Opini  

Ketergantungan Pelajar terhadap AI: Kemudahan yang Menghambat Berpikir

Oleh: Jiatri Buamona
Anggota Sahabat_Nulis

____________________

HARI ini, teknologi bukan lagi sekadar alat bantu. Ia telah menjadi “otak kedua” bagi banyak pelajar. Kecerdasan buatan (AI) muncul bak dewa penolong: dari merangkum bacaan, menjawab soal sulit, menyusun esai, hingga membuat pertanyaan untuk diskusi. Hanya dengan satu klik, semua tampak beres. Namun di balik semua kemudahan itu, ada sesuatu yang perlahan-lahan hilang: kemauan untuk berpikir.

Dari kacamata sosial, penulis menyaksikan sendiri bagaimana AI telah menjadi tongkat yang diandalkan banyak mahasiswa dan pelajar di sekitar penulis. Bukan untuk belajar, tapi untuk menyelesaikan. Mereka menyerahkan seluruh proses kepada mesin: tugas kuliah, esai, bahkan pendapat pribadi dalam diskusi kelas. Mereka bukan lagi mencari, menggali, dan mengolah. Mereka hanya menyalin dan menyerahkan. Di sinilah masalah besar itu tumbuh.

Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil, pernah mengatakan bahwa pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan: membebaskan manusia untuk berpikir, bertanya, dan mencipta. Tapi ketika pelajar terlalu bergantung pada AI, proses itu berhenti. Yang tersisa hanyalah aktivitas pasif mengonsumsi informasi tanpa memprosesnya. Apa yang disebut Freire sebagai “pendidikan gaya bank” di mana siswa hanya menyimpan informasi tanpa mengolah makna kini hadir dalam bentuk baru: bukan dari guru, tapi dari algoritma.

Padahal, AI bukan musuh. Ia bisa menjadi sahabat belajar yang cerdas. Tapi sahabat tidak bisa dijadikan pengganti diri sendiri. Dengan bimbingan yang tepat, AI bisa menjadi jembatan untuk memahami konsep rumit, membuka cakrawala baru, dan menantang pelajar untuk berpikir lebih kritis. Namun ketika AI digunakan hanya untuk hasil instan, maka pelajar kehilangan sesuatu yang sangat berharga: kemampuan untuk berpikir mandiri dan rasa ingin tahu.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pernah mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka bisa hidup sebagai manusia dan anggota masyarakat yang mandiri. Jika kita biarkan generasi pelajar menyerahkan pikirannya pada mesin, maka kita justru menjauhkan mereka dari cita-cita pendidikan itu sendiri.

Karena itu, penting bagi guru, dosen, dan para pendidik untuk tidak sekadar mengajar, tapi juga menantang. Tugas-tugas yang mendorong eksplorasi, diskusi terbuka yang melibatkan opini pribadi, serta penilaian berbasis proses, bukan hanya produk akhir semua itu adalah upaya untuk menjaga agar pelajar tetap berpikir.

AI bukanlah hantu yang harus ditakuti. Tapi ia bisa menjadi racun jika digunakan tanpa kesadaran. Teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu belajar, bisa berubah menjadi alat pelumpuh semangat belajar jika kita tidak bijak menggunakannya.

Saatnya pelajar kembali mengambil peran utama dalam proses belajarnya. AI boleh pintar, tapi kecerdasan sejati lahir dari kemauan untuk berpikir, bukan dari kemudahan untuk menyalin. (*)

Exit mobile version