Opini  

Rempang: Membangun Masa Depan Tanpa Mengubur Sejarah

Oleh: Mochdar Soleman

Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional Jakarta 

________________

PULAU Rempang, sebuah wilayah di selatan Pulau Batam, mendadak menjadi titik api dalam peta konflik agraria nasional. Sejak diumumkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), pulau ini menjadi sorotan media, aktivis, hingga lembaga hak asasi manusia. Di balik wacana pembangunan dan investasi yang menggiurkan, Rempang menyimpan luka struktural yang tak boleh diabaikan: penggusuran warga adat, pengingkaran sejarah, dan kekerasan yang merusak legitimasi negara.

Proyek Rempang Eco-City yang dikembangkan oleh BP Batam dan mitra investor asing bertujuan menjadikan kawasan ini sebagai pusat industri energi baru terbarukan dan pariwisata kelas dunia. Namun, keberadaannya justru memicu resistensi warga yang telah tinggal di sana selama lebih dari satu abad. Mereka bukan pendatang gelap, melainkan pemilik sah dari 45 kampung tua yang telah tercatat dalam sejarah, budaya, dan bahkan dalam regulasi resmi negara.

Sejarah yang Diabaikan

Rempang bukanlah pulau yang tidak berpenghuni seperti yang kerap dideskripsikan dalam peta pembangunan. Kampung-kampung tua di Rempang telah berdiri sejak abad ke-19, jauh sebelum konsep tata ruang modern diterapkan. Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 52 Tahun 2014, eksistensi kampung tua ini diakui secara hukum sebagai bagian dari hak pengelolaan tradisional masyarakat adat Melayu. Mereka memiliki sistem sosial, struktur kepemimpinan, hingga norma lokal yang hidup dan berlangsung lintas generasi.

Namun, fakta sejarah ini seperti tak berarti dalam praktik kebijakan. Pemerintah Kota Batam, yang semestinya menjadi pelindung hak warganya, justru menolak memberikan pengakuan atas tanah-tanah adat tersebut. Ketika legalitas adat berbenturan dengan kehendak proyek nasional, yang dikorbankan adalah sejarah dan manusia.

Padahal, konstitusi kita menjamin pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sayangnya, asas ini menjadi pepesan kosong ketika implementasi kebijakan tidak menjadikannya acuan.

Kekerasan dalam Pembangunan

Sejak awal 2023, Rempang menjadi lokasi bentrokan antara warga dan aparat. Pada 7–11 September 2023, kekerasan meledak setelah warga menolak relokasi dan penggusuran paksa. Komnas HAM mencatat sejumlah pelanggaran prosedural dalam proses pemindahan. Setidaknya 15 orang mengalami luka-luka, termasuk anak-anak, dan sejumlah sekolah dirusak oleh gas air mata dan aparat yang memasuki ruang pendidikan tanpa izin. Tragedi ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan teknis. Ini adalah bentuk kekerasan struktural.

Menurut Hamzah Ali, kajian akademik dari Universitas Negeri Jakarta, (edura.unj.ac.id) penggusuran massal terhadap sekitar 7.500 warga merupakan bentuk pelanggaran HAM berat. Pemindahan paksa yang dilakukan tanpa kesepakatan, tanpa kompensasi yang adil, dan tanpa dialog substantif melanggar prinsip-prinsip dasar UUPHAM (Undang-Undang Penghapusan Pelanggaran HAM Berat) dan Basic Principles on the Rights of Indigenous Peoples yang dikeluarkan oleh PBB.

Pembangunan seharusnya meningkatkan martabat manusia, bukan menghilangkannya. Ketika investasi lebih dihormati daripada hak warga, pembangunan kehilangan legitimasi etisnya.

Politik Tanah dan Kekosongan Hukum

Konflik Rempang memperlihatkan betapa kacaunya tata kelola pertanahan di Indonesia. Di satu sisi, warga mengklaim hak adat yang diwariskan secara turun-temurun. Di sisi lain, negara mengklaim bahwa wilayah itu berada dalam HGU (Hak Guna Usaha) yang dimiliki oleh pihak ketiga atau belum pernah dilepaskan menjadi hak milik.

