Opini  

Menerka Realitas Pendidikan Masyarakat Pesisir

Firdaus Muhidin.

Oleh: Firdaus Muhidin

Sekum Pengurus Komisariat KAMMI IAIN Ternate

MASYARAKAT Indonesia terkenal sebagai negara maritim, karena keadaan geografisnya yang didominasi oleh wilayah perairan. (Asep Kurniawan, 2016:95). Tak terkecuali masyarakat pesisir yang berada dibibir pantai perarian. Disamping itu masyarakat pesisir sangat heterogen dengan kondisi alam dalam keadaan tertentu aktifitas pencaharian mereka melaut-nelayan inilah yang sering kita kenal dalam kehidupan masyarakat pesisir.

Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumber daya wilayah pesisir-lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir-lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir-lautan.

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik menarik perhatian pengunjung karena posisi rerumahan yang berada di atas permukaan air laut,  salah satunya Suku Bajo yang ada di Kapupaten Halmahera Selatan. Baik itu Desa Bajo yang berada di Kecamatan Joronga, Kayoa, Bajo Sangkuan, dll, sebagai masyarakat pesisir pelaut-nelayan. Yang menjadi persoalan saya dalam hal ini adalah pendidikan dalam peningkatan sumber daya manusia yang mendukung dalam peningkatakan pengelolaam sumber daya alamnya pesisir-lautan.

Pendidikan hari ini sebagai penentu masa depan masyarakat pesisir kedepan. Karena pendidikan diperhitungkan dalam menghadapi tantangan zaman. Banyak persoalan yang belum terselesaikan di dalam pendidikan kita saat ini. disisi lain memang kita sudah berada di era modern yang memberi kemudahan dalam mengakses perubahan dalam pendidikan. Disamping perkembangan teknologi memberikan peluang besar bagi setiap orang terutama dalam pendidikan yang siswa dan guru itu sendiri untuk berkreatifitas sesuai dengan bakat serta minat dibidangnya. Disisi lain pula memberikan dampak negatif yang sama bahwa teknologi terjadi penyatuan pada psikologi siswa yang membuat siswa mudah saja melakukan tindakan amoral diluar kendali dalam pengawasan guru dan orang tua. Hal semacam ini akan merugikan berbagai pihak baik  itu siswa, guru, dan orang tua yang tidak terkontrol.

Tetapi itu sebuah keniscayaan dalam proses membangun manusia yang beradab bukan suatu hal yang mudah dan butuh proses yang lama, dalam upaya meningkatkan kualitas manusianya, pendidikan yang baik dan tepat sasaran. Kaitanya hal ini pendidikan diwilayah masyarakat pesisir yang berada diperdesaan tentu pada kondisi yang sama walupun dalam akses informasi minim dalam penyerapan perkembangan dalam pendidikan sumber daya manusianya.

Dalam kenyataanya saya sebagai masyarakat pesisir perdesaan mengalami hal yang serupa. Tetapi itulah pendidikan masyarakat pesisir yang mengalami kebuntutan dalam proses memanusiakan siswa dalam pendidikan tidak tepat sasaran sesuai harapan tujuan pendidikan. Disebabkan akses pendidikan yang tidak memadai kondisi masyarakat pesisir dalam hak akses pembangunan, sarana-prasaran, guru, dan lainya. Sederhana dapat digambarkan secara singkat pertujukkan dalam sebuah film Avatar 2 atau Avatar: The Way of Water yang ditayangkan pada Rabu (14/12/2022), tahun lalu. Film tersebut besutan James Cameron  yang menggambarkan dua kultur kehidupan masyarakat. Pertama, masyarakat pesisir (perdesaan) sebutan Klan Meltkayina adalah bangsa klan yang hidup berdampingan dengan lautan. Mereka mendirikan rumah-rumahnya di sela-sela akar pohon laut seperti bangkau. Kedua, masyarakat darat  (perkotaan) adalah masyarakat yang hidup diatas tanah mendirikan rumah, gedung mewah, hidup berdampingan dengan teknologi canggih, dengan akses memadai.

Sehinga dalam kontkes tersebut menggambarkan bahwa betapa keterbatasanya masyarakat pesisir yang hanya hidup di pesisir luat akses terbatas dan tidak terjangkau dibandingkan perkotaan. Seorang sutradara yang terinspirasi dengan kondisi kehidupan masyarakat pesisir yang kemudian digali lebih dalam lalu di implementasikan ke dalam sebuah film yang menggema seantero penonton, ada sisi positif yang menunjukkan dalam sebuah film itu bahwa potensi alam dan sumber daya manusia belum tersentuh dan dikembangkan mulai dari pendidikan, ekonomi, pembangunan, dll, itulah masyarakat pesisir yang masih terbatas sumber daya manusianya dalam pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki.

