Opini  

Cerita Tenggelamnya Kampong Wai Bot (Kampung Air Putih)

Oleh: Rahmat Umarama
Jurusan Sosiologi FISIP UMMU
Pegiat PILAS Institute

____________________

DI bawah kaki gunung “Langgar Leha” (Tempat Masjid), ada sebuah kampung, yang menyimpan banyak cerita indah. Tempat itu dihiasi dengan keindahan alam yang begitu tenang, suara burung bernyanyi seakan menghibur di saat sedih. Angin membawa pesan dan kesan sekaligus berita duka dan rindu. Sebuah cerita yang menggambarkan kronologis kehidupan berakhir duka, sehingga cerita itu menjadi sebuah sejarah yang pilu.

Sejarah adalah gambaran estetika masa lalu serta menyimpan banyak jejak para leluhur yang harus dikembangkan kembali oleh generasi penerusnya. Sejarah bukan hanya sebuah cerita rakyat, melainkan sejarah adalah kehidupan bagi rakyat. Saya teringat sebuah cerita tentang satu desa, sebelum Desa Kabau, yaitu tenggelam sebuah kampung (desa), dimana kampung tersebut  adalah Wai Bot (Air Putih). Singkat cerita, di desa tersebut hiduplah sekelompok masyarakat yang mengembangkan nilai sosial, budaya dan agama.

Di Desa Wai Bot (Air Putih), cerita singkat yang di dalami penulis. Ada seorang pemuda yang bernama Abdul Qadir, beliau adalah seorang kekasih Allah. Yang melakukan perjalanan dari Sula ke Tanah Suci. Di dalam perjalanan, beliau berjumpa dengan seorang wanita bernama Siti Hajar, yang juga melakukan perjalanan ke Tanah Suci untuk menunaikan syareat Islam yang kelima. Hajar berasal dari sebuah pulau yaitu Bau-bau. Dengan pertemuan singkat itu, mereka saling jatuh cinta satu sama lain, hubungan itu telah dilanjutkan dengan pernikahan yang berlangsung di Tanah Suci tersebut. Ketika selesai melakukan syareat Islam yang kelima yaitu naik haji, mereka pun berpisah dan kembali ke kampung masing-masing, karena dari keduanya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Dalam perpisahan penuh kerinduan yang harus dipendam tanpa kata, mereka harus ikhlas melepaskan satu sama lain, sedangkan kondisi istrinya dalam keadaan mengandung. Namun sang suami yang tidak tega melihat istrinya berlarut dalam kesedihan, dia pun berkata kepada sang istri, jangan sedih, karena kita akan bertemu suatu hari nanti, dan saya  akan memberikan satu tanda, agar ketika anak kita tumbuh remaja dan ingin mencariku, berikan tanda tersebut kepadanya sebagai cendera jiwa, pemberian itu hanya berupa sebuah bia (kerang). Beberapa tahun kemudian anak mereka telah tumbuh  sebagai seorang wanita yang sangat cantik, anak tersebut bernama Siti Sarah. Namun Sarah yang tidak pernah melihat dan bertemu dengan ayahnya, katanya dia akan mencarinya.

Perjalanan itu hanya menggunakan sebuah bia (kerang), yang diberikan oleh ayahnya. Dengan kecemasan, Sarah yang masih remaja dan tidak tahu ke mana ia mencari sang ayah. Dengan percaya diri, Sarah masuk ke dalam kerang untuk melakukan perjalanan pada malam hari yang berlangsung di dalam lautan, yang ditemani oleh sebuah kerang tersebut. Dalam perjalanan, ia melihat sebuah pulau, Sarah bingung dan gelisah namun tetap memberanikan diri untuk mendatangi pulau tersebut, namun rasa takut dan cemas menyelimuti dirinya.

Pulau itu bernama Lifmatola, Sarah melihat berbagai macam keindahan yang menduduki pulau tersebut, dibalik itu ada sekelompok masyarakat yang duduk di pinggir pantai, entah apa yang di akukan orang-orang tersebut di malam hari, apakah sekadar berjaga-jaga ataukah mempunyai aktivitas lain. Dengan rasa takut yang menghantui dirinya, namun dia memberanikan diri untuk bertanya kepada orang-orang di sekitaran tempat tersebut, “Wahai tuan:  boleh aku bertanya, apakah ini pulau Sula?”. Mereka mejawab “Iya, ini Sula, tapi ini bukan pulau Sula”.

Sarah pun pamit dan melanjutkan perjalanan sekitar pukul 03.00 dini hari, ketika sampai di satu pulau, Sarah melihat sebuah danau yang bernama Wai Bai Goi , di danau tersebut ada nyala api unggun yang berasal dari danau itu. Penghuni danau itu ialah sekelompok suku Sama Hag (suku pedalaman). Sarah kembali bertanya, “Wahai tuan, apakah ini kampung Wai Batu (Air Berbunyi)?”. Suku tersebut menjawab, kampong itu berada di depan mulut telaga yang ada di sekitaran sana.  Sebuah perjalanan yang penuh dengan kerinduan. Sarah yang hampir putus asa tiba-tiba dia mendengar suara gaib dari ayahnya, “Deha Ak Ila Hata” (saya masih di sebelah sana).

