Oleh: Abd. Rauf Wajo
______
PAGI itu (Jumat, 31 Desember 2021), media online mengabarkan tentang pelantikan Rektor Institut Agama Islam Negeri (selanjutnya disingkat-IAIN) Ternate beredar hingga sampai pada telepon genggam saya (handphone). Membaca berita itu, sembari saya berucap syukur atas prosesi pemilihan pucuk pimpinan yang berlansung selama beberapa bulan berakhir sudah, setelah Bapak Dr. Radjiman Ismail, M. Pd., diputuskan oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai Rektor IAIN Ternate masa khidmat 2021-2026. Tentunya semua peserta calon rektor memiliki kelayakan yang sama di hadapan Pak Menteri, karena mereka semua adalah figur terbaik yang memenuhi standar persyaratan dan kecakapan untuk menjadi Rektor di IAIN Ternate. Namun demikian menjadi pimpinan adalah bagian dari takdir kehidupan manusia, maka dalam kesempatan periode ini, Bapak Dr. Radjiman Ismail M. Pd., ditakdirkan Tuhan untuk menahkodai bahtera IAIN Ternate menuju masa depannya yang lebih baik.
Dibalik kesyukuran ini, sebagai sesama alumni yang memiliki keterikatan moral terhadap almamater IAIN Ternate, saya turut berbangga karena Pak Djiman yang juga Ketua Alumni IAIN Ternate, terpilih sebagai Rektor pertama dari alumni almamater IAIN Ternate. Oleh karena itu sebagai alumni, terbentang “HARAPAN” yang demikian besar kepada Bapak Rektor yang baru dilantik, agar dapat menjadi lokomotif untuk menarik gerbong IAIN Ternate sebagai salah satu perguruan tinggi yang unggul dan berdaya saing serta memiliki kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Tentunya harapan ini bukanlah sesuatu yang mudah, karena disadari sepenuhnya bahwa secara kelembagaan IAIN Ternate berada di tengah-tengah atmosfir Pendidikan Tinggi yang demikian kompetitif. Saat mana sudah banyak perguruan tinggi, baik Pendidikan Tinggi Umum maupun Agama yang mencapai tingkat kesuksesan secara kuantitif maupun kualitatif. Sementara IAIN Ternate masih terbelenggu oleh ruwetnya persoalan internal kelembagaan yang membutuhkan waktu untuk terurai. Tapi sekali lagi kami memiliki “HARAPAN” sekaligus keyakinan bahwa ditampuk kepemimpinan Pak Rektor Djiman, IAIN Ternate akan jauh lebih baik.
Dalam teori yang populer, harapan (expectancy) demikian dikemukakan, Vroom, akan berkisar antara nilai negatif (sangat tidak diinginkan) sampai dengan nilai positif (sangat diinginkan). Harapan negatif menunjukkan tidak ada kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sebagai akibat dari tindakan tertentu, bahkan hasilnya bisa lebih buruk (reaksi-refleksi). Sedangkan harapan positif menunjukkan kepastian bahwa hasil tertentu akan muncul sebagai konsekuensi dari suatu tindakan atau perilaku (reaksi-motivasi). (Victor H. Vroom, 1967).
Harapan Sebagai Reaksi dari Refleksi
Dalam konteks harapan alumni sebagai reaksi dari refleksi, setidaknya berpangkal dari realitas perjalanan IAIN Ternate dari masa ke masa dengan segala keruwetannya. Dimana hampir seluruh insider di IAIN Ternate memimpi akan terwujudnya transformasi kampus yang maju, bermutu dan berdaya saing di tengah-tengah gerak dinamika dan kompotesi perguruan tinggi lainnya, serta keinginan outsider akan kontribusi lembaga ini dalam menyodorkan solusi atas pelbagai problematika kehidupan masyarakat. Sementara IAIN Ternate masih terbelenggu dengan rutinitas internal yang belum berkesudahan. Sebagai misal, mutu akademik IAIN Ternate yang diukur dari standar akreditasi pada rata-rata program studi yang masih minim (sebagian besar prodi terakredisi BAIK dengan peringkat conversi C), jumlah dosen dengan gelar akademik profesor hanya satu orang, belum adanya jurnal terakreditasi, keterbatan infrastuktur penunjang kegiatan akademik serta sejumlah masalah lainnya yang belum terselesaikan. Belum lagi kita bicara sistem kinerja kelembagaan dalam beberapa tahun terakhir yang dinilai sangat kurang menurut Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP) dengan predikat D.
