Opini  

Pesantren, Restoran, dan Perubahan

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

KATA “Pesantren” rupanya punya makna dan membawa maksud yang khusus di sebuah restoran terpandang di Gorontalo. Ketika kami memesan beberapa makanan ringan yang hendak kami bawakan untuk putri kami di pondok pesantrennya (Ahad, 15/1/23) entah kenapa sempat terucap dari mulut kami (di depan kasir Restoran) tersebut “…ini pesanan anak; kami akan bawakan ke pesantren….sembari menyodorkan uang pembayaran untuk pesanan kami tersebut. Pada detik-detik itulah kami kaget karena kasir-pria-muda-tegap-lincah tersebut “menolak pembayaran” kami. Begitu lapang wajahnya dan halus kata-katanya, “…Ini untuk putri Bapak, tak perlu dibayar…silahkan, Pak!”. Setelahnya, hanya impresi penasaran dan ucapan terima kasih berulang yang kami sampaikan kepadanya…

Putri kedua kami sudah sekian tahun belajar di Pesantren. Sebagai orang tua, kami beroleh kesempatan mengunjunginya sesuai jadwal perkunjungan yang telah ditetapkan oleh pihak Pondok. Kendati “kunjungan” hanya berlangsung sekitar tiga jam, tetapi kerinduan keluarga bisa terpenuhi: makan/minum bersama, bertukar cerita dan kisah-kisah terbaru di rumah/di pondok, sesekali bercanda dan berbagi rasa, ngobrol santai, menguatkan motivasi anak, dan kontak-kontakan dengan anggota keluarga yang lain, dst.

Tak bisa kami pungkiri, di setiap (momen) perkunjungan tersebut dan di setiap pertemuan dengan pihak Guru atau pengelola, selalu “banyak hal” yang kami rasakan, temukan, dan pelajari. Dan, terutama, begitu besar rasa terima kasih dan penghargaan kami kepada Pondok (modern) tersebut. Di sana, kami menemukan bagaimana banyak karakter anak, pola-pola kekeluargaan mereka, kisah-kisah prestasi, dan kegundahan-kegundahan baru atas setiap harapan kita terhadap “generasi terbaik” yang bisa kita lahirkan dan bina di negeri ini.

Jika restoran mewakili ‘modernisme’ pasar dan gaya hidup, maka pesantren tetap di posisinya sebagai aspirasi atau pilihan hidup. Di baliknya terselip “karaternya” masing-masing. Nah, di masa sekarang, Pesantren pun terkesan (mulai) melakoni sejenis “pemasaran” tertentu di ruang-ruang publik. Tak heran kalau mulai terselip aroma “uang besar” dan jualan (produk) “keunggulan” tertentu dengan pilihan-pilihan yang bersaing (citra lembaga, fasilitas, luaran, dst) ketika kita hendak memilih Pesantren sebagai tempat bagi anak-anak kita belajar dan tumbuh. Di sisi lain, Pesantren pun terkesan telah menjalankan fungsi-fungsi “pemasaran” tertentu agar terterima dan memenangkan persaingan di “pasaran persekolahan” di luar arus utama (baca: sekolah umum atau madrasah umum).

Belakangan, makna “pesantren” semakin jamak. Tidak lagi identik dengan pelajaran agama dan pembelajaran ‘tradisional’ (Kitab Kuning, Kyai, dst); juga tidak lagi identik dengan pulau Jawa. Di era 1970an atau 1980an, jika orang mau belajar ke Pesantren, maka terkesan hanya bisa dijalani di tanah Jawa atau hanya di beberapa kota tertentu saja, termasuk di Sulawesi misalnya, lebih terkesan di Makassar atau di Palu. Saat ini, semakin populer posisi “pesantren modern”, daripada yang pesantren (tipe) klasikal-tradisional yang menempatkan relasi Santri – Kyai sebagai sentrumnya.

Pesantren telah memberi khazanah besar bagi negeri ini. Contoh sederhana, istilah seperti mengaji tidak berasal dari akar bahasa Arab. Demikian juga dengan penyebutan pondok, atau langgar (di Jawa), Surau (di Minangkabau), atau rangkang (di Aceh). Semuanya berasal dari khazanah India, sebagai akibat dari “perjumpaan tradisi belajar dan pengajaran Hindu di tanah Jawa” untuk masa yang cukup panjang. Kendati hal ini beroleh koreksi dari beberapa pakar sejarah pesantren dari Jerman (Ziemek, 1983).

Kata Santri itu sendiri, sangat mungkin merupakan kata turunan dari kata “Shastri” (bahasa Sansekerta) yang, pada mulanya, berarti “pelajar Hindu yang pandai menulis…” (Geertz, 1960; Steenbrink, 1986 [1074]). Di bagian lain, dijelaskan bahwa kata “Pondok” sepertinya berasal dari kata Arab, “funduq” (tempat tidur, wisma, hotel sederhana). Sementara “Pesantren”, adalah penyatuan dari pemaknaan “Sant” (manusia baik) yang diperkuat dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga lebih tegaslah artinya sebagai “tempat pendidikan manusia baik-baik…” (Dhofier, 1982; Ziemek, 1983: 99)  

Terbitan lembaga P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) tahun 1985-1986 berhasil menunjukkan pemetaan dunia pesantren di sejumlah wilayah di Indonesia, hal mana menempatkan pulau Jawa sebagai “rumah terluas” bagi dunia Pesantren, dengan jumlah tidak kurang 1.793 di Jawa Barat dan 1.501 di Jawa Timur, serta di Jawa Tengah sebanyak 408 Pesantren. Di luar Jawa, tercatat daerah terbesar jumlah pesantrennya adalah Aceh (147), Sumatera Utara (29), Lampung (23) dan Riau (22). Di Indonesia Timur, hanya di wilayah NTB (28), Sulsel (28) dan Sulawesi Tengah (7) yang tergolong signifikan jumlah Pesantrennya. Data yang cukup unik tentang Pesantren di Indonesia adalah keterangan UNESCO bahwa pada tahun 1954 tidak kurang 53 ribu jumlahnya. Data tersebut tampaknya mencampur seluruh sekolah “pembelajaran agama” di berbagai tingkatannya.

Secuil kisah di atas terlalu partikuler dan sebagiannya subjektif. Tetapi di baliknya bisa pula dipandang sebagai dua (contoh) pola kehidupan yang arusnya bersentuhan antara dunia pendidikan/agama dan dunia pasar/ekonomi yang terkesan “terpisah” tetapi tiba-tiba tersambungkan melalui aspirasi yang berubah di masyarakat kita. Selebihnya adalah soal pembentukan generasi dan pertumbuhan negara-bangsa bernama Republik Indonesia di mana Islam adalah rujukan inspirasi yang abadi.

Bahkan di masa (represi) kolonial sekalipun, dunia pesantren telah memilih perannya yang unik di pelosok dan di kota-kota kecil di Jawa dan di luarnya. Oleh Karel Steenbrink, sejarawan pesantren dari Universiteit Utrecht, Belanda, menyebut relasi Islam dan kolonial Belanda di periode 1595-1950 sebagai “kawan dalam pertikaian” (1995). Pesantren di Tanah Air akan terus meniti jalan sejarahnya sendiri dan kita akan menyaksikan karakter (setiap) generasi yang akan dilahirkannya. (*)

 Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu

E–mail: basriamin@gmail.com