google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Tunjangan DPR Meningkat, Kok Bisa?

Intan Suwardi. (Istimewa)

Oleh: Intan Suwardi

_______________

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

DI lansir dari CNCB Indonesia, Isu mengenai gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan tajam publik. Besaran penghasilan resmi wakil rakyat disebut telah menembus lebih dari Rp100 juta per bulan setelah diberlakukannya tunjangan rumah senilai Rp50juta perbulan. Kebijakan ini diberlakukan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang sebelumnya tersedia, namun justru menimbulkan polemik besar karena dinilai tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin tertekan. Dengan rincian gaji pokok DPR RI perbulan dengan masing-masing jabatan yaitu, Ketua DPR RI Rp5.040.000, Wakil Ketua DPR RI Rp4.620.000 dan anggota DPR RI Rp4.200.000. Namun gaji pokok hanyalah bagian kecil dari keseluruhan kompensasi. Anggota dewan juga mendapatkan tunjangan yang nominalnya sesuai dengan jabatannya. Semakin tinggi jabatan, maka tunjangan yang didapat akan semakin besar. Seiring berjalannya waktu, berbagai komponen tunjangan ditambahkan. Ada tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, hingga berbagai fasilitas seperti uang sidang, asisten anggota, listrik, telepon, dan tunjangan beras.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para anggota dewan dalam sistem demokrasi bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan. Ini semua merupakan konsekuensi logis atas politik transaksional yang menjadi mahar dalam rangka mengantarkan mereka mencapai kursi di Senayan. Perilaku para anggota dewan yang ramai-ramai mendahulukan tunjangan sebelum mereka bekerja dan berkorban untuk rakyat adalah indikasi kuat bahwa kinerja DPR tidak akan jauh-jauh dari kue kekuasaan. Belum lagi maraknya politik dinasti di sana yang jelas-jelas meningkatkan potensi bancakan uang negara. Lagi-lagi rakyat hanya sekadar penggembira dalam ajang pesta demokrasi, alih-alih menjadi perhatian utama dalam masa jabatan para anggota dewan.

Dalam Khilafah terdapat struktur bernama Majelis Umat, yaitu majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw yang sering meminta pendapat/bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. Ada orang-orang tertentu di antara para sahabat yang Rasulullah meminta masukan dari mereka, di antaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah. Kaum muslim pun melanjutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa khulafaurasyidin dan para khalifah setelahnya. Rasulullah saw tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan asas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka, melainkan berdasarkan dua asas. Pertama, mereka adalah para pemimpin kelompok mereka, tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. Kedua, mereka adalah representasi dari kaum Muhajirin dan Anshar. Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukkan. Mereka adalah wakil-wakil masyarakat dalam mengemukakan pendapat serta menjadi representasi masyarakat, baik individu maupun kelompok, dalam mengemukakan pendapat. Kalangan nonmuslim yang menjadi warga Khilafah boleh menjadi anggota Majelis Umat. Hal itu dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, juga dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan publik bagi mereka, dan yang semisalnya. Posisi Majelis Umat ini jelas berbeda secara diametral dengan para wakil rakyat di dalam sistem demokrasi. Ini terlihat jelas dari peran mereka. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Fungsi ini tidak terdapat dalam Majelis Umat. Mereka mewakili umat murni dalam rangka melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (alhukkam) serta syura (musyawarah). Jika ada legislasi hukum, itu adalah wewenang khalifah selaku kepala negara, melalui adanya ijtihad dan dalam konteks tabani (adopsi) hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan penetapan anggaran negara juga merupakan wewenang khalifah yang berada dalam pengelolaan baitulmal.

Satu hal yang harus kita ingat, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis. Demikian halnya jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga. Jika kita mencermati gambaran para anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam, sungguh motivasi mereka untuk mewakili rakyat/warganya sangat jauh berbeda dengan para anggota dewan saat ini. Anggota Majelis Umat berperan mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan, karena hal itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa maupun memperkaya diri. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version