Oleh: Rahmat Abd Fatah
Dosen Sosiologi Politik dan Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
_______________________________
KETIKA saya membaca tulisan Bapak Jainul Yusuf di laman facebook-nya, berjudul “Pentingkah Pemekaran Kota Sofifi”, saya merasa seolah Bapak Jainul menyalakan satu obor kecil di tengah kabut. Pertanyaannya sederhana, tapi punya daya ledak; Apakah Sofifi perlu dimekarkan? Namun bagi saya, soal pokoknya bukan hanya itu. Yang juga sangat penting adalah Apa sebenarnya yang ingin “Torang” jadikan dari Sofifi.
Karena sejatinya, Sofifi bukan cuma soal status administratif. Tetapi tentang bagaimana “torang” membayangkan masa depan Maluku Utara. Soal pemekaran Sofifi, dia hanya butuh kemauan dan ketegasan pusat “kok”. Jika di antara elit lokal masih tarik-menarik. “Torang” percayalah Ibu Gub dan Pak Kiyai Wagub bisa “mainkan” itu.
Terlepas dari itu, saya berimajinasi bahwa Sofifi perlu didesain ulang. Bukan sekadar kota birokrasi, tetapi sebagai Kota Maritim Berperadaban—yang memadukan teknologi, spiritualitas, ekologi, dan keadilan sosial dalam satu harmoni urban.
Sofifi hari ini adalah kota yang orang sebut-sebut, tetapi belum sepenuhnya hidup. Punya pelabuhan, jalan, gedung-gedung kantor OPD, tetapi “Ruh” kotanya belum terasa. Belum ada ruang kolektif yang menyatukan rakyat dan negara. Kota ini seakan hanya “Bagara” kalau ada agenda birokrasi, lalu kembali sepi begitu jam kerja berakhir. Mengutip Edward Glaeser dalam Triumph of the City, kota bukan sekadar bangunan dan infrastruktur, melainkan peradaban yang terakumulasi dalam ruang. Jika demikian, maka Sofifi belum selesai dibangun—karena peradabannya belum hadir.
Saya mengusulkan, mari “torang” desain ulang Sofifi sebagai Kota Maritim Berperadaban. Bukan karena dia berada di tepi laut semata, tetapi karena DNA Maluku Utara memang maritim. Torang berasal dari sejarah laut. Dari Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Makian, Kayoa, Tobelo, Galela, Loloda, Gane dan lainnya, telah berabad lamanya menjadi simpul diplomasi rempah dan dakwah Islam Timur Nusantara. Kota maritim bukan berarti pelabuhan industri besar. Dia adalah kota yang menyatu dengan laut secara nilai dan fungsi, sebagai ruang hidup, ruang ibadah, ruang ekonomi, dan ruang budaya.
Dalam desain ini, saya membayangkan Sofifi dengan empat pilar utama pengembangan.
Pertama, Pemerintahan Modern dan Digital. Torang butuh kawasan pemerintahan yang terintegrasi, efisien, dan sepenuhnya digital. Semua OPD, kantor DPRD, dan lembaga vertikal harus dipusatkan di satu zona: Sofifi Government Hub. Pelayanan publik harus berbasis e–Government, terhubung dalam sistem pelayanan terpadu, dan didukung oleh perumahan ASN, sekolah negeri unggulan, serta fasilitas kesehatan berbasis digital.
Kedua, Kota Islami Progresif. Nilai Islam yang melandasi kota ini haruslah Islam yang rahmatan lil ‘alamin—progresif, inklusif, dan dialogis. Saya membayangkan hadirnya Masjid Raya Peradaban, bukan sekadar sebagai tempat salat, tapi pusat studi Islam maritim, ruang literasi Al-Qur’an digital, hingga pusat kajian keislaman yang merangkul semua.
Ketiga, Kota Hijau dan Ramah Lingkungan. Sofifi mesti menjawab tantangan perubahan iklim dengan desain ekologi sosial. Harus ada sabuk hijau, taman mangrove, transportasi rendah emisi seperti kendaraan listrik dan jalur sepeda. Bahkan, perlu diterapkan Bank Sampah Digital dan kampung percontohan Zero Waste Community. “Torang tara bisa” membangun kota masa depan dengan paradigma konsumsi masa lalu.
Keempat, Kota Inovasi Maritim dan Kreatif. Sofifi mesti menjadi pusat ide, bukan hanya pusat administrasi. Torang bisa membangun inkubator UMKM pesisir, riset perikanan budidaya, politeknik teknologi biru, serta ruang kreatif pemuda untuk mengubah aplikasi, riset maritim, hingga teknologi pesisir.
Untuk menopang pilar-pilar ini, saya menganggap perlu ada zonasi dan tata ruang yang fungsional dan berkarakter. Saya usulkan lima zona utama:
(1) Zona Pemerintahan Terpadu
(2) Zona Pendidikan dan Budaya Islam di tengah kota,
(3) Zona Permukiman ASN dan Masyarakat yang inklusif dan terjangkau,
(4) Zona Hijau dan Ekowisata Pesisir,
dan (5) Zona Ekonomi Digital dan Kreatif untuk UMKM, pasar rakyat modern, dan coworking space.
Tapi membangun Sofifi bukan semata soal infrastruktur. Torang butuh strategi komunikasi publik dan dukungan sosial yang kuat. Caranya; Pertama, perlu ada narasi kota yang kuat. Seperti kampanye “Sofifi Kota Peradaban Laut” terus digaungkan. Branding visual, ikon budaya, dan festival tahunan bisa memperkuat identitas kota.
Kedua, libatkan komunitas. Ajak pemuda, perempuan pesisir, pelaku seni, masyarakat adat, dan akademisi untuk ikut mendesain kota ini. Kita bisa adakan forum tahunan Sofifi sebagai ruang bersama untuk mengevaluasi dan menguatkan kembali kota.
Ketiga, bangun sister city dengan kota-kota maritim Asia Tenggara seperti Kota Kinabalu, Makassar, dan Cirebon untuk pertukaran ide, SDM, dan investasi.
Sofifi “Tara harus” menjadi kota besar dalam ukuran luas. Tapi Dia harus menjadi kota dalam arti sebenarnya, yaitu kota yang menjadi rumah gagasan, ruang pertemuan nilai, dan simpul solidaritas rakyat. Seperti Henri Lefebvre, bilang “ruang kota itu ialah ruang sosial, dia bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat mengukir sejarah.”
Dengan demikian “Torang tara boleh kase biar” Sofifi dibangun tanpa visi. Kota ini bukan sekadar lokasi birokrasi. Dia harus menjadi tempat, lahirnya cita dan cinta pada Maluku Utara. Sebuah kota maritim, kota spiritual, kota digital, kota beradab.
Saya selalu meyakini bahwa “sesungguhnya kota yang baik itu bukan yang punya gedung tertinggi, tetapi yang paling mampu menjunjung martabat manusia”. Hingga Sofifi sebagai Kota Peradaban Kepulauan yang Maju, Religius, Inklusif, dan Berkelanjutan. Dapat mewujud nyata. (*)