Opini  

PT IMS, Ancaman Serius Masyarakat Desa Bobo

Chrisvanus Th Lahu. (Istimewa)

Oleh: Chrisvanus Th Lahu
Pemuda Desa Bobo

___________________________

ADAGIUM klasik yang sering terdengar, “Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan”. Begitulah potret industri ekstraktif pertambangan yang dirasakan oleh setiap warga lingkar tambang. Ada ancaman kerusakan lingkungan yang sangat nampak, ada perubahan perilaku masyarakat, serta rentan dengan konflik sosial, namun sedikit memberikan kontribusi kesejahteraan.

Sebelum jauh penulis mengulas ini, mari kita melirik Desa Bobo yang saat ini dalam ancaman pertambangan. Desa ini terletak di ujung selatan Pulau Obi dan terbilang cukup besar karena memiliki penduduk sebanyak 1.982 orang (BPS_2024). Mayoritas penduduk di sini memiliki profesi petani dan nelayan, yang mengandalkan tanaman serta hasil tangkapan di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul menjadi ciri khas desa ini, karena sudah mencetak ratusan sarjana dengan berbagai macam profesi serta menduduki jabatan strategis baik di birokrasi, legislatif maupun lembaga lainnya.

Secara geografis, Desa Bobo memiliki dua aliran sungai di tengah pemukiman yang memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun menjadi tempat mandi serta mencuci pakaian. Samping kiri dan kanan sepanjang wilayah Desa Bobo, juga banyak aliran sungai sangat jernih. Misalnya salah satu sungai di dekat perbatasan antara Desa Bobo dan Fluk, namanya “Air Kolano” memiliki air yang sangat jernih dengan bebatuan khasnya. Andai saja sudah ada jalan lingkar Obi, mungkin sungai tersebut sudah menjadi destinasi wisata unggulan di Pulau Obi karena memiliki spot yang sangat elegan. Beberapa waktu lalu saat saya mengunjungi sungai tersebut, airnya terlihat berbeda dari biasanya. Sekarang lebih kabur dengan endapan tanah yang melekat di bebatuan. Ketika berdiskusi dengan beberapa kawan dan orang tua di sana, mereka menyampaikan bahwa di belakang sungai ini, merupakan wilayah eksplorasi pertambangan. Setelah dilirik, daerah ini masuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dari PT Intim Mining Sentosa (IMS) yang terlihat jelas di peta perizinan mereka kurang lebih 3.185 hektare di Desa Fluk dan Bobo. Wilayah produksi tersebut, persis melintasi “Air Kolano” yang selama ini memenuhi kebutuhan masyarakat, yang berkebun di lokasi tersebut. Sudah terbayangkan, jika PT Intim Mining Sentosa (IMS) beroperasi, maka dampak pencemarannya pasti sangat terasa.

Memang sepanjang satu tahun terakhir, masyarakat mendiskusikan PT Intim Mining Sentosa yang diketahui Izin Usaha Pertambangannya (IUP) ternyata sudah terbit sejak tahun 2011 silam, namun baru rencana beroperasi pada beberapa waktu terakhir ini. Karena banyak mendapat penolakan, perusahaan ini melakukan pendekatan persuasif, mulai dari bantuan rumah ibadah, rencana pembuatan jembatan yang tidak terselesaikan serta beberapa bantuan lainnya dengan maksud memenangkan hati masyarakat, agar perusahaan tersebut segera beroperasi. Beberapa hari lalu, PT Intim Mining Sentosa mencoba melakukan konsultasi publik Rencana Induk Pemberdayaan Masyarakat (RI PPM) untuk mengetahui potensi desa serta melakukan pemberdayaan. Dalam beberapa sumber, aktivitas ini dilakukan sebagai laporan ke Kementrian ESDM untuk proses lebih lanjut. Sayangnya, proses ini seakan melompat melewati berbagai tahapan lain yang sangat fundamental.

