Oleh: M. Sudarwin Hasyim, ST., MT
Dosen Teknik Sipil Universitas Bumi Hijrah Tidore, Ketua Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (ATAKI) Maluku Utara. Saat ini sedang menempuh studi doktoral Ilmu Teknik Sipil (Manajemen Konstruksi) di Universitas Brawijaya Malang
_____________________
PENUNDAAN pembayaran proyek konstruksi merupakan persoalan krusial dalam tata kelola pembangunan infrastruktur di Indonesia. Permasalahan ini berdampak pada keterlambatan progres fisik, meningkatnya biaya proyek, serta menurunnya mutu pekerjaan. Studi kasus di Provinsi Maluku Utara menunjukkan bahwa penundaan pembayaran tidak hanya merugikan kontraktor, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Opini ini mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif manajemen konstruksi, menganalisis dampaknya terhadap kontraktor, konsultan, dan pemerintah daerah, serta menekankan peran asosiasi konstruksi sebagai aktor strategis. Kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda dihadapkan pada tantangan besar untuk menata ulang tata kelola keuangan proyek, mengatasi legacy problem dari pemerintahan sebelumnya, dan membangun kembali kepercayaan stakeholder melalui reformasi sistem pembayaran dan kolaborasi dengan asosiasi konstruksi.
Pembangunan infrastruktur adalah instrumen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, permasalahan klasik berupa penundaan pembayaran oleh pemilik proyek, khususnya pemerintah daerah, masih menjadi hambatan utama yang menggerus kredibilitas tata kelola proyek publik. Menurut Kerzner (2017), keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh pemenuhan triple constraint (biaya, waktu, dan mutu). Penundaan pembayaran adalah faktor risiko yang langsung memengaruhi ketiga aspek tersebut. Dalam konteks Indonesia, penelitian Wibowo (2016) menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran dari pemerintah sering menjadi penyebab utama keterlambatan proyek (time overrun) dan pembengkakan biaya (cost overrun).
Provinsi Maluku Utara saat ini menghadapi persoalan tersebut secara serius. Gubernur Sherly Tjoanda mewarisi sejumlah proyek multi-year dengan masalah keuangan kompleks akibat kebijakan pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan analisis menyeluruh untuk memahami implikasi penundaan pembayaran proyek dan strategi penyelesaiannya. Dari perspektif manajemen konstruksi, persoalan ini bukan sekadar isu teknis administrasi, melainkan mencerminkan kelemahan fundamental dalam tata kelola proyek publik.
Penundaan pembayaran proyek konstruksi menimbulkan dampak berantai yang signifikan, memengaruhi kontraktor, tenaga kerja, kualitas proyek, perekonomian daerah, hingga kredibilitas pemerintah. Penundaan pembayaran secara langsung menghambat arus kas (cash flow) kontraktor. Hambatan ini mengakibatkan kesulitan serius dalam pemenuhan kewajiban operasional, seperti membayar upah pekerja, membeli material, dan menyewa alat berat. Kondisi ini sangat memberatkan, terutama bagi kontraktor kecil-menengah yang memiliki modal kerja minimal, yang pada akhirnya meningkatkan potensi kebangkrutan jika penundaan berlangsung dalam jangka waktu lama. Dampak negatif merambat ke tingkat operasional. Tertundanya pembayaran upah kepada tenaga kerja dapat memicu penurunan produktivitas dan bahkan mogok kerja. Kelompok yang paling terdampak adalah subkontraktor lokal yang umumnya beroperasi dengan keterbatasan modal, membuat mereka rentan terhadap tekanan finansial ini.
Penundaan seperti ini berdampak langsung pada pelaksanaan proyek dan ekonomi makro daerah, yang ditunjukkan dengan terhambatnya progres fisik dan menyebabkan time overrun, peningkatan biaya proyek (cost escalation) akibat inflasi material, risiko penurunan kualitas konstruksi karena kontraktor menekan biaya operasional, serta terhambatnya multiplier effect ekonomi yang seharusnya timbul dari infrastruktur, seperti kelancaran transportasi dan penciptaan lapangan kerja. Kegagalan tata kelola pemerintah daerah terjadi pada aspek implementasi, meskipun regulasi telah tersedia, yang diindikasikan oleh lemahnya manajemen kas dan proyeksi keuangan, birokrasi berlapis yang memperlambat proses Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), munculnya praktik year-end syndrome yang menumpuk pembayaran di akhir tahun, serta adanya ketidakpatuhan kontraktual yang sering memaksakan kontraktor bekerja tanpa jaminan pembayaran, secara keseluruhan menunjukkan adanya defisit governance dalam pengelolaan proyek publik.
