikarenakan keterasingan itu pula terjadi di dalam universitas yang mana banyak mahasiswanya hanya berhura-hura dan hanya mengandalkan vesensio atau kampus hanya menjadi ajang percantikan diri dan mempergaga diri. Hal ini telah terjadi di beberapa universitas di Maluku Utara yang itu bisa diukur bahwa kebanyakan tidak lagi berdebat tentang teori-teori maju seperti Lenin, Marx, Ernesto Che Guevara, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak tokoh-tokoh lainnya. D.N. Aidit jadikan universitas tempat mendidik kader-kader sarjana revolusioner. Kutipan Aidit ini menjelaskan kepada kita bagaimana peran sebenarnya universitas, tetapi terkadang semua betolak dari keyataan bahwa universitas bukan lagi merangsang isi pikiran mahasiswanya, akan tetapi universitas kini menjadi terasing dari dunia intelektual yang kritis tapi menjadi ladang bisnis dan menciptakan tenaga murah. (*)