google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Wajah Kusam Demokrasi Indonesia Monarki Bertopeng Presidensil

Oleh: Ardi Turege

Wakil Presiden BEM FH UMMU

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

_______________ 

DALAM panggung megah yang disebut demokrasi, para aktor memainkan peran dengan kostum presiden dan parlemen, seolah-olah rakyatlah sutradara. Tapi bila lampu  sorot dimatikan dan tirai ditutup, yang tampak hanyalah sistem tua yang berlumur debu kekuasaan: monarki dalam wajah demokrasi.

Di atas lembaran konstitusi, Indonesia adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensil demokratis. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, lembaga legislatif dan yudikatif memiliki otonomi, dan prinsip checks and balances menjadi fondasi tata kelola kekuasaan. Namun dalam praktik politik hari-hari ini, sistem itu tampak keropos dan terjadi degradasi yang berulangkali. Yang tersisa hanya topeng presidensil yang menutupi wajah monarki yang perlahan muncul dari balik demokrasi.

Di atas panggung republik, bendera demokrasi berkibar tinggi, namun anginnya berembus dari dalam istana. Kata “presidensil” dipahat dan dilukis cantik dengan tegas dalam konstitusi sebagai Grundnorm (Norma Dasar), Hans Kelsen. Tapi dalam praktiknya, aroma monarki semakin kuat tercium. Presiden bukan lagi pemimpin yang melayani, melainkan penguasa yang disembah. Demokrasi bukan lagi sistem yang hidup dari partisipasi rakyat, tetapi ritual lima tahun yang dibungkus dengan gemerlap, lalu dilupakan.

Kita telah menyaksikan lahirnya ‘demokrasi monarki’: merupakan sebuah paradoks yang menyatukan dua sistem yang saling bertentangan, di mana rakyat tetap memiliki hak suara, tetapi kekuasaan nyata terpusat pada satu figur atau satu klan figur politik. Presidensil hanya menjadi label prosedural, sementara praktik kekuasaannya menyerupai monarki modern yang dibungkus dengen nilai-nilai demokrasi.

Istilah “demokrasi monarki” memang kontradiktif, namun sangat relevan untuk menggambarkan gejala politik yang terjadi. Dalam teori postdemocracy yang dikemukakan oleh “Colin Crouch”, sistem demokrasi modern cenderung bergeser dari substansi menuju simbol-simbol semata: pemilu tetap digelar, partai tetap eksis, tapi keputusan penting diambil di balik layar oleh elite kekuasaan dan korporasi.

Demokrasi, dalam idealnya, adalah perwujudan kekuasaan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi bisa saja menjelma menjadi sekadar panggung sandiwara, tempat di mana rakyat hanya menjadi penonton, sementara para elit memainkan peran sebagai “wakil rakyat” dengan naskah yang sudah ditulis sebelumnya. Inilah wajah kusam demokrasi kita hari ini, sebuah demokrasi yang secara formal berbaju presidensil, tapi berjiwa monarki.

Secara teoritis, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Menurut Robert A. Dahl, demokrasi yang ideal memiliki dua karakter utama: partisipasi efektif dan kesetaraan dalam pengaruh keputusan. Dalam model ideal ini, warga negara berperan aktif dalam proses politik dan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya politik.

Namun kenyataan menunjukkan distorsi besar. Partisipasi rakyat dibatasi pada momen-momen elektoral semata, sementara kekuasaan riil dipegang oleh segelintir elite. Politik menjadi permainan oligarki, bukan arena partisipasi rakyat. Di sinilah wajah kusam demokrasi itu tampak—Ia kehilangan daya hidupnya, hanya menjadi seremoni rutin tanpa kontrol rakyat yang substantif.

Demokrasi kita telah kusam. Ia tak lagi memantulkan cahaya harapan rakyat, melainkan menjadi cermin retak yang hanya memantulkan ambisi para elite-elite politik dan elite kekuasaan. Lembaga legislatif menjadi perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Lembaga yudikatif dipoles sedemikan rupa agar tampil terlihat netral, independensi kekuasaan kehakiman kian hari makin diragukan. Yang tersisa hanyalah formalitas: pemilu, kampanye, debat, dan sumpah jabatan. Tapi ruh demokrasi yakni keadilan, transparansi, dan akuntabilitas perlahan-lahan terkikis.

Pasal  4 Ayat (1) UUD NRI 1945 “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar”. Indonesia menjadi salah satu dari negara di dunia ini yang menganut bentuk pemerintahan Republik dan sistem pemerintahan presidensial, hal ini berimplikasi bahwa Presiden memegang dua kekuasaan sekaligus dalam satu masa jabatannya.

Menurut Juan J. Linz, sistem presidensil memiliki karakteristik utama: kepala negara dan kepala pemerintahan berada di tangan satu orang (presiden), yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu yang terpisah dari legislatif. Sistem ini menekankan pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan independensi antar lembaga negara.

Namun, Linz juga memperingatkan bahaya sistem presidensil yang bisa menghasilkan “konsentrasi kekuasaan” jika tidak disertai mekanisme kontrol yang efektif. Ketika presiden mengendalikan partai mayoritas di parlemen, menunjuk dan menundukkan pejabat hukum dan lembaga pengawas, serta memonopoli narasi publik melalui media, maka sistem presidensil itu berubah menjadi bentuk kekuasaan yang nyaris absolut menjadi monarki terselubung.

Presiden menjelma raja tanpa mahkota. Ia mengangkat “putra mahkota” politik. Ia mengatur suksesi dengan tangan tak terlihat. Ia berdiri di atas hukum yang lentur terhadap penguasa dan kaku terhadap rakyat biasa. Tak ada oposisi yang benar-benar kuat, karena semua telah dirangkul atau dilumpuhkan. Media dijinakkan, kritik dibungkam dengan kata “pencemaran nama baik”, dan rakyat dibuai narasi stabilitas.