Asosiasi konstruksi memiliki peran strategis dalam mereduksi dampak penundaan pembayaran melalui fungsi utamanya, yaitu melakukan advokasi dan perlindungan anggota untuk memperjuangkan hak kontraktor, mediasi sengketa guna mencegah eskalasi klaim, edukasi dan penguatan kapasitas terkait manajemen arus kas dan kepatuhan kontrak, serta reformasi sistem nasional dengan mendorong implementasi escrow account dan transparansi pembayaran; dengan demikian, dalam konteks Maluku Utara, asosiasi harus berfungsi sebagai mitra kritis bagi Gubernur Sherly Tjoanda untuk memastikan stabilitas industri konstruksi lokal.
Pemerintahan saat ini mewarisi masalah serius yang timbul akibat kebijakan infrastruktur sebelumnya yang memaksakan proyek multi-year tanpa kesiapan dana, mengutamakan target politik dari pada studi kelayakan finansial, dan mengabaikan manajemen risiko keuangan daerah; akibatnya, beban utang proyek secara signifikan menekan ruang fiskal pemerintah daerah saat ini, sekaligus menurunkan kepercayaan kontraktor dan masyarakat.
Solusi dari perspektif manajemen konstruksi harus diimplementasikan secara bertahap, dimulai dengan upaya jangka pendek berupa audit proyek lama, inventarisasi tunggakan, prioritisasi pembayaran berdasarkan manfaat, dan komunikasi transparan; dilanjutkan dengan reformasi sistem jangka menengah melalui penerapan proyeksi arus kas yang realistis, penguatan peran konsultan manajemen konstruksi dalam verifikasi, dan implementasi sistem escrow account; hingga pada reformasi tata kelola jangka panjang yang mencakup regulasi ketat proyek multi-year dengan jaminan dana, penerapan manajemen risiko terintegrasi, dan pembangunan kembali kepercayaan investor melalui tata kelola proyek publik yang kredibel.
Penundaan pembayaran proyek konstruksi di Maluku Utara mencerminkan kelemahan tata kelola keuangan daerah, kegagalan manajemen risiko, dan defisit governance proyek publik. Dampaknya sangat luas: mulai dari kontraktor, subkontraktor, hingga masyarakat yang tertunda menerima manfaat infrastruktur.
Semoga saja kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda memiliki momentum untuk melakukan reformasi sistem pembayaran proyek. Peran asosiasi konstruksi menjadi sangat strategis dalam melindungi kontraktor, mendorong regulasi, dan menjaga stabilitas industri konstruksi daerah. Dengan kombinasi strategi jangka pendek, menengah, dan panjang berbasis prinsip manajemen konstruksi, Maluku Utara dapat membangun tata kelola infrastruktur yang lebih kredibel, transparan, dan berkelanjutan.
Sebagai putra daerah yang mendalami Manajemen Konstruksi, saya memandang bahwa persoalan penundaan pembayaran proyek tidak boleh dipandang sekadar sebagai isu administratif. Ini adalah persoalan masa depan pembangunan Maluku Utara, yang menyangkut kesejahteraan rakyat, daya saing daerah, dan citra pemerintahan di mata publik. Saya meyakini bahwa dengan keberanian politik, kepemimpinan yang visioner, serta sinergi antara pemerintah, asosiasi konstruksi, dan para kontraktor lokal, Maluku Utara dapat bangkit dari problem klasik ini.
Harapan saya bahwa opini ini bukan hanya analisis akademis, melainkan juga sebuah suara kepedulian dari anak negeri yang ingin melihat Maluku Utara tidak lagi tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, tetapi justru berdiri sejajar dengan daerah lain melalui tata kelola proyek publik yang transparan, adil, dan berkeadilan sosial. (*)