Pertama, tahapan kajian AMDAL merupakan bagian paling penting dalam aktivitas pertambangan karena memiliki dampak langsung dan bisa sangat merugikan masyarakat lingkar tambang. Kondisi Desa Bobo yang banyak memiliki aliran sungai serta perkebunan masyarakat, sangat rentan dengan banjir serta pencemaran lingkungan jika kajian AMDAL-nya abal-abal dan hanya “Asal Jadi”. Maka AMDAL perlu dikaji secara teliti dengan melibatkan seluruh stakeholder dan tokoh masyarakat agar tidak mencemari sungai, serta tidak mengganggu aktivitas masyarakat yang bertani sesuai dengan UU PPLH dan UU Cipta Kerja yang berlaku saat ini. Pada dokumen Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT IMS, diterbitkan tahun 2011 dan berakhir di tahun 2026 namun belum ada aktivitas produksi selama satu dekade terakhir. Beberapa waktu terakhir, upaya diplomasi antara perusahaan terhadap masyarakat lagi gencar-gencarnya dilakukan. Sayangnya, proses ini tidak terbuka pada masyarakat, poin-poin apa saja yang telah disepakati dalam dokumen AMDAL tersebut. Hipotesa masyarakat, dokumen AMDAL tersebut telah kedaluwarsa serta tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat karena izin usahanya telah diterbitkan tiga belas tahun silam.

Kedua, persoalan pembebasan lahan belum dituntaskan oleh pihak perusahaan. Spesifiknya masyarakat harus mendapatkan ganti rugi lahan yang seimbang agar tidak menyebabkan konflik agraria yang signifikan di tengah aktivitas produksi pertambangan. Hal ini jelas tertuang dalam UU No 3 Tahun 2020 pasal 136 ayat 1 yang berbunyi “ Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Namun dalam pelaksanaannya, pihak perusahaan belum mencapai kesepakatan dengan masyarakat terkait dengan biaya ganti rugi lahan yang tidak membebani masyarakat.

Ketiga, belum ada sosialisasi masterplan terkait mitigasi bencana jika terjadi bencana akibat aktivitas pertambangan. Masterplan mitigasi bencana terintegrasi sebagai bagian manajemen penanggulangan bencana berbasis Local Resources Empowerment, di antaranya mengidentifikasi potensi bencana, menganalisa risiko yang ditimbulkan, menyediakan infrastruktur dan teknologi yang bisa mencegah adanya korban dari bencana tersebut (infobimteknasional.com). Mitigasi ini penting dilakukan untuk memastikan keamanan masyarakat yang beraktivitas di sepanjang pesisir dan hutan wilayah Desa Bobo karena secara geografis, Desa Bobo terdapat sangat banyak aliran sungai yang sangat rentan dengan banjir saat hujan tiba.

Kerancuan penyusunan RI PPM

Kepmen ESDM No 1824 K/30/MEM/2018 tentang “Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat” memang menjadi kewajiban perusahaan untuk melihat potensi desa serta pemberdayaan bagi masyarakat desa dengan kajian pemetaan sosial untuk meninjau delapan program utama masyarakat yaitu sektor pendidikan, kesehatan, pendapatan rill, kemandirian ekonomi, sosial budaya, kelembagaan komunitas serta infrastruktur (Socialinvestment.id_2019). Proses ini yang dirasa rancu dan tidak memenuhi kebutuhan masyarakat secara totalitas. Kegiatan konsultasi publik nampaknya tidak berjalan maksimal secara terbuka dan formal melibatkan seluruh lapisan masyarakat Desa Bobo. Alih-alih kegiatan ini dijalankan, malah menuai protes keras dari masyarakat karena terkesan formalitas untuk memenuhi syarat laporan ke kementrian ESDM. Malah berdasarkan informasi yang dihimpun, ada dugaan agenda konsultasi publik ini tidak dilakukan secara formal dan legal melainkan door to door melalui kaki tangan perusahaan untuk mendapatkan respons dan simpati masyarakat kemudian dijadikan acuan terlaksananya konsultasi publik. Sejak agenda konsultasi publik dari desa, kecamatan hingga kabupaten tidak dilibatkan unsur masyarakat secara totalitas untuk melakukan kajian bersama. Pada 30 Januari, konsultasi publik tingkat kabupaten terlaksana dan dari unsur masyarakat hanya ada kepala desa dan tidak melibatkan tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat lainnya yang diduga sebagai skema terlaksananya konsultasi publik dengan mulus tanpa ada interupsi.

Dari berbagai kerancuan dan potensi kerusakan lingkungan yang besar, mayoritas masyarakat secara tegas menolak aktivitas pertambangan tersebut. Hal ini terlihat ketika pertemuan terbuka yang melibatkan tokoh agama serta seluruh masyarakat Desa Bobo. Dalam kajian tersebut, banyak faktor yang dipertimbangkan, salah satunya ancaman lingkungan yang sangat dirasakan secara signifikan. Dukungan penolakan tersebut tidak hanya lahir dari masyarakat setempat, melainkan tokoh agama, DPRD hingga aktivis lingkungan yang juga menyoroti hal tersebut dari berbagai sudut pandang.