Dalam wajah sistem presidensil yang semestinya menjunjung pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances, kita justru menyaksikan sentralisasi kuasa yang nyaris absolut. Demokrasi ini bertopeng. Ia mengenakan wajah merakyat, tetapi bertindak seperti bangsawan. Ia berbicara tentang kebebasan, namun mencurigai setiap suara yang berbeda.

Presidensialisme seharusnya membawa keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan lembaga-lembaga negara lainnya, menghindari dominasi satu tangan dalam pengambilan keputusan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: presiden bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan menjelma sebagai pusat gravitasi kekuasaan  dibantu oleh dinasti politik, loyalis, dan jejaring oligarki yang tak tergoyahkan. Di balik mekanisme pemilu dan jargon partisipasi rakyat, tersimpan arsitektur kekuasaan yang terpusat dan terwariskan. Demokrasi kita berjalan dengan wajah monarki yang disamarkan.

Fenomena dinasti politik adalah gejala paling gamblang. Kekerabatan menjadi tiket emas untuk menduduki jabatan strategis. Pemilihan umum tak lagi menjadi arena kompetisi ide, melainkan ajang legitimasi kekuasaan yang telah didesain. Seseorang bisa dengan mudah melenggang ke tampuk kuasa bukan karena kapasitasnya, tetapi karena garis keturunan atau kedekatan dengan lingkar istana. Demokrasi pun kehilangan esensinya: meritokrasi ditumbangkan, dan regenerasi politik menjadi ilusi.

Tak berhenti di situ, sistem presidensil kita kini mulai kehilangan sekat pemisahnya. Legislatif bukan lagi kekuatan penyeimbang, melainkan mitra strategis kekuasaan  yang terkadang tampak lebih sibuk menjaga keharmonisan dengan eksekutif ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat. Lembaga-lembaga negara lain pun seolah dijinakkan, takluk pada satu komando yaitu presiden. Ini bukan lagi presidensialisme yang sehat, ini adalah monarki dalam wujud demokrasi.

Topeng presidensil yang dikenakan hanya menutupi wajah asli kekuasaan yang kian otoriter, meskipun tetap menjaga estetika demokrasi: pemilu, kampanye, debat publik, hingga polling elektabilitas. Tapi rakyat mulai sadar, bahwa di balik layar demokrasi prosedural, ada panggung besar yang dimainkan oleh aktor-aktor lama, dengan naskah yang terus diulang.

“Kita sedang hidup dalam demokrasi monarki. Suatu ironi, di mana rakyat tetap memilih, namun tak benar-benar berkuasa. Di mana konstitusi dihormati secara lisan, tapi ditekuk secara praktik. Di mana sistem presidensil hanyalah kemasan modern bagi pola kekuasaan lama: sentralistik, patronistik, dan feodal”.

Demokrasi yang hidup dari kosmetika elektoral akan rapuh. Ketika rakyat merasa hanya dijadikan alat legitimasi, bukan subjek utama kekuasaan, maka jarak antara negara dan warga negara akan melebar. Ketika presiden tak lagi sekadar pemimpin lima tahunan, melainkan simbol dinasti yang hendak dipertahankan maka demokrasi selama ini kita agung-agungkan  telah dikorbankan.

Kini saatnya kita bertanya: apakah kita masih hidup dalam demokrasi? Ataukah kita sedang menyaksikan transformasi kekuasaan menuju bentuk baru dari monarki elektoral? Sebuah sistem yang tetap menggelar pemilu, tapi hasil akhirnya selalu bisa ditebak?

Wajah demokrasi kita memang semakin kusam  dan topeng presidensil itu mulai retak. Di baliknya, tampak jelas bentuk kekuasaan lama yang tak pernah benar-benar pergi: kekuasaan yang terpusat, tertutup, dan diwariskan.

Sudah waktunya kita membuka topeng itu. Demokrasi bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan itu dikontrol. Demokrasi bukan soal menang dalam pemilu, tapi tentang menjaga martabat rakyat setelah pemilu usai. Bila sistem presidensil hanya dijadikan kendaraan untuk membangun dinasti politik, maka kita tak sedang beranjak ke masa depan kita sedang mundur ke masa feodal, dengan kostum republik.

Jalam Menuju Menuju Demokrasi Sejati:Kepemimpinan Visioner dan Berintegritas. Pemimpin ideal bukan hanya memiliki elektabilitas, tapi integritas, visi, dan keberanian untuk tidak menjadikan kekuasaan sebagai warisan.

Reformasi Sistem Politik dan Kepartaian: Batasi Dinasti Politik

Undang-undang harus tegas membatasi praktik politik turun-temurun yang melemahkan meritokrasi. Transparansi dan Demokratisasi Internal Partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi harus menjalankan proses rekrutmen kader secara terbuka, bukan berdasarkan kedekatan atau garis keturunan. Parlemen Independen, Legislatif harus berdiri sebagai pengontrol kekuasaan, bukan menjadi bagian dari orbit kekuasaan eksekutif. Kemandirian Hukum. Reformasi sistem peradilan dan lembaga hukum agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan politik.

Demokrasi yang sehat bukan tentang seberapa sering rakyat memilih, tetapi seberapa besar rakyat benar-benar memiliki kendali atas arah negara. Jika kekuasaan terus diwariskan, jika lembaga publik dikuasai elit, dan jika kritik dianggap ancaman, maka demokrasi telah berubah menjadi monarki modern hanya saja kini berkostum presidensil. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version