Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
BUYA Hamka pernah datang beberapa hari dan beberapa kali di Ternate. Satu momentum di antaranya, adalah Hamka menemui secara khusus Habib Hasyim bin Muhammad bin Abdurrahman Albaar di rumah beliau yang ‘menghadap Laut’ itu. Ini adalah pemenuhan atas amanah dari ayahandanya kepada Hamka untuk “menuntaskan Ilmu” di Ternate, yakni kepada Habib Hasyim –-mengingat beliau adalah sahabat Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka.
Hamka sejak awal punya impresi yang khas tentang Islam (di) Maluku Utara. Itu terpantul misalnya, melalui dua karya utamanya, Sejarah Umat Islam (1961 [1981] dan Dari Perbendaharaan Lama (1963).
Data yang bisa dipastikan adalah Buya Hamka ke Ternate, Tidore, dan Jailolo, pada tahun 1970 dan 1975. Rupanya tujuan utama lawatan beliau sangat khusus: “memperlengkap sejarah Maluku…” Bisa jadi, di tahun-tahun itulah pula beliau “singgah” di Utara Sulawesi, termasuk Manado dan Gorontalo (?). Sebelum itu, keberadaan Hamka di Indonesia Timur adalah pada dua momentum penting: di Makassar dan sekitarnya pada 1931-1934 dan pada tahun 1955.
Ikatan batinnya dengan Islam (di) Indonesia Timur sangatlah bermakna, sampai-sampai Hamka mengakui bahwa novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) beroleh inspirasi di Makassar. Dalam kunjungannya di Sulawesi tahun 1955, Hamka lebih terbaca sebagai seorang penulis/peneliti yang “memulung” banyak sumber-sumber lokal Islam yang otentik, antara lain bahan-bahan dari Raja Bone dan Raja Gowa. Dari sanalah Hamka menulis sangat panjang tentang islamisasi di Sulawesi dan ketokohan besar Syekh Yusuf Al-Makassari.
Keterangan lain tentang kedatangan Hamka di Ternate bisa kita peroleh secara tertulis dan cukup meyakinkan karena bersumber dari Yang Mulia Sultan Ternate sendiri, Mudafar Sjah, yang diwawancara khusus majalah Kartini pada tahun 1983. Ketika itu, beliau digelari sebagai Sultan (Muda) Ternate. Sultan Mudafar sudah menyebut bahwa Buya Hamka datang di Ternate dua kali, antara lain beliau bertujuan “menggali sejarah Islam” (di) Ternate. Sejak itu, meluaslah pemberitaan hangat bahwa “Islam lebih dahulu tiba di Ternate daripada di Aceh…; bahkan, sebelum secara (‘syariat’) Islam turun di Makkah, Islam secara (‘hakikat’) sudah hadir di Ternate…”.
Sudah tentu, Yang Mulia – Kolano Ternate itu tidak main-main dalam wawancara di majalah nasional Kartini (1983) tersebut, setidaknya karena menggunakan “Dalil Moro” dan “Tifa” (di) Ternate tentang “pada suatu tempat yang tertinggi (Puncak) hanya berada Kau dan Aku…”. Selanjutnya merujuk memori-transendensi “Jafar Shadeq…” dari Irak dan kehadirannya yang khas di fase awal pembentukan dan perluasan kosmologi (sejarah) ‘Moluku – Kie Raha’ di abad ke-12.
Sudah tentu, pemberitaan tersebut memicu polemik di beberapa terbitan berhaluan Islam di Jakarta, antara lain direkam oleh majalah Kiblat (Rosyad, 1983). Di sisi lain, Sultan Mudafar menegaskan bahwa Yang Mulia telah melakukan penelitian mendalam tidak kurang sepuluh tahun; antara lain untuk kepentingan Skripsinya yang berjudul “Lingkungan Hukum Adat Ternate” di Universitas Ibnu Khaldun (Jakarta?).
