Opini  

Apakah Kesejahteraan Itu Hanya Sebuah Definisi?

Oleh: Faldi Ramli

____________________

Kami melihat kesejahteraan di layar, tapi tidak di dapur. Kami membacanya di baliho, tapi tak menemukannya di kantong. Kami dengar katanya sudah tercapai—tapi rasanya masih seperti utopia yang tertunda“.

Di dalam ruang-ruang rapat yang dingin oleh pendingin ruangan dan hangat oleh tepuk tangan, kata “kesejahteraan” sering kali menjadi tema utama. Ia dibicarakan seolah sebuah pencapaian, dirayakan seolah sebuah kemenangan, dan ditulis dengan huruf tebal dalam laporan pertanggungjawaban tahunan. Tetapi bagi kami yang hidup di lorong sempit perkampungan nelayan, di perbukitan sunyi yang listriknya masih hidup-mati, atau di desa yang belum tersentuh oleh sinyal dan jaring pembangunan, kata “kesejahteraan” sering kali terdengar seperti dongeng sebelum tidur—manis di telinga, tetapi tak pernah bisa kami pegang. Kami sering mendengar pejabat berkata bahwa indeks pembangunan manusia meningkat, bahwa garis kemiskinan perlahan turun, bahwa infrastruktur terus dikebut demi pemerataan. Namun, di balik kata-kata manis itu, kami tetap harus mengganjal perut dengan air putih di tengah malam. Kami masih harus membayar sekolah anak dengan menjual hasil panen yang harganya ditekan tengkulak. Kami belum merasakan apa itu pembangunan, selain baliho yang berisi wajah-wajah tersenyum di tepi jalan. Maka kami bertanya: apakah kesejahteraan itu hanya sebuah angka? Apakah ia sekadar data yang bisa diketik dan dipresentasikan?

Kesejahteraan, bagi kami, seharusnya tumbuh dari akar, bukan dari meja rapat. Ia bukan sekadar jalan tol yang membelah kota, melainkan jalan setapak yang layak di desa kami yang berlumpur. Ia bukan hanya taman kota yang indah untuk difoto, tetapi juga air bersih yang mengalir ke rumah kami yang terbuat dari papan kayu lapuk. Ketika hujan turun dan atap kami bocor, kesejahteraan tidak hadir membawa ember. Ketika anak kami sakit dan puskesmas tutup karena tak ada dokter, kesejahteraan tidak mengetuk pintu. Maka kami pun kembali bertanya: kesejahteraan itu milik siapa? Para ahli di kota menyebutkan indikator makroekonomi, menyebut GDP per kapita, dan berbicara tentang stabilitas fiskal. Tapi mereka tak pernah duduk bersama ibu-ibu di pinggir pasar yang menawar sayur sambil menahan air mata karena harga naik. Mereka tak pernah menunduk untuk melihat bocah kelas tiga SD yang belajar dari buku warisan kakaknya yang robek dan pudar. Di manakah kesejahteraan itu hidup? Di layar laptop atau di halaman rumah kami yang penuh lubang?

Namun, dalam kebijakan yang terlalu terpusat dan berpihak pada angka-angka makro, suara-suara kecil di pelosok negeri kerap tertelan sunyi. Mereka yang hidup jauh dari pusat kekuasaan menjadi korban dari definisi kesejahteraan yang tak mengenal konteks. Di desa yang jalan utamanya masih berupa tanah merah, listrik hanya hidup tiga jam sehari, dan sinyal telepon masih menjadi barang langka, bagaimana mungkin masyarakat bisa diberi label “sejahtera” hanya karena angka pendapatan per kapita meningkat? Tidak ada definisi tunggal untuk kesejahteraan yang bisa berlaku adil bagi negeri seluas ini. Yang dibutuhkan bukan sekadar ukuran ekonomi, tetapi pemahaman atas realitas lokal: bahwa kesejahteraan di Ternate berbeda dengan di Jakarta, dan bahwa sejahtera bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang rasa dihargai dan didengarkan.

Banyak yang berkata bahwa pemerintah telah bekerja keras, dan kami tidak menyangkal. Namun kerja keras tanpa keberpihakan adalah suara tanpa gema. Kami menyaksikan bagaimana pusat kota terus dibangun, trotoar dipercantik, dan pusat perbelanjaan dibuka satu per satu, sementara kampung kami tak berubah sejak zaman kakek kami muda. Kami melihat anggaran dibicarakan, tapi tak pernah dititipkan ke desa. Kami mendengar tentang program bantuan sosial, tapi namanya lebih besar dari manfaatnya. Dan yang paling menyakitkan, kami melihat bahwa suara kami hanya penting saat musim pemilu tiba. Keadilan sosial bukanlah janji politik—ia adalah napas yang harus dirasakan setiap hari oleh rakyat. Tapi sayangnya, keadilan itu lebih sering dibungkus sebagai konsep, bukan dikemas menjadi tindakan. Kami ingin merasa menjadi bagian dari negeri ini, bukan sekadar menjadi objek dari proyek-proyek yang tak pernah menjejak tanah kami. Kami ingin suara kami didengar bukan karena kami marah, tapi karena kami ada.