Realitas ini menunjukkan eksistensi IAIN Ternate tidak lebih dari “MENARA GADING“ yang berkutat dengan rutinitas di sekitar lingkungan tempatannya dan seperti sulit untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang kredibel. Betapa tidak, iklim akademik dikonstruk seperti berjalan pincang, karena hampir semua orang merasa “puas” dengan rutinitas kantoran yang masuk tepat pukul 07.00 dan kembali ke rumah pukul 16.00 WIT. Aktivitas kampus hanya berkutat dari rumah menuju tempat perkuliahan, mengurus administrasi, bercanda dengan sejawat lalu kembali lagi ke rumah, dan begitu seterusnya. Sementara tugas akademik lainnya sebagaimana diamanatkan dalam tri dharma perguruan tinggi sekan terabaikan. Hasil-hasil riset dosen hanya sekadar pajangan yang terpampang rapih di lemari perpustakaan, peran pengabdian bagi dosen sekadar formalisasi kegiatan dengan jumlah yang terbatas dan tidak berkontribusi bagi kebutuhan masyarakat. Akselarasi personal dosen maupun IAIN secara kelembagaan terhadap dinamika sosial, budaya dan keagamaan belum begitu mengemuka (jika adapun masih terbatas), bahkan terkadang dianggap tidak penting untuk dilibatkan. Alangkah naifnya jika diskursus keilmuan tentang problematika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat dilakukan tanpa keterlibatan stakeholders IAIN Ternate (tanpa bermaksud mengabaikan lembaga lainnya). Padahal problematika tersebut merupakan bidang kelimuan (core sains) sekaligus entitas IAIN Ternate. Pada aspek ini, maka harus diakui bahwa IAIN Ternate belum menjadi konseling yang baik dalam gerak dinamika kebutuhan pengetahuan masyarakat (user).
Harapan sebagai Motivasi
Dalam konteks motivasi, alumni berharap agar realitas di atas dapat memotivasi Pak Rektor untuk bergerak lebih cepat dan profesional agar IAIN Ternate bisa bangkit sebagai “MERCUSUAR” yang menjadi pusat rujukan pengembangan ilmu pengetahun, seni dan teknologi untuk peradaban hidup manusia. Robbins dan Judge menerangkan bahwa harapan sebagai motivasi merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan (Robbins & Judge, 2013). Jika IAIN Ternate memiliki tujuan menjadi pusat peradaban masyarakat melalui penguataan kelembagaan dan mutu akademik, maka kebijakan pengembangan IAIN Ternate harus diarahkan untuk mencapai visi transformasi akademik melalui perubahan kualitas layanan internal yang masif dan menyeluruh di semua unit pelaksana. Di samping itu, IAIN Ternate juga diharapkan lebih membumi dalam berkontribusi terhadap dinamika masyarakat dengan berbagai permasalahan yang mengitarinya. IAIN Ternate dengan demikian, dituntut untuk lebih optimal menjalankan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi agar dapat membedakan eksistensinya dengan lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar dan menengah atau madrasah.
Harapan Menuju Kampus Berkelas
Suatu kenyataan bahwa keberadaan IAIN di tengah-tengah Kota Ternate, berbarengan dengan pertumbuhan jumlah populasi masyarakat Ternate yang saat ini mencapai 205.001 jiwa dan diprediksi akan terus bertambah (BPS:2020). Pertambahan populasi penduduk ini dianggap wajar, karena Ternate sebagai kota dengan grafik pertumbuhan ekonomi yang selalu menunjukkan trend meningkat di setiap tahunnya, diikuti oleh tingkat kemudahan akses serta keamanan dan kenyamanan hidup, menjadi daya tarik tersendiri bagi migrasi populasi dari berbagai tempat ke Kota Ternate. Fakta ini menjadikan peran dan posisi IAIN Ternate sebagai sentral keilmuan di bidang pendidikan, sosial ekonomi, budaya dan keagamaan menjadi lebih menantang. Dan dalam posisi ini, maka IAIN Ternate tidak boleh kehilangan jati diri dalam memotret dialeketika sosial masyarakat melalui peran-peran penelitian dan pengabdian.