Buya Hamka, sebagaimana keterangan Sultan Mudafar Sjah (1983), “beliau sempat bimbang, apakah Islam di Indonesia pertama kali hadir di Aceh atau di Ternate…”. Sampai Buya Hamka wafat pada tahun 1981 kita tidak beroleh keterangan/pendapat khusus dari Buya Hamka tentang tema polemikal ini. Tetapi yang selalu tampak adalah bahwa Buya Hamka sangat impresif menerangkan tentang “karakter Islam Maluku Utara” terutama kebesaran Khairun – Babullah dan persilangan sejarah Islam Ternate – Jawa, dan pengaruh besarnya di kawasan Timur Nusantara.
Hamka tampaknya sejalan dengan pandangan kesejarahan Islam yang diajukan bukti-buktinya oleh Yang Mulia (Kolano) Mudafar Sjah. Ketika menulis (bab X) “Perkembangan Agama Islam di Maluku”, pola penulisan Hamka lumayan ‘berubah’ dan tidak biasa, jika dibandingkan dengan komposisi (penggambaran) beliau tentang Islam Sumatera atau Sulawesi misalnya.
Hamka dengan terang memulai dengan “Negeri Cengkeh yang Utama”. Hamka menulis: “sejak tahun 650, 17 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, mulailah dikenal orang rempah-rempah cengkeh di Eropa karena dibawa oleh saudagar-saudagar Arab yang dibawanya ke pelabuhan-pelabuhan (di) Irak… Sejak masa itu, makin ramailah perniagaan orang Arab dan Iran ‘menuju Maluku…’….cengkeh adalah rempah yang sudah dikenal sejak abad ke-7…”.
Dengan terang Hamka menyebut bahwa Maluku sejak masa itu adalah kawasan yang meliputi Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di bagian inilah Hamka langsung merujuk ketokohan “Jakfar Shadiq”, cucu Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW, tentang kedatangan dan keturunannya di Maluku Utara, yang datang dari Arab pada tahun 507 Hijriyah, atau abad ke-10 masehi (Hamka, 1981: 214-2015).
Lebih lanjut, Hamka menerangkan “Islam Maluku Utara” dengan sangat elegan, memadai, cukup padat, dan kritis-berimbang (± 20 halaman), dengan kalimat-kalimat: “sepintas lalu niscaya kita akan menolak saja dongeng yang demikian. Tetapi jika kita fikirkan bahwasanya di dalam abad ke-10 dan ke-11 itu sudah ramai perniagaan rempah-rempah ke Maluku oleh orang Arab dan Persia, tidaklah jauh kemungkinan bahwa mereka telah datang ke sana pada waktu itu; mungkin pula telah kawin dengan perempuan anak-negeri…”.
Hamka tentu saja belum melihat “pemupukan” atau kekuatan Islam yang meluas di masa itu di Maluku Utara, tetapi “jaringan dakwah Islam dan niaga” Maluku Utara – Arab – Persia jelas-jelas merupakan mata rantai yang valid kurun waktunya sejak abad ke-10 masehi di jazirah ini.
Di bagian lain, Hamka juga menegaskan bahwa sebagai “agama resmi” (Islam) yang melembaga dan meluas pada abad ke-15; terutama karena jaringan Malaka–Melayu-Maluku semakin intens, demikian juga dengan perguruan Islam di tanah Jawa. Di masa itu, figur besar datuk Maulana Husin, selanjutnya peran besar (Sultan) Zainal Abidin yang membangun hubungan istimewa dengan “Sunan Giri” dan, menurut Hamka, melalui beliaulah juga hubungan Maluku – Malaka – Melayu, sejak akhir abad ke-15 terbangun. Sejak itu pula pengaruh “Islam Ternate” meluas sampai ke Sulu dan Mindanao (Hamka, 1981: 217-219).
Hamka menyatakan, setelah Malaka jatuh (1511), maka kekuatan Islam (di) Nusantara terbentang kokoh – heroik di lima tempat: Demak, Banten, Aceh, Johor dan Maluku (Utara).