Di sisi lain, dalam kaitan soal ini diakibatkan oleh faktor kemiskinan struktural yang berkelanjutan merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor struktur ekonomi dan politik yang melingkupi masyarakat pesisir. Struktur ekonomi dan politik yang kurang berpihak pada sekolompok masyarakat tertentu sehingga menimbulkan hambatan-hambtan dalam akses sumber daya ekonomi, lapangan pekerjaan dan pasrtisipasi dalam pembangunan dan termasuk juga pendidikan. Pendidikan termasuk kedalam struktur kemiskinan yang saya maksud inilah yang kemudian dipersoalkan dalam masyarakat pesisir.

Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasaranya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang oleh sebab itu pendidikan juga merupakan alur tengah dari seluruh sektor pembangunan. Pembangunan dalam keterkaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia yang berarti bahwa pembangunan adalah tidak semata mata membangun material dan fisik tetapi juga membangun spiritual dan keberhasilan pembangunan dapat tercermin dari sisi ekonomi atau material dan juga sisi spiritual yang terlihat pada esensi pembangunan bertumpuk dan berpangkal pada sisi manusianya. Maka dengan demikian yang menjadi tujuan akhir pembangunan adalah manusia.  Manusia sebagai modal pembangunan tidak terlepas dari pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dalam melihat keberhasilan pembangunan.

Sarana dalam perolehan sumber daya manusia adalah sekolah secara formal dijadikan sebagai sarana pendidikan dalam memperoleh ilmu yang lebih layak. Tetapi pendidikan masyarakat pesisir jauh dari akses pembangunan pendidikan yang tidak tersentuh pada realitas pendidikan masyarakat pesisir di desa saya (Tawabi-Joronga) mungkin saja hal yang sama pada desa lain. Kurangnya akses pendidikan sehingga berdampak pada anak-siswa maka hal ini bagi orang tua tidak ada pilihan lain anak sebagai tumpuan harapan untuk membantu mendapatkan nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Orang tua juga kurang memberi perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak di sekolah, kalaupun ada itu hanya sekedar bagaimana anak itu pulang dari sekolah kemudian turut serta ikut melaut. Pada kenyataanya, pada usia meningkat remaja anak mulai bernelayan, mulai di ajak berlayar dan ikut melaut sehingga mereka jarang sekolah.

Kini perlu disadari bahwa kehidupan masyarakat pesisir memerlukan perhatian yang multi demensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan masyarakat pesisir menjadi meningkat kesejahteraanya. Besar kemungkinannya bahwa hal ini dapat dicapai dengan melalui pendidikan yang mana akan mengangkaat harkat dan martabat kehidupan masyarakat pesisir yang ada yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir.

Di sisi lain pada kenyataanya pendidikan masyarakat pesisir kurangnya legitimasi dari pemerintah, apalagi dalam soal dari rendahnya mutu dan relevansi pendidikan yang di sebabkan oleh faktor dari ketidak mampuan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Distribusi guru tidak merata, pendayagunaan tidak efesien yang menyebabkan kinerja guru tidak optimal. Apalagi bicara profesionalisme guru masih dirasakan rendah, terutama karena rendahnya komitmen penyiapan guru dan pengelolahanya.

Bagi masyarakat pesisir tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan gelombang laut, cuaca lautan untuk menagkap ikan adalah merupakan pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai masyarakat pesisir. Pada usia meningkat remaja anak masyarakat pesisir mulai berlayar, ikut melaut. Anak masyarakat pesisir turun melaut pagi-sore hari sesuai kondisi yang di inginkan orang tua. Dengan demikian bahwa dalam realitas masyarakat pesisir menjadi masalah sosial pendidikan yang harus di atasi adalah; rendahnya tindkat pendidikan, miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang tersedia wadah pekerjaan informal, kurangnya daya kreativitas. Hal yang sama dikatakan oleh Arif Satria bahwa masyarakat pesisir adalah kalangan yang berpendidikan rendah yang seringkali tidak mengerti tentang perkembangan prodak perundangan dan tata pemerintahan.

Selain mata pencaharian yang bersumber dari laut sebagai akar ekonomi masyarakat pesisir, keberlangsungan hidup untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah harus ada sinergi pendidikan yang diperioritaskan memenuhi atribut formal dan non-formal untuk mengembangkan anak-anak pesisir yang orang tuanya hanya berharap kepada lembaga pendidikan yang bersifat formal. Dengan demikian, Pendidikan non-formal menjadi pintu solusi untuk mendapatkan pengalaman yang lebih luas, bagi saya, masyarakat pesisir karena pendidikan informal bagi masyarakat pesisir dianggap beku, kurang kepedulian terhadap anak-siswa. Selain itu, kendala utama yang dihadapi anak pesisir adalah minimnya fasilitas yang menunjang pendidikannya. Di saat orang lain belajar di rumah dengan fasilitas yang lengkap, rumah mewah, tetapi anak pesisir belum mampu mendapatkan hal tersebut. Wallahu ‘alam bishawab. (*)