Oleh: M Alfikri Usman
Kader HMI Komisariat FISIP UMMU
__________________________
INDUSTRI pertambangan merupakan salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Aktivitasnya menjanjikan pemasukan besar, baik bagi negara, provinsi dan masyarakat di wilayah lingkar tambang. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2023 tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara yaitu 20,49% year on year (yoy). Hal ini sudah menjadi rahasia umum pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara disebabkan oleh industri pertambangan. Namun, di balik kemajuan ekonomi yang meningkat, terdapat perubahan sosial yang perlahan tapi pasti menggeser nilai-nilai dasar masyarakat, salah satunya dalam hal pandangan terhadap pendidikan.
Secara nasional, pendidikan diakui sebagai hak dasar dan instrumen pembangunan bangsa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dalam konteks pembangunan daerah, pendidikan juga menjadi tolak ukur keberhasilan suatu wilayah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Sayangnya, di tengah pesatnya aktivitas pertambangan, semangat ini kerap terabaikan.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pernah berkata, “Pendidikan adalah usaha sungguh-sungguh untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan tubuh anak, agar kehidupannya selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Maka pendidikan bukan hanya tentang ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan daya saing generasi muda. Ketika pendidikan mulai dikesampingkan demi keuntungan ekonomi jangka pendek, maka yang terancam bukan hanya masa depan individu, tetapi juga keberlanjutan masyarakat secara keseluruhan.
Lebih jauh lagi, filsuf Yunani Plato, dalam karyanya Republic (terjemahan Allan Bloom, 1968), berpendapat bahwa pendidikan adalah “the art of orientation”, yakni seni mengarahkan jiwa manusia keluar dari dunia kebodohan menuju cahaya pengetahuan. Dalam konteks Desa Tauro, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, keputusan meninggalkan pendidikan demi pekerjaan tambang justru menjauhkan masyarakat dari orientasi masa depan yang berkelanjutan.
Sosiolog Prancis Émile Durkheim, dalam bukunya “Education and Sociology” (1956), menyatakan bahwa pendidikan adalah “alat sosialisasi yang mentransmisikan norma, nilai, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Maka ketika pendidikan ditinggalkan, masyarakat kehilangan mekanisme penting untuk menjaga warisan budaya, moral, dan identitasnya.
Dalam konteks Indonesia moderen, Anies Baswedan, dalam bukunya “Mata Air Indonesia” (2010), mengingatkan bahwa “Pendidikan adalah kunci utama bagi perubahan sosial. Tanpa pendidikan, perubahan hanya akan bersifat sementara dan dangkal”. Hal ini relevan dengan realita yang dihadapi masyarakat sekitar tambang: perubahan ekonomi memang terjadi, tapi tanpa dukungan pendidikan, keberlanjutannya rapuh.
Fenomena ini kini terlihat jelas di Desa Tauro, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami transformasi besar akibat kehadiran industri pertambangan. Desa yang dulunya dikenal dengan mata pencaharian berbasis pertanian dan kelautan, kini berubah menjadi desa yang menghasilkan buruh tambang. Masuknya perusahaan tambang di Maluku Utara dengan janji pembangun dan kesejahteraan telah mempengaruhi pola pikir masyarakat, terutama generasi mudanya.
Banyak pemuda Desa Tauro yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi demi bekerja di tambang. Penghasilan jutaan rupiah per bulan menjadi daya tarik kuat, membuat mereka berpikir bahwa pendidikan tinggi bukan lagi satu-satunya jalan menuju masa depan cerah. Orang tua pun cenderung mendukung keputusan ini karena melihat hasilnya secara nyata. Akibatnya, semangat belajar menurun, angka putus sekolah meningkat, dan lembaga pendidikan setempat mulai kehilangan fungsinya.
Yang lebih mengkhawatirkan, masyarakat menjadi tergantung pada industri tambang secara ekonomi dan lupa bahwa sumber daya alam tidaklah abadi. Jika eksploitasi tambang selesai dalam 10 atau 20 tahun ke depan, tanpa pendidikan yang cukup, masyarakat akan kehilangan kemampuan untuk beradaptasi dan bersaing di sektor lain. Desa yang sekarang tampak “hidup” bisa saja menjadi wilayah yang terabaikan di masa depan.
Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Jika masyarakat lebih mementingkan pekerjaan tambang tanpa memikirkan keberlanjutan pendidikan, maka cita-cita untuk membangun masyarakat cerdas dan berdaya saing sulit tercapai.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mulai membangun kembali kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan di tengah euforia ekonomi dari industri tambang. Pemerintah daerah bersama pihak sekolah dan tokoh masyarakat di Desa Tauro harus aktif menciptakan program yang relevan—seperti beasiswa pendidikan, pelatihan keterampilan berbasis teknologi, serta kampanye sadar pendidikan.
Dalam pandangan penulis, perubahan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Justru ini menjadi refleksi dari kurangnya intervensi edukatif dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan bahkan perusahaan tambang itu sendiri. Perubahan sosial ini perlu dijawab dengan solusi jangka panjang yang mengutamakan keberlangsungan pendidikan.
Karena perubahan pola pikir bukan hal mudah, tapi bukan pula mustahil. Yang diperlukan adalah sinergi, keteladanan, dan keberanian untuk melawan arus pragmatisme sesaat. Desa Tauro masih memiliki harapan besar jika masyarakatnya kembali menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama, bukan pilihan cadangan. Membangun ekonomi lewat pertambangan itu penting, tapi membangun manusia jauh lebih penting. Sebagaimana kata filsuf Jerman Immanuel Kant dalam bukunya “On Education” (1803):
“Man is the only being who needs education.” (Manusia adalah satu-satunya makhluk yang membutuhkan pendidikan).
Tanpa pendidikan masyarakat akan selamanya menjadi penonton dari kemajuan, bukan pelaku utama. Maka sudah saatnya kita tidak hanya menggali hasil bumi, tapi juga menggali potensi manusia. (*)