Dari sisi historisitas Islam, Hamka adalah figur yang kokoh pendirian bahwa Islam telah datang di Nusantara, di negeri-negeri Melayu, sejak abad pertama Hijriyah (abad ke-7 masehi) melalu “jalur Makkah”.
Secara resmi, “Teori Makkah” ini disampaikan Buya Hamka sejak 1958, tepatnya di sebuah forum ilmiah ketika Hamka berpidato Dies Natalis PTAIN ke-8 di Yogyakarta. Teori Hamka ini terus dikembangkannya pada Seminar Sejarah Islam di Medan, 17-20 Maret 1963. Di sini Hamka sangat kritis karena menggunakan argumentasi dominannya penyebaran Mazhab Syafii di Nusantara (Suryanegara, 1996).
***
NEGERI ini punya “warisan” besar bernama Buya Hamka. Kendati kita tidak mungkin bisa menemukan figur yang setara dengan pilihan perjuangan dan pencapaian pengabdiannya, tetapi karakter dan jiwa pemikiran dan karya-karyanya haruslah terus dijaga dan dikembangkan. Dalam satu hal, Hamka memiliki persamaan dengan tokoh-tokoh besar Indonesia lainnya: “menolak takluk kepada kekuasaan dan ketidakadilan”. Dasar penolakan Hamka tentu saja adalah nilai dasar (agama) Islam.
Yang menempatkan Hamka luar biasa adalah keluasan pergaulan dan kekayaan tema karya-karya pengabdiannya untuk Indonesia dan dunia: biografi, tafsir, sastra, jurnalisme, sejarah, agama, politik, budaya, dst. Di Asia Tenggara, Hamka adalah tokoh paling berpengaruh dalam karya-karya sastra dan pengkajian keagamaannya.
Tokoh besar Malaysia –-kini Perdana Menteri ke-10–, Anwar Ibrahim, sangat mengagumi Hamka. Ketika dipenjara tahun 1975, Anwar bahkan mengerjakan penerjemahan Tafsir Al-Azhar ke dalam Bahasa Inggris. Keluarga besarnya juga sangat akrab dengan karya Hamka. Keduanya pernah bertemu langsung sekian hari di Iran. Sampai kini, di Selangor, Malaysia, berdiri tegak “Perpustakaan Buya Hamka” dengan nama “Rumah Tamu Hamka” (Hasibuan, 2022).
Dan, tampaknya, Buya Hamka beroleh banyak “keyakinan historikal” (Teori Makkah!) dan “imajinasi yang berani” (Patriotisme) dari Maluku Utara ketika beliau mematangkan historiografi Islam Nusantara. Hal mana, dipandang dari masa kini, semua itu kini makin meniscayakan “silang sejarah” regional yang lebih segar-membumi dan yang lebih memajukan-mencerahkan di Indonesia Timur.
Hari-hari ini publik bisa menyimak tonggak penting Hamka melalui film Buya Hamka di bulan April 2023 (sutradara: Fajar Bustomi). Di bagian awal, karakter dasar Hamka sebagai agamawan dan sastrawan sudah terasa, ketika film ini menampilkan sekuen “air mata” Hamka dari wajahnya yang teduh dan wibawa: “…air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh; tidak pula memilih waktu untuk turun…”. Cuplikan ini (sebenarnya) berasal dari karya Hamka, Di Bawah Lindungan Kabah (1965).
Dengan itulah mengapa Hamka selalu konsisten-merebut ruang-ruang pembebasan di negeri ini di hampir semua (arena) kehidupannya. Hamka membuka salah satu “jalan bagi pembentukan identitas keindonesiaan” (Noer, 1983: 37-52). Di tahap awal kombinasi kariernya, melalui jalur organisasi Muhammadiyah dan kerja-kerja kepenulisan (media cetak!), Hamka konsisten membangun kemerdekaan bangsa yang sebenar-benarnya. (*)