Oleh: Zahra Riyanti
Pemerhati Muslimah dan Generasi
__________________
RENCANA Israel untuk mengambil alih Gaza secara penuh kembali mengguncang panggung politik dunia. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dengan persetujuan kabinet keamanannya, mengumumkan langkah strategis yang disebutnya sebagai “upaya menyelesaikan perang” dengan merebut kendali Gaza City, melucuti Hamas, membebaskan sandera, dan membentuk pemerintahan sipil alternatif. Namun di balik narasi resmi itu, tersimpan implikasi yang jauh lebih dalam dan jauh lebih gelap bagi rakyat Palestina.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan korban jiwa telah menembus 61.000 orang, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan jalur distribusi pangan, hancur atau lumpuh total akibat blokade dan operasi militer. Di tengah kondisi ini, rencana Israel untuk memperluas kontrol militer dianggap bukan sekadar langkah pertahanan, melainkan upaya pendudukan jangka panjang.
Disamping itu kecaman masih mengalir deras. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut rencana itu sebagai “eskalasi berbahaya” yang berpotensi memicu pengusiran paksa warga dan memperburuk krisis kemanusiaan. Volker Türk, Komisaris Tinggi HAM PBB, mengingatkan bahwa setiap upaya memaksa perpindahan penduduk tanpa persetujuan adalah pelanggaran berat hukum internasional. Uni Eropa, termasuk Jerman dan Prancis, mengecam keras dan bahkan mempertimbangkan sanksi politik hingga embargo senjata terhadap Israel. Amnesty International menegaskan, kebijakan ini mendekati kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di level ekstrem.
Jika dibedah secara politik, langkah Israel bukan hanya soal mengeliminasi ancaman keamanan dari Hamas, tetapi juga menciptakan fakta baru di lapangan: Gaza tanpa kendali penuh warga Palestina. Ini adalah bentuk unilateralism yang mengabaikan proses diplomasi dan kesepakatan internasional. Dengan memegang kendali langsung atas Gaza, Israel berpotensi mengubah demografi, menguasai sumber daya, dan mengendalikan arus bantuan internasional semuanya di bawah klaim “stabilisasi keamanan”.
Lebih jauh, kebijakan ini mengindikasikan kegagalan komunitas internasional dalam memastikan prinsip keadilan dan hak asasi manusia berlaku sama bagi semua pihak. Meski suara kecaman keras terdengar, absennya mekanisme penegakan membuat Israel tetap percaya diri melangkah.
Berbeda dengan respons PBB dan negara-negara Arab yang terbatas pada kecaman diplomatis, Islam memandang penjajahan atas satu wilayah kaum Muslim sebagai deklarasi perang terhadap seluruh umat. Dalam kerangka Islam, pembelaan Palestina tidak berhenti pada solidaritas moral, tetapi diwujudkan dalam pengerahan militer nyata untuk membebaskan tanah yang terjajah dan melindungi nyawa penduduknya.
Dalam sistem Islam negara memiliki kewajiban syar’i untuk menegakkan hukum Allah di setiap jengkal bumi yang berada di bawah naungan Islam, termasuk membebaskan negeri Muslim yang dirampas. Tidak ada ruang bagi normalisasi atau perundingan yang melegitimasi pendudukan. Wilayah seperti Gaza akan dilindungi oleh kekuatan bersenjata yang bersatu, bukan oleh militer yang terpecah di bawah batas negara-bangsa buatan.
Dalam sistem Islam, sumber daya negara akan diarahkan sepenuhnya untuk membiayai jihad fi sabilillah, memutus mata rantai suplai ekonomi dan militer penjajah, serta membangun kekuatan persatuan umat yang melintasi batas politik buatan. Dengan demikian, rencana Israel menguasai Gaza akan berhadapan dengan kekuatan politik dan militer yang bersifat global, bukan sekadar diplomasi rapuh yang mudah diabaikan. (*)