Opini  

Senior Sang Dewa

Oleh: Firja Wanda Ahmad

______________________

SENIORITAS telah menjadi isu yang mendalam dan kompleks dalam berbagai sektor, terutama dalam konteks pendidikan tinggi. Di lingkungan universitas, fenomena ini sering kali menghasilkan konstruksi pemikiran di mana individu yang lebih senior dipandang seolah-olah memiliki otoritas mutlak, mirip dengan “dewa”, yang berwenang menentukan kebenaran dan kesalahan bagi junior. Penentuan ini sering kali dipengaruhi oleh keadaan emosional dan preferensi pribadi mereka, bukan oleh dasar argumentasi yang rasional atau bukti ilmiah.

Senior dengan otoritas “dewa” selalu saja menganggap bahwa perbedaan perspektif sebagai ancaman untuk mereka. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut tentang senior-senior yang demikian, dan agar tulisan ini lebih mengalir, mari kita sebut saja mereka “Odong.”

Tipe Odong dan Budaya Ketidakberdayaan

Tipe Odong adalah mereka yang selalu merasa benar dalam setiap pendapat dan pernyataan yang mereka sampaikan. Ketika terjadi kesalahan, mereka cenderung menyalahkan junior, menganggap bahwa ketidakpatuhan atau perbedaan pandangan merupakan penyebab masalah tersebut. Dalam perspektif mereka, junior seharusnya tunduk dan mengikuti arahan tanpa mempertanyakan, menciptakan budaya ketidakberdayaan yang berpotensi menghambat perkembangan intelektual di lingkungan akademik.

Pernyataan di atas bukan tanpa alasan. Jika ditinjau dari aspek empiris, penulis juga pernah mengalami fenomena serupa. Beberapa studi kasus perlu diangkat untuk memperkuat argumen ini, salah satunya adalah keyakinan bahwa apa yang disampaikan senior adalah mutlak. Hal ini melahirkan peraturan pembodohan yang masih terdengar di berbagai lingkungan kemahasiswaan, seperti “Pasal 1: senior tidak pernah salah,” dan “Pasal 2: jika senior salah, maka kembali ke Pasal 1.” Orang-orang Odong menggunakan landasan ini untuk membenarkan tindakan mereka, sehingga secara sadar menjebak diri dalam logika fallacy yang disebut circular reasoning.

Dampak Negatif terhadap Lingkungan Akademik

Penelitian yang dilakukan oleh Johnson (1994) menunjukkan bahwa lingkungan yang mendukung kolaborasi dan diskusi terbuka cenderung menghasilkan hasil akademik yang lebih baik. Dalam konteks ini, keberanian mahasiswa junior untuk menyuarakan pendapat mereka adalah esensial. Namun, ketika mereka merasa terintimidasi oleh senior yang menganggap diri mereka sebagai sumber kebenaran mutlak, potensi pemikiran kritis yang seharusnya memperkaya diskusi akademis menjadi hilang. Hal ini menciptakan ekosistem pembelajaran yang stagnan, di mana ide-ide baru sulit untuk muncul.

Teori konstruktivisme dalam pendidikan menegaskan bahwa pembelajaran yang efektif terjadi melalui interaksi sosial dan pembangunan pengetahuan secara kolaboratif. Dalam kerangka ini, senioritas yang mengekang kreativitas berlawanan dengan prinsip dasar konstruktivisme, di mana proses pembelajaran seharusnya melibatkan pertukaran perspektif yang beragam. Ketika suara junior tidak diakomodasi dan diabaikan, kita kehilangan kesempatan untuk menyusun pengetahuan secara kolektif, yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan.

Pengalaman vs. Waktu di Bangku Kuliah

Kita semua tahu bahwa kecerdasan atau pengetahuan tidak diukur dari seberapa tua mahasiswanya atau seberapa lama mereka berkuliah. Ada beberapa faktor yang menjadi indikator mengapa seseorang bisa lebih mengetahui, dan salah satunya adalah pengalaman. Pengalaman memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam, yang tidak selalu bisa diperoleh hanya melalui waktu yang dihabiskan di bangku kuliah. Oleh karena itu, penting untuk membangun budaya di mana semua suara, baik yang senior maupun yang junior, dihargai dan didengar.

Kecerdasan dan pengetahuan tidak dapat diukur semata-mata berdasarkan usia atau lama studi di bangku kuliah. Dalam konteks pendidikan tinggi, banyak faktor yang berkontribusi pada penguasaan pengetahuan seseorang, salah satunya adalah pengalaman. Pengalaman bukan hanya sekadar akumulasi waktu, tetapi juga interaksi kompleks dengan berbagai situasi dan konteks yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi, yang tentunya sangat relevan dalam dunia akademik.

Pengalaman memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam, yang sering kali tidak dapat diperoleh hanya melalui teori yang diajarkan di kelas. Melalui pengalaman praktis, individu dapat menerapkan konsep teoretis dalam situasi nyata, mengasah keterampilan analitis, dan memahami dinamika yang kompleks. Namun, konstruksi si odong sering terjebak dalam pola pikir yang menganggap senioritas sebagai indikator utama kecerdasan. Asumsi ini tidak hanya merugikan mahasiswa junior, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam penilaian kemampuan.

Kesimpulan

Mengatasi ketidakrasionalan senioritas memerlukan kesadaran kolektif untuk menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan terbuka. Institusi pendidikan tinggi perlu menerapkan kebijakan yang mendorong dialog antar angkatan, serta memberikan ruang bagi junior untuk berkontribusi tanpa rasa takut. Dengan demikian, kita dapat membangun ekosistem pendidikan yang lebih sehat, di mana pemikiran kritis dan inovasi dapat berkembang. (*)

Exit mobile version