Jika membaca relasi antara perkembangan populasi masyarakat sebuah kota dengan keberadaan perguruan tinggi dalam riset Badri Munir Sukoco, dapat ditemukan bahwa ukuran ekonomi yang besar dari sebuah megacity (area metropolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta orang), tergantung kemampuannya menarik creative class untuk tinggal, berinteraksi, dan berkarya sehingga mengakselerasi roda perekonomian. Menurutnya, keberadaan megacity dengan ukuran ekonomi yang besar ternyata ditunjang oleh banyaknya universitas berkelas dunia. Sebutlah di California (klaster San Francisco-Los Angeles), terdapat 11 universitas top 100 dunia, misalnya Stanford, UC Berkeley, atau UCLA. Klaster Boston-New York-Pennsylvania menjadi rumah dari 10 universitas top 100 dunia, seperti Harvard, MIT, Princeton, dan lainnya. Begitu juga di London dengan 6 universitas top 50 dunia. Sukoco dalam riset ini, juga menemukan bahwa bukan suatu kebetulan, jika sebuah megacity menjadi rumah bagi banyak universitas kelas dunia. Megacity dapat berkembang tentunya membutuhkan pasokan creative class yang kontinu dan menjadi tempat mereka untuk berinteraksi menghasilkan produk-produk (baik barang dan jasa) yang inovatif. Pasokan dan lingkungan yang bisa memfasilitasi hal tersebut tentunya adalah universitas-universitas kelas dunia. Ketersediaan referensi yang up-to-date, profesor kelas dunia yang tidak hanya memedulikan rigor dari karya ilmiah yang dihasilkan namun relevance bagi masyarakat, dan budaya akademis untuk bertukar pendapat guna menemukan solusi yang terbaik, serta kemampuan universitas untuk menarik minat masyarakat dalam menimba ilmu dan berkarya di sana, serta ketersedian akses teknologi dan infrastruktur yang memadai, menjadi penting dari kesiapan universitas di tengah-tengah perkembangan megasity. (Badri Munir Sukoco, Jawa Pos, Juli 2017).
Data dalam riset ini tidak bermaksud memaksakan IAIN Ternate agar memiliki performa yang sama dengan beberapa kota dengan universitas berkelas dunia di atas. Akan tetapi setidaknya menjadi catatan bahwa kemajuan sebuah kota dengan populasi masyarakatnya, meniscayakan keberadaan perguruan tinggi untuk memfasilitasi tumbuh kembangnya creative class dalam berkerasi melahirkan produk pengetahuan yang dibutuhkan di masyarakat. Kampus merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya inovasi dan kreativitas insan akamedik, sehingga perlu dirawat dan dilestarikan. Bukan sebaliknya dibuat gersang dan “dipretele” dengan kebijakan yang parlente dan berdampak pada matinya benih-benih inovasi dan kreativitas itu sendiri. Olehnya itu, tanpa adanya peran IAIN Ternate dan civitas akademika untuk beradaptasi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, maka kampus ini akan terus menyandang predikat tidak memuaskan di tengah-tengah kompetesi pendidikan tinggi serta masyarakat pengguna.
Harapan Itu adalah Pak Rektor
Terpilihnya Bapak Dr. Radjiman Ismail, M. Pd selaku Rektor IAIN Ternate yang baru, sekali lagi adalah merupakan tumpuan alumni untuk mewujudkan semua harapan di atas. Kenapa Rektor?. Karena Rektor, tulis Agus SB., adalah muasal dari kata regere, yang berarti “memerintah”, disamping sebuah nama untuk pemimpin agama di Eropa. Rektor dalam definisi operasionalnya adalah jabatan tinggi Universitas dan Institut. Kewajibannya memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Termasuk membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi serta hubungan dengan lingkungannya. (Agus SB., dalam tandaseru.com, 2021). Dari konsep ini maka diharapkan Rektor IAIN Ternate disamping bertindak sebagai leader yang memimpin juga “memerintah” terselenggaranya tridarma, lebih dari itu diharapkan pula berperan sebagai ledearship dalam menuntun, membimbing, mengarahkan, mengayomi, melindungi, memotivasi serta memanfaatkan sejumlah sumberdaya yang ada di IAIN Ternate secara maksimal, proporsional dan profesional, guna mencapai tujuan IAIN di masa mendatang sesuai ekspektasi semua pihak. Maksimal dalam arti semua potensi di IAIN Ternate harus diberdayakan melalui arah kebijakan yang tepat guna sehingga tidak berkembang liar tanpa guna. Proporsional dalam pengertian semua arah kebijakan tetap sasaran, mengedepankan asas kaya fungsi dan miskin struktur, bukan sebaliknya kaya struktur tapi miskin fungsi. Profesional dalam pengertian mempertimbangkan sisi keahlian dan kinerja, mempertimbangkan profesionalitas dari pada timbang rasa dan begitu seterusnya.
Ending Harapan
Sekali lagi, uraian di atas tidak lebih dari harapan seorang alumni. Harapan ini memang berat jika hanya berada di pundak Pak Rektor. Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama dan dukungan civitas akademika IAIN Ternate dalam membantu Pak Rektor mewujudkan visinya. Di balik harapan ini, kami percaya bahwa Bapak Dr. Radjiman Ismail, M. Pd., adalah pilihan terbaik Menteri Agama RI saat ini. Kami yakin beliau memiliki sejumlah mimpi untuk membawa IAIN Ternate bertransformasi menjadi perguruan tinggi terkemuka di Maluku Utara dan Indonesia. Sebagai sesama alumni IAIN Ternate, sekali lagi kami bangga beliau menjadi Rektor pertama yang lahir dari rahim almamaternya sendiri. Kami berdoa beliau diberi kemudahan dan keterbukaan jalan menuju transformasi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Wallahu’alam bis shawaab.[]