Banyaknya masalah akibat pertambangan

Sepanjang satu dekade, maraknya konflik agraria di Indonesia menjadi sorotan utama dibalik banyaknya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun pemerintah. Maluku Utara menjadi salah satu lumbung konflik akibat banyaknya persoalan mulai dari legalitas izin usaha pertambangan sampai pada konflik sosial di daerah pertambangan. Pertama, kontroversi Izin Usaha Pertambangan(IUP) PT Intim Mining Sentosa merupakan yang kesekian kalinya terjadi di Maluku Utara. Kasus serupa juga dirasakan oleh masyarakat Halmahera Timur yang menolak PT Priven karena aktivitasnya tidak jauh dari pemukiman warga. Tahun kemarin, eks politisi inisal MS ditangkap atas dugaan suap ke gubernur untuk pengurusan 37 Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dikelola melalui MS (Kompas.com_2024). Ada ratusan IUP di Maluku Utara yang telah diterbitkan, namun hanya 27 yang beroperasi di Maluku Utara dan mayoritas izinnya bermasalah serta mendapat penolakan dari masyarakat.

Kedua, selain izin usaha pertambangan yang diperdebatkan, kerusakan lingkungan menjadi hal yang paling disoroti di wilayah pertambangan. Bencana banjir yang terjadi di Halmahera Tengah dengan dugaan deforestasi akibat aktivitas pertambangan yang membabat habis hutan hingga menyebabkan banjir besar di Lukulamo dan seputaran lingkar tambang. Sungai Sagea yang memenuhi kebutuhan masyarakat, kini tidak lagi dimanfaatkan karena telah tercemar. Selain itu, penelitian yang dilakukan beberapa akademisi, menunjukan kualitas laut teluk Weda dan teluk Buli sudah tercemar logam berat akibat dampak aktivitas pertambangan (Kompas.id_2023) dan tentu ini tidak boleh terjadi di lautan Obi, terkhususnya Desa Bobo, Obi Selatan.

Ketiga, konflik sosial di masyarakat akar rumput, seringkali terjadi. Pada tahapan awal produksi, yang sering terjadi adalah konflik antar sesama masyarakat yang seakan diadu domba karena ada pro kontra sehingga masyarakat menjadi terpecah belah hanya karena persoalan menerima dan tidak menerimanya aktivitas pertambangan. Mereka yang diuntungkan atas kehadiran pertambangan, tentu akan menerima dan tidak melihat dampaknya secara berkepanjangan. Tapi mereka yang masa depannya dipertaruhkan ke hasil pertanian, dan perikanan tentu akan menolak keras hal ini karena mengancam masa depan mereka. Potret lainnya menunjukan, padatnya penduduk yang bekerja di daerah tambang, menambah potensi konflik identitas antar kelompok tertentu. Hal ini terlihat dari meningkatnya intensitas konflik di Halmahera Tengah yang tak kunjung terselesaikan. Akibatnya, selalu ada korban tewas karena konflik-konflik yang demikian.

Meski banyaknya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bertebaran di Maluku Utara, namun nampak jelas bahwa hal ini tidak membawa dampak secara signifikan bagi masyarakat, terlihat dari angka kemiskinan yang mencapai 79 ribu orang (BPS_2024). Potret ini yeng perlu dilihat secara gamblang oleh pemerintah kabupaten serta provinsi yang perlu mengevaluasi setiap dokumen dan aktivitas pertambangan di wilayah Maluku Utara, bukan lagi menambah aktivitas produksi pertambangan yang tidak jelas legalitasnya.

Maka tidaklah berlebihan jika aktivitas PT Intim Mining Sentosa ditolak oleh masyarakat Desa Bobo dengan berbagai dampak buruk yang telah diuraikan. Karena sejauh manapun program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, tetap saja dampak negatif yang lebih besar diterima masyarakat. Harapan besarnya, problem ini dapat dilirik oleh pemerintah daerah untuk mengkaji kembali setiap dokumen perusahaan yang diduga kedaluwarsa. Saya yakin masih ada nurani pemimpin yang melekat tanpa mendahului kepentingan pribadi apalagi berafiliasi dan berkonspirasi dengan korporasi. (*)