Oleh: Ekklesia Hulahi
__________________
SAAT ini, permasalahan lingkungan hidup menjadi perhatian global yang memerlukan perhatian, terutama mengingat bencana ekologis yang merupakan ancaman besar terhadap keselamatan manusia. Aktivitas pertambangan menjadi penyebab dampak bencana ekologis di Maluku Utara. Selain merusak lingkungan, mitigasi bencana yang tidak memadai juga berdampak pada tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan. Perempuan dalam ruang hidupnya yang domestik sangat dekat dan bergantung pada sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Perempuan dalam berbagai sisi sering dikaitkan dengan suatu istilah yang melekat mengenai posisinya dalam media yaitu ketidakadilan (Hermes 2007, 193). Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non manusia atau alam (Arivia 2006, 381). Upaya mendefinisikan perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminisme dan ekologi.
Mengenai tubuh perempuan dan alam yang mengalami penindasan ini melahirkan kajian–kajian yang mendalam dalam perspektif ekofeminisme. Selain tubuh alam yang ditindas, di Maluku Utara penindasan terhadap tubuh perempuan melalui tindakan kekerasaan seksual makin marak diperbincangkan. Candraningrum (2014) memandang persoalan penindasan ini sebagai bagian dari politik penundukan karena pemilik kuasa berusaha melakukan kendali atas tubuh perempuan. Tidak hanya itu, Candraningrum juga menandaskan bahwa kapitalisasi tubuh perempuan dan reduksi alam terjadi secara bersamaan, sebagai upaya peneguhan dominasi kuasa.
Penaklukan oleh kekuatan maskulin seperti itu berdampak pada alam dan perempuan. Tradisi kritis tersebut melahirkan ekofeminisme, yaitu pandangan yang menekankan lingkungan sebagai sosok ibu (feminitas) yang harus dilindungi dari bahaya dampak buruk yang ditimbulkan oleh dunia usaha yang didukung oleh pemerintah dan organisasi keuangan internasional. Karena perempuan merupakan pihak yang berinteraksi langsung dengan sumber daya alam, maka mereka sangat rentan terhadap bahaya dan dampak kerusakan lingkungan.
Menurut para ahli ekofeminis, ketertarikan perempuan terhadap alam membantu mereka mencari keselamatan dan bertahan hidup. Penentangan terhadap ketidakadilan terhadap perempuan dan lingkungan hidup merupakan landasan ekofeminisme. Mengingat perempuan selalu terhubung dengan alam, para ekofeminis menganggap Bumi sebagai metafora perempuan (lihat Arivia 2006, 381).
Langkah kritis yang dihadirkan ekofeminisme berujung pada aksi kesadaran bahwa tubuh perempuan dan bumi yang sama–sama rentan dengan kerusakan oleh kebijakan politik tubuh. Perempuan tidak hanya berdiam melihat kerusakan akan tubuhnya sendiri akibat kuasa “mereka” (the other) yang memiliki dominasi maskulinitas. Ekofeminisme bergerak jauh dengan konsep berdamai dengan sesama penghuni bumi untuk menyelamatkan perempuan dan bumi dari kerusakan.
Dengan demikian, tubuh perempuan yang telah dirusak oleh kekuasaan, memerlukan tindakan perlawanan terhadap penindasan dan penyelamatan nyata yang berbasis kepedulian. Sikap ini serupa dengan sikap terhadap bumi yang juga memerlukan kepedulian agar lepas dari cengkeraman kekuasaan jahat dan terhindar dari bencana ekologi. Dan memahami bahwa tubuh perempuan adalah hartanya, maka mereka akan bekerja sama dengan penghuni bumi lainnya untuk menjaga tubuh perempuan mereka, bukan sebagai harta benda yang dikuasai objek kekuasaan, melainkan sebagai sumber penghidupan generasi penerus yang akan terus dilindungi, seperti halnya bumi. (*)