Opini  

Korupsi Kuota Haji: Potret Bobroknya Tata Kelola di Bawah Sistem Sekuler

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Pemerhati Muslimah dan Generasi

__________________

HAJI adalah ibadah agung yang menjadi dambaan umat Islam di seluruh dunia. Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, memegang kuota haji terbesar di dunia dan mengelola dana yang mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, alih-alih menjadi teladan pengelolaan ibadah, fakta yang terungkap justru mencoreng kesucian haji. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi kuota haji musim 2023–2024 dengan potensi kerugian negara lebih dari Rp1 triliun. Salah satu sorotan adalah adanya kebijakan pengalihan kuota haji reguler ke kuota khusus secara sepihak oleh Kementerian Agama. Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 mengatur bahwa kuota haji khusus maksimal 8% dari total jemaah, namun pemerintah menetapkannya hingga mencapai 11%. Praktik ini dicurigai sebagai bentuk transaksi di luar prosedur resmi dan telah memicu kritik dari DPR.

Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menjadi figur yang kini berada di tengah sorotan. KPK telah memeriksa dirinya pada 7 Agustus 2025 dan mencegahnya bepergian ke luar negeri selama enam bulan karena dugaan keterlibatan dalam penyusunan kuota yang tidak sesuai aturan. Sejumlah laporan dari kelompok masyarakat, termasuk Jaringan Perempuan Indonesia (JPI), bahkan telah diajukan sejak 2024. Dugaan ini tidak hanya mencerminkan pelanggaran hukum, tetapi juga menunjukkan adanya pengkhianatan terhadap amanah yang seharusnya dijaga dalam mengelola dana dan hak ibadah umat.

Kasus ini menyingkap kelemahan struktural dari sistem pemerintahan sekuler. Di satu sisi, tata kelola ibadah yang seharusnya berbasis nilai takwa justru dijalankan dalam logika birokrasi duniawi yang memberi celah besar bagi penyimpangan. Di sisi lain, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum berjalan lamban, bahkan terkesan selektif. Akibatnya, ibadah suci haji pun tereduksi menjadi komoditas yang bisa diatur demi keuntungan segelintir orang.

Islam menawarkan paradigma yang berbeda secara fundamental. Dalam sistem Islam, pengelolaan haji merupakan amanah syariah yang berada di bawah kendali langsung Khalifah, dibantu amil dan amirul hajj yang dipilih berdasarkan ketakwaan dan kredibilitasnya. Prosesnya diawasi berlapis, mulai dari baitulmal hingga qadhi mazhalim yang berwenang mengadili penguasa. Setiap rupiah dana haji digunakan murni untuk keberangkatan, pelayanan, dan kemaslahatan jemaah, bukan untuk kepentingan politik atau keuntungan pribadi. Pelaku pengkhianatan amanah akan dijatuhi sanksi tegas sesuai syariat, yang tujuannya bukan sekadar menghukum tetapi juga mencegah terulangnya kejahatan.

Korupsi dalam pengelolaan haji bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah. Selama sistem sekuler yang permisif tetap menjadi dasar tata kelola, penyimpangan seperti ini akan terus berulang. Menjaga kesucian haji dan ibadah umat hanya bisa dilakukan dengan mengganti sistem yang rapuh ini dengan sistem Islam kaffah, yang menjadikan takwa, amanah, dan keadilan sebagai fondasi mutlak. Hanya dengan cara itu ibadah haji akan kembali pada kesuciannya, bebas dari tangan-tangan kotor yang merusaknya. (*)

Exit mobile version