Pemerintah, jika memang ingin membawa makna kesejahteraan yang sesungguhnya, harus berhenti memaksakan satu rumus untuk seribu wajah. Ia harus mau membongkar paradigma bahwa pembangunan hanya berbicara tentang pertumbuhan, dan mulai belajar bahwa yang tumbuh belum tentu adil, dan yang maju belum tentu merata. Kesejahteraan sejati tidak datang dari atas, tapi dari bawah—dari pemberdayaan, dari keterlibatan rakyat dalam keputusan yang menyangkut hidup mereka. Selama kebijakan masih dibuat oleh mereka yang tak pernah turun ke lapangan, selama keputusan masih diambil tanpa mendengar denyut kampung-kampung kecil yang sunyi, maka selama itu pula kesejahteraan akan tetap menjadi sesuatu yang jauh: sebuah definisi yang ditulis indah, tapi tak pernah bisa kami cium dalam kenyataan.

Retorika pembangunan terdengar sangat meyakinkan. Tapi realita di tanah kami tak pernah mengikuti. Kami lelah melihat televisi menyiarkan “kemajuan” sementara dinding rumah kami masih berlubang. Kami lelah membaca berita tentang “pertumbuhan ekonomi” sementara kami harus memilih: makan malam atau beli obat untuk ibu. Kami muak dengan istilah-istilah ekonomi tinggi, sementara ekonomi kami berjalan lambat di kaki yang lelah dan di tangan yang kapalan. Kami tidak menolak pembangunan. Kami hanya ingin ia adil. Kami tidak anti-kemajuan. Kami hanya ingin juga ikut maju. Kami tidak minta lebih. Kami hanya ingin cukup-cukup air bersih, cukup makanan sehat, cukup pendidikan yang layak, cukup pekerjaan yang bermartabat. Apakah itu terlalu rumit untuk diukur dengan seluruh alat negara yang hebat?

Di tengah kesenjangan yang terus tumbuh, kesejahteraan telah menjelma menjadi kata mewah yang semakin asing di lidah rakyat kecil. Ia disanjung dalam pernyataan pers, dipertontonkan dalam data visual, namun tak pernah menyentuh jemari kasar para petani, nelayan, buruh pasar, dan anak-anak yang terlahir di lorong gelap ketidakpastian. Negeri ini tampaknya lebih pandai menghitung angka daripada meraba luka. Lebih sibuk menghias laporan daripada menyeka air mata ibu-ibu yang kehilangan penghasilan karena harga barang naik, sementara upah tetap diam tak bergerak. Jika kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elite di pusat kota, maka untuk apa kami membayar pajak, ikut pemilu, dan terus berharap pada negara yang hanya hadir saat kampanye?

Seperti yang pernah dikatakan Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, bahwa kesejahteraan bukan hanya soal pendapatan, melainkan tentang kapabilitas untuk hidup secara layak dan bermartabat. Kesejahteraan sejati adalah ketika manusia bisa memilih jalan hidupnya, bisa tumbuh tanpa takut hari esok, dan bisa menjalani hidup dengan rasa aman, adil, dan seimbang. Tapi apa daya jika kami hanya diberi angka tanpa akses, diberi bantuan tanpa kemandirian, diberi suara tanpa daya tawar? Maka yang tersisa hanyalah kebijakan yang dangkal dan pembangunan yang kering empati. Kritik Sen ini mengingatkan kita bahwa kesejahteraan bukan tentang statistik yang dirayakan, tapi tentang kehidupan yang dijalani. Jika negara lebih sibuk menjawab konferensi global daripada menjawab kebutuhan ibu yang kehilangan pekerjaan di pasar, maka kita bukan sedang membangun bangsa—kita sedang menipu rakyat dengan definisi yang kosong makna.

Namun kami juga mulai takut: jika terlalu lama kesejahteraan hanya dibicarakan sebagai konsep, jangan-jangan yang sesungguhnya didefinisikan ulang adalah rakyat itu sendiri. Kami diubah dari subjek menjadi objek, dari warga negara menjadi target statistik, dari manusia hidup menjadi deretan angka dalam grafik tahunan. Rakyat tidak butuh dilabeli “miskin ekstrem” atau “kategori rentan” untuk layak diperhatikan. Kami butuh diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai proyek. Ketika negara lebih sibuk memetakan kemiskinan daripada menuntaskannya, lebih tertarik menyusun dokumen strategi daripada menyambangi dapur warga, maka sesungguhnya yang sedang dibangun adalah narasi, bukan kesejahteraan. Dan jika makna kesejahteraan tak lagi berpijak pada rasa keadilan, maka ia telah kehilangan jiwanya—menjadi tubuh tanpa roh, definisi tanpa hati.

Kesejahteraan yang sejati bukanlah apa yang ditulis oleh kementerian, tapi apa yang tumbuh di hati rakyat. Ia bukan soal program, tapi tentang perubahan nyata. Ia bukan soal pengakuan, tapi tentang kehadiran. Kehadiran negara dalam tangis ibu yang tak mampu bayar biaya rumah sakit. Kehadiran negara dalam senyum anak yang bisa sekolah tanpa harus membantu ibunya jual gorengan sejak subuh. Kehadiran negara dalam tangan petani yang tak lagi takut gagal panen karena ada perlindungan. Kesejahteraan bukanlah definisi. Ia adalah denyut nadi. Ia adalah napas yang bebas dari ketakutan. Ia adalah ruang aman untuk bermimpi dan ruang nyata untuk bertumbuh. Dan jika hingga hari ini kami belum juga merasakannya, maka kami berhak bertanya: Apakah selama ini kesejahteraan itu hanya milik mereka yang berkuasa, atau memang sejak awal tidak pernah dimaksudkan untuk kami?

Kami tak ingin menjadi catatan kaki dalam sejarah bangsa. Kami ingin menjadi halaman yang hidup, yang tumbuh bersama kemajuan negeri ini. Jangan beri kami definisi, beri kami bukti. Jangan beri kami janji, beri kami keadilan”. (*)

Exit mobile version