Dengan suara itu kerinduanya semakin besar, ia berjalan dengan berlinang air mata. Seketika Sarah sampai di mulut telaga, dia melihat sebuah keindahan alam yang tersembunyi, Sarah memberanikan diri untuk masuk, dia melihat perkampungan berbangunan klasik yang membawa ketenangan, sesampainya tepat di Wai sosa (Air Sudut) dia mulai naik di kulit air. Namun Sarah tidak menemukan ayahnya di tempat tersebut, Sarah dengan kerinduannya yang tidak bisa dipendam tetap semangat dan melakukan perjalanan, sesampainya di Wai Mit (Air Itam), ayahnya  yang baru saja selesai melaksanakan salat subuh, beliau memanggil anaknya dan berkata “Cukup jangan teruskan jalanmu”.

Sarah yang tak tahan untuk memeluk ayahnya, tanpa kata dia langsung melepas rindu yang sudah lama tak pernah sampai. Ketika Sarah keluar dari kerang, dia tidak menyadari jika di sekitaran tempat itu ada bulu bekas tempat kandang ayam, yang akan menyebabkan goresan ujung bulu tersebut dengan daging kerang yang memyimpan banyak air. Dengan keasyikan melepas rindu, terjadilah proses pertemuan ujung bulu dengan daging kerang. Pertemuan itulah menyebabkan daging milik kerang yang menyimpan banyak air tersebut pecah lalu terjadilah banjir yang begitu besar.

Kerinduan berakhir duka, cinta membawa bencana tanpa rencana. Sarah yang tidak sengaja melepas kerang tersebut, menyebabkan satu kampung tenggelam, yang memakan korban jiwa, Sarah dan sang ayah berhasil selamat dari banjir itu. Namun kulit dari kerang tersebut terlepas menjadi dua bagian: satunya terlempar di samping Telagah Kabau, yang sekarang di kenal dengan Tahaga Taufon ( Telaga Sembunyi), sedangkan yang satunya lagi terlempar di sebuah tempat yang sekarang di kenal dengan Telaga Kawalu, ungkap Maaz Uamamit.

Historis singkat yang menggambarkan kronologis tenggelam sebuah kampung. Yang berakhir duka dan meninggalkan jejak serta sebuah kesan. Cerita ini mungkin tidak lengkap, atau masih banyak yang tidak sesuai, namun saya tetap mengangkat cerita tersebut untuk mengulang kembali kisah yang telah hilang di sekitaran masyarakat dan anak muda. Sejarah adalah perjalanan yang penuh cerita, yang meninggalkan banyak kesan yang harus dikembangkan oleh generasi penerus.

Teringat salah seorang penulis, Agus SB, beliau mengatakan di Maluku Utara manusianya tampak mengarungi kehidupan dengan cara mengembang: tidak pada akar budayanya yang menyejarah, juga tak tahu ke arah mana kelana hidup mereka. Sorak-sorak bergaembira mengenai kebudayaan (tradisi) dan sejarah semata ditujukan untuk tontonan wisata dengan kekosongan makna fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali arus perubahan hidup sehari-hari tengah membingungkan mereka, (nuansamalut.com, 2025).

Sejarah serta budaya adalah simbol dan identitas sebuah kaum, dengan sejarah sebuah negeri akan berubah. Di Kepulauan Sula terkhususnya Desa Kabau Pantai, masyarakat serta generasi penerusnya hidup seperti cacing yang ketika di tahan ia merontak. Alasanya, mereka hidup tidak pada akar budaya. Namun saat ini budaya serta tradisi tersebut telah punah malah yang dikembangkan adalah pesta pora. Bahkan kepala desa-nya dalam sebuah video tepat di samping telaga, ia lebih mendidih jogetnya seperti waria. Kepala desa menjadi tongkat runtuhnya generasi muda, yang menjadi harapan bangsa kini telah kehilangan arah hidup dan akar budaya, sejarah serta tradisi mereka. Simbolik Desa Kabau Pantai, yang dulunya sangat terikat dengan budaya, adat serta tradisinya. Namun era kini perubahannya begitu jauh, sampai generasi penerus tidak kenal dengan sejarah dan budaya melainkan joget-jogetan yang diperkenalkan.

Tulisan ini hadir ketika saya duduk sambil merenung dan mulai menenun kata demi kata. Bagiku kritikan adalah sebuah motivasi, dan nasehat adalah sebuah penyakit. Maka sibukanlah pikiranmu sendiri dalam kehidupmu. Sebuah Novelis filsafat. (*)         

Exit mobile version