Analisis hukum yang dilakukan oleh Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum UGM (ugm .ac.id) menyebutkan bahwa akar persoalan ini bukan hanya pada tumpang tindih klaim, tetapi pada clash of rationalities. Logika hukum modern sering kali tidak kompatibel dengan sistem kepemilikan adat yang berbasis komunitas. Dalam banyak kasus, pemerintah bersikeras mengedepankan sertifikasi dan peta digital sebagai bukti sah, sementara masyarakat adat mengandalkan sejarah lisan, batas-batas alamiah, dan pengakuan kolektif.

Ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat yang adil dan berpihak menyebabkan konflik seperti Rempang terus berulang. Tidak ada pengadilan khusus agraria, tidak ada lembaga yang secara aktif menjembatani kepentingan antara adat dan negara. Dalam situasi seperti ini, hukum menjadi alat represi, bukan keadilan.

Ekologi, Emosi, dan Hak Hidup

Rempang bukan hanya tentang tanah. Ia adalah wilayah adat komunitas ekologis yang membentuk relasi antara manusia dan alam. Perempuan-perempuan di kampung tua menjadi penjaga tradisi pertanian dan laut. Anak-anak tumbuh dengan kearifan lokal yang tidak sekadar romantik, tetapi efisien dan berkelanjutan. Hutan mangrove, pantai, hingga sistem pangan lokal bukan sekadar lanskap fisik, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang kompleks.

Pembangunan yang memisahkan masyarakat dari ekosistemnya adalah pembangunan yang mematikan. Seperti dikatakan oleh Arturo Escobar dan Enrique Leff (2021), kapitalisme global menjadikan tanah sebagai terrain of extraction ruang yang hanya bernilai jika bisa dieksploitasi. Sebaliknya, masyarakat adat memandang tanah sebagai ruang relasional, tempat hidup bersama dengan alam.

Di sinilah letak perlawanan Rempang menjadi penting. Ia bukan sekadar protes terhadap penggusuran, melainkan penolakan terhadap logika pembangunan yang merusak. Warga Rempang sedang mempertahankan bentuk hidup mode of existence yang mengutamakan keberlanjutan dan solidaritas, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.

Jalan Keluar: Pembangunan Kolaboratif

Penulis memandang bahwa proyek Rempang bisa tetap berjalan tanpa harus mengorbankan hak warga. Kuncinya ada pada pembangunan kolaboratif. Pemerintah perlu mengakui keberadaan kampung tua sebagai bagian integral dari Rempang Eco-City. Bukan sebagai “gangguan”, melainkan sebagai kekuatan sosial dan budaya.

Model ini telah diterapkan di berbagai negara. Di Ekuador, Bolivia, dan bahkan sebagian kawasan di Kanada, pembangunan kawasan industri dilakukan dengan pengakuan penuh terhadap hak masyarakat adat. Warga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan, diberikan saham dalam proyek, bahkan dijadikan mitra dalam pengelolaan kawasan. Model comanagement seperti ini menjamin keberlanjutan sekaligus keadilan.

Pemerintah juga harus menghapus pendekatan koersif. Stop penggusuran, tarik aparat bersenjata, dan mulai buka ruang dialog. Bentuk tim mediasi independen yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil. Evaluasi status HGU secara terbuka, dan jika terbukti melanggar asas-asas keadilan agraria, lakukan redistribusi tanah yang sah.

Terakhir, penting bagi negara untuk mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi ekologis seperti yang dikemukakan Biersack dan Greenberg. Demokrasi yang menghormati alam, mendengar suara lokal, dan tidak mengorbankan yang lemah demi kepentingan jangka pendek.

Penutup

Rempang bukan hanya tentang proyek. Ia adalah ujian bagi republik ini: apakah kita benar-benar ingin membangun negeri ini dengan keadilan, atau hanya menjadi operator pasar global? Apakah kita ingin masa depan yang beradab, atau sekadar bangga dengan statistik pertumbuhan ekonomi yang menumpuk di atas reruntuhan kampung tua?

Jika negara benar-benar ingin mengubah wajah Rempang, maka langkah pertama adalah belajar mendengar. Dengarkan warga, akui sejarah mereka, dan libatkan mereka dalam pembangunan. Membangun Rempang bukan dengan membongkar kampung tua, tapi dengan merangkai masa depan bersama. (*)

